SURAU.CO – Sejarah Islam mencatat ujian besar berupa wabah penyakit yang mengguncang berbagai wilayah dunia Islam. Salah satu ulama besar yang menulis secara mendalam tentang wabah adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani (773–852 H/1372–1449 M). Dalam karyanya yang berjudul Badzlul Ma’un fi Fadhlit Tha’un, ia membahas wabah dari berbagai sudut pandang: teologis, historis, dan sosial. Buku ini menjadi salah satu karya paling penting dalam sejarah Islam. Buku ini mendokumentasikan bagaimana umat Muslim menghadapi bencana kesehatan global pada masa lalu.
Ibnu Hajar menulis karyanya pada Jumadil Akhir 833 H (sekitar 1430 M), ketika wabah tha’un kembali melanda wilayah Syam dan Mesir. Dalam bukunya, ia tidak hanya menguraikan definisi tha’un dan hadis-hadis Nabi terkait wabah, tetapi juga menelusuri sejarah berbagai epidemi yang pernah terjadi di dunia Islam. Ia mengutip sejumlah sejarawan dan ulama terdahulu seperti Al-Mada’ini, Ibnu Abid Dunya, dan Ibnu Qutaibah untuk memperkuat analisisnya.
Menurut Ibnu Hajar, sejarah Islam mencatat berbagai tragedi besar yang banyak memakan korban jiwa, seperti wabah penyakit, kelaparan, kekeringan panjang, serta gempa bumi. Dalam Badzlul Ma’un fi Fadhlit Tha’un, ia menulis secara rinci tentang sebelas peristiwa wabah besar yang terjadi sejak masa Rasulullah hingga akhir kekuasaan Bani Umayyah.
Wabah Tha’un di Masa Awal Islam
Wabah pertama yang tercatat adalah Tha’un Syirwaih, yang merebak di beberapa kota pada zaman Rasulullah SAW. Meski tidak sebesar wabah-wabah berikutnya, peristiwa ini menjadi pengingat awal bagi umat Islam tentang bahaya penyakit menular.
Wabah besar berikutnya adalah Tha’un Amawas yang terjadi di Negeri Syam pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tepatnya pada tahun 17 Hijriyah. Wabah ini sangat mematikan, menghasilkan sekitar 25.000 jiwa, termasuk beberapa sahabat terkemuka seperti Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal. Dalam sejarah Islam, Tha’un Amawas menjadi salah satu tragedi yang paling memilukan karena banyak tokoh besar gugur dalam waktu singkat. Umar bin Khattab sendiri menunjukkan kebijaksanaannya dengan menahan pasukan agar tidak memasuki wilayah wabah, sebuah prinsip kesehatan masyarakat yang sangat relevan hingga kini.
Tha’un di Era Bani Umayyah
Setelah Tha’un Amawas, wabah terus muncul secara menyebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam, terutama pada masa Dinasti Bani Umayyah. Di antara wabah besar itu adalah Tha’un Al-Jarif (67 H) dan Tha’un Al-Fatayat (87 H) yang banyak merenggut nyawa para pemuda dan pemudi. Ada pula wabah yang melanda Mesir pada 63 H dan 85 H, di mana Raja Muda Mesir, Abdul Aziz bin Marwan, akhirnya meninggal dunia karena wabah setelah mengungsi ke desa.
Wabah berikutnya, Tha’un Al-Asyraf, terjadi ketika Al-Hajjaj bin Yusuf masih berkuasa di Wasith. Disusul kemudian oleh Tha’un Adi bin Arthah (100 H) dan wabah di Syam pada 107 H dan 115 H. Semua wabah ini menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap penyakit menular di masa itu, terutama ketika ilmu kedokteran dan kebersihan lingkungan belum berkembang pesat.
Salah satu wabah paling mematikan terjadi di Bashrah pada tahun 131 H, dikenal sebagai Tha’un Salamah bin Qutaibah . Ibnu Hajar mencatat, dalam wabah ini jumlah korban meninggal bisa mencapai seribu orang per hari. Wabah tersebut dimulai pada bulan Rajab, memuncak pada bulan Ramadhan, dan baru mereda ketika memasuki bulan Syawal. Tragedi ini menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luar biasa, memutus rantai perdagangan, dan membuat kota-kota Islam sunyi oleh kematian.
Sikap Para Khalifah dan Pandangan Keagamaan
Ketika wabah melanda, para khalifah Bani Umayyah biasanya meninggalkan istana dan berpindah ke padang terbuka untuk menghindari penyebaran penyakit. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, misalnya, membangun Gedung Rashafah sebagai tempat tinggalnya di masa wabah. Namun, meskipun telah berhati-hati, Hisyam sendiri akhirnya wafat karena berbeda—penyakit menular yang kala itu juga mematikan.
Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Bani Abbasiyah, wabah itu mulai jarang terjadi. Salah seorang khalifah Bani Abbasiyah bahkan menyampaikan pidato di Syam dengan rasa syukur, “Segala puji bagi Allah yang telah mengangkat wabah sejak Dia mengangkat kami sebagai khalifah di atas kalian.” Namun, seorang warga Syam yang berani menegur, “Allah lebih adil untuk mengangkat kalian di atas kami dan wabah tha’un .” Pernyataan ini menggambarkan bahwa wabah bukan hanya persoalan medis, tetapi juga persoalan moral dan keadilan sosial.
Pelajaran dari Sejarah Wabah
Dari catatan Ibnu Hajar Al-Asqalani, umat Islam belajar bahwa wabah bukan hanya ujian fisik, tetapi juga ujian spiritual dan sosial. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk tidak memasuki wilayah wabah dan tidak keluar darinya jika berada di sana. Para ulama dan pemimpin juga mengingatkan pentingnya bersabar, berdoa, dan berikhtiar dalam menghadapi wabah.
Sejarah panjang wabah di dunia Islam menunjukkan bahwa di setiap masa sulit, umat selalu berusaha menyeimbangkan antara ikhtiar medis dan keteguhan iman. Ibnu Hajar Al-Asqalani sendiri menjadi teladan: meski menulis karya monumental tentang tha’un , ia akhirnya wafat akibat wabah yang sama. Namun, karyanya tetap hidup dan menjadi cermin bagi generasi setelahnya bahwa ilmu dan iman dapat berjalan seiring menghadapi setiap ujian kehidupan.
Daftar Rujukan:
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Badzlul Ma’un fi Fadhlit Tha’un, Riyadh: Darul Ashimah
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
