Khazanah
Beranda » Berita » Sufisme sebagai Jalan Spiritual Modern

Sufisme sebagai Jalan Spiritual Modern

Sufisme sebagai Jalan Spiritual Modern
Ilustrasi Sufisme (Foto: Istimewa)

SURAU.CO – Manusia justru semakin haus mencari kedamaian batin di tengah gegap gempita dunia modern yang penuh persaingan, dan tuntutan hidup yang serba cepat,  Fenomena ini melahirkan gelombang spiritualitas baru di abad ke-21. Rederic dan Maryann Brussat menyebutnya sebagai “kemelekan spiritual” atau kebangkitan spiritual. Gerakan ini muncul karena manusia ingin memperbaiki kegagalan modernisme yang terlalu menonjolkan rasionalitas dan mengabaikan sisi spiritual. Di antara berbagai gerakan baru—seperti New Age Movement dan gerakan potensi manusia—terdapat satu tradisi spiritual Islam yang telah mengakar selama lebih dari empat belas abad: sufisme.

Sufisme: Jalan Lembut Menuju Tuhan

Tasawuf atau tasawuf mengajarkan manusia untuk menyucikan hati ( tazkiyatun nafs ) dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW sudah menanamkan dasar sufisme sejak masa awal kenabiannya. Jauh sebelum menerima wahyu, beliau sering berkhalwat atau menyendiri di Gua Hira’ untuk merenungkan dan mencari petunjuk Ilahi di tengah kekacauan moral masyarakat jahiliyah. Dari perenungan itu, beliau akhirnya menerima pengalaman spiritual tertinggi berupa turunnya wahyu pertama, Iqra’, yang menandai awal risalah kenabian.

Rasulullah melakukan khalwat bukan untuk melarikan diri dari dunia, tetapi untuk memperkuat batin sebelum memimpin perjuangan sosial. Setelah menerima wahyu, beliau tidak berdiam diri di gua. Beliau kembali ke tengah masyarakat, menyeru kepada tauhid, menegakkan keadilan, dan menebarkan kasih sayang. Melalui teladan itu, Rasulullah menegaskan hakikat tasawuf sebagai jalan seimbang antara penghambaan kepada Allah dan tanggung jawab sosial terhadap sesama manusia.

Spiritualitas yang Membumi

Islam menempatkan spiritualitas dan moralitas sebagai inti ajarannya. Shalat misalnya, tidak hanya menjadi sarana berkomunikasi dengan Allah, tetapi juga melatih akhlak agar setiap umat Islam menebarkan salam dan kedamaian. Dalam pandangan sufi, ritual kesalehan harus melahirkan kesalehan sosial. Rasulullah SAW menunjukkan keseimbangan itu melalui doa sapu jagat yang terkenal: “Rabbana atina fid-dunya hasanah, wa fil-akhirati hasanah, waqina ‘adzaban-nar.” Doa tersebut mengajarkan manusia untuk hidup seimbang—membangun dunia tanpa melupakan akhirat.

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, tokoh besar yang dijuluki Sulthan al-Auliya’, menegakkan prinsip keseimbangan itu. Beliau memandang dunia sebagai ladang amal untuk menguji keikhlasan hati, bukan sebagai hal yang harus dijauhi. Ia sering mengingatkan sabda Nabi: “Sesungguhnya dunia diciptakan untukmu, sedangkan kamu diciptakan untuk akhirat.” Melalui ajaran itu, beliau mengajak manusia untuk menguasai dunia tanpa membiarkan dunia menguasai hati mereka.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Sufisme dan Tantangan Modernitas

Banyak kalangan salah memahami tasawuf. Sebagian besar kelompok modernis menuduh tasawuf mengandung takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Mereka berpandangan demikian karena menilai tasawuf secara sempit, seolah hanya berupa ritual yang pasif. Padahal sejarah menunjukkan hal yang berbeda.

Para sufi justru memimpin perubahan sosial di berbagai belahan dunia. Di Afrika Utara dan Sudan, kaum sufi dari gerakan al-Murabitun berjuang keras melawan penjajahan. Pada masa Dinasti Saljuk, para sufi menjadi kekuatan moral yang menentang keserakahan penguasa dan ulama yang bersekutu dengan istana. Di Indonesia, pengikut tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah turut memimpin perlawanan terhadap kolonialisme. Fakta sejarah ini membuktikan bahwa para sufi tidak hidup pasif; mereka berjuang menegakkan keadilan dan kesejahteraan melalui kekuatan spiritual.

Spiritualitas di Tengah Kehidupan Global

Kehidupan modern yang serba cepat membuat manusia mudah kehilangan jati diri. Hubungan sosial berubah menjadi kering dan impersonal karena interaksi digital menggantikan kedekatan emosional. Akibatnya, banyak orang merasa terasing di dunia yang mereka ciptakan sendiri. Di tengah krisis ini, nilai-nilai sufisme hadir kembali sebagai penuntun jalan.

Tasawuf mengajak manusia untuk menyadari diri, menenangkan batin, dan menjaga keseimbangan antara jasmani dan rohani. Ia mengajarkan manusia untuk memusatkan hati kepada Allah tanpa harus meninggalkan urusan dunia. Melalui zikir, tafakur, dan introspeksi, setiap muslim bisa membersihkan diri dari sifat tamak, iri, dan sombong. Proses penyucian ini— tazkiyah —membantu manusia kembali kepada fitrah kemanusiaannya.

Kita bisa melihat penerapan nyata nilai-nilai sufisme di era modern melalui Pesantren Suryalaya di Jawa Barat. Abah Anom, pengasuh pesantren tersebut, memimpin tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang aktif di bidang sosial. Ia mengarahkan para santri untuk mengamalkan zikir sekaligus membangun kemandirian ekonomi melalui pertanian dan koperasi. Ia juga memprakarsai program pelestarian lingkungan serta rehabilitasi korban narkoba dengan terapi zikir. Melalui pendekatan ini, Abah Anom membuktikan bahwa tasawuf dapat menjadi gerakan kultural yang hidup, membangun, dan relevan bagi masyarakat modern.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Menemukan Damai di Tengah Kekacauan

Dalam dunia yang semakin bising dan penuh tekanan, manusia mendambakan kedamaian sejati. Namun, kedamaian itu tidak lahir dari kemajuan teknologi atau kemewahan materi. Manusia hanya bisa menemukan ketenangan melalui kedekatan dengan Allah SWT, dengan hati yang tenang dan jiwa yang bersih. Sufisme menawarkan jalan menuju ketenangan itu—jalan yang lembut, sunyi, dan penuh makna.

Melalui kesadaran spiritual, manusia belajar mengendalikan diri daripada mengendalikan dunia. Ia belajar mencintai tanpa pamrih, bekerja tanpa keserakahan, dan beribadah dengan keikhlasan. Inilah makna sufisme sejati di era global: ajaran yang membantu manusia menemukan makna hidup di tengah dunia yang riuh.

Sufisme menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak dimiliki oleh orang yang paling kaya atau paling berkuasa, melainkan oleh mereka yang hatinya paling dekat dengan Allah. Dalam kesunyian zikir, manusia menemukan dirinya. Dalam doa yang tulus, manusia menemukan Tuhannya. Dan dalam keseimbangan antara dunia dan akhirat, manusia akhirnya menemukan kedamaian yang hakiki.

 

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement