SURAU.CO – Jabatan atau kepemimpinan dalam perspektif Islam adalah sebuah amanah yang berat, bukan sekadar kekuasaan atau sarana untuk meraih kemuliaan dunia. Konsep ini menempatkan tanggung jawab dan akuntabilitas di atas segalanya, baik kepada rakyat maupun kepada Allah SWT. Dalam banyak hadis Nabi Muhammad SAW, terdapat larangan tegas bagi seseorang untuk secara langsung meminta atau berambisi kuat terhadap jabatan. Larangan ini bukan untuk memadamkan semangat berbakti, melainkan untuk menjaga kemurnian niat dan menghindari bahaya yang mengintai dari balik kursi kekuasaan. Tulisan ini akan mengurai mengapa Islam melarang seseorang meminta jabatan, konsekuensi dari ambisi yang berlebihan, serta pengecualian dan sikap ideal seorang Muslim terhadap kepemimpinan.
Segala bentuk kepemimpinan, baik dari tingkat terkecil seperti keluarga hingga tingkat tertinggi seperti kepala negara, Islam memandangnya sebagai amanah (tanggung jawab) yang harus mengembannya dengan penuh keadilan dan integritas.
Dalil-Dalil Tentang Amanah Jabatan
Salah satu hadis paling fundamental yang menegaskan hal ini adalah sabda Nabi SAW kepada Abu Dzar Al-Ghifari RA:
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu orang yang lemah, dan aku menginginkan untukmu seperti yang aku inginkan untuk diriku. Jangan sekali-kali engkau menjadi pemimpin atas dua orang (sekalipun), dan jangan pula engkau mengurus harta anak yatim!” (HR. Muslim)
Dalam kesempatan lain, Abu Dzar pernah meminta jabatan kepada Rasulullah SAW, namun beliau menepuk pundaknya seraya bersabda:
“Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya engkau orang yang lemah dan jabatan itu amanah. Sesungguhnya jabatan itu pada hari Kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mampu mengambilnya secara benar dan memenuhi kewajibannya terkait jabatan itu.” (HR. Muslim)
Hadis-hadis ini jelas menunjukkan bahwa jabatan membawa beban yang sangat berat di akhirat. Kehinaan dan penyesalan akan menimpa mereka yang menyia-nyiakan amanah tersebut. Oleh karena itu, orang yang bijak justru akan takut dan menghindari beban tersebut, kecuali jika ia yakin memiliki kemampuan dan benar-benar terlandasi oleh kewajiban.
Memurnikan Niat dan Menghindari Keterlantaran
Larangan utama dalam Islam adalah tentang tindakan meminta jabatan atau menunjukkan ambisi yang berlebihan (hirsh) untuk mendapatkannya. Ini memiliki landasan dan hikmah yang mendalam. Larangan meminta jabatan ini sudah tercantum dalam beberapa hadis Nabi.
Hadis yang paling eksplisit mengenai larangan ini adalah sabda Nabi SAW kepada Abdurrahman bin Samurah RA:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, maka engkau akan mendapat pertolongan (dari Allah) dalam menjalankannya, tapi jika engkau diberi jabatan karena engkau memintanya, maka akan diserahkan sepenuhnya kepadamu (tanpa pertolongan Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menggarisbawahi dua kondisi krusial pemberian sebuah jabatan:
- Pemberian Tanpa Meminta. Ketika seseorang ditunjuk atau diberi jabatan bukan karena permintaannya, itu menunjukkan adanya pengakuan publik atas kelayakan dan kompetensinya, dan yang lebih penting, Allah SWT akan memberinya pertolongan (’aun) untuk menunaikannya.
- Pemberian Karena Meminta. Ketika seseorang diberi jabatan karena ia memintanya, ia ibaratnya diserahkan sepenuhnya (yukal ila nafsihi) kepada dirinya sendiri. Ini berarti ia kehilangan dukungan dan pertolongan ilahi dalam menghadapi kesulitan dan godaan jabatan. Kekuatan hanya bersumber dari dirinya, yang rentan terhadap kesalahan, kezaliman, dan kelemahan.
Larangan Memberikan Jabatan kepada Orang yang Berambisi
Larangan bukan hanya pada orang yang meminta, Nabi SAW juga melarang para pemimpin untuk menyerahkan jabatan kepada orang yang secara eksplisit meminta atau berambisi.
“Sesungguhnya kami –demi Allah– tidak akan memberikan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula kepada orang yang berambisi mendapatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa Al-Asy’ari)
Ini menunjukkan bahwa dalam penentuan pemimpin, kriteria utama adalah kelayakan dan integritas, bukan keinginan atau ambisi pribadi. Orang yang berambisi seringkali didorong oleh kepentingan duniawi, seperti kehormatan, kekayaan, atau kekuasaan, bukan semata-mata niat melayani umat.
Bahaya Ambisi dan Kehinaan di Akhirat
Ambisi yang meluap-luap terhadap jabatan merupakan penyakit hati yang berbahaya, karena dapat merusak agama seseorang. Islam memberikan perumpamaan yang sangat kuat untuk menggambarkan bahaya ini.
Pertama, Ambisi Jabatan Merusak Agama
Rasulullah SAW bersabda:
“Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kehormatan (jabatan).” (HR. Tirmidzi, dinilai sahih)
Perumpamaan ini menegaskan bahwa cinta buta terhadap harta dan kedudukan (kehormatan) mampu menghancurkan fondasi agama seseorang. Sebagaimana serigala lapar menghancurkan kambing, demikianlah ambisi jabatan dapat mengikis ketakwaan, kejujuran, dan keikhlasan. Seseorang yang terperangkap dalam ambisi ini akan rentan melakukan segala cara, termasuk cara yang haram, demi mencapai dan mempertahankan kekuasaan.
Kedua, Penyesalan di Hari Kiamat
Hadis dari Abu Hurairah RA memperkuat ancaman ini:
“Kalian akan berambisi terhadap kekuasaan, padahal ia akan menjadi penyesalan pada hari kiamat…” (HR. Bukhari)
Jabatan digambarkan sebagai “sebaik-baik wanita yang menyusui” (karena kenikmatan dan kemuliaan di dunia), namun ia juga “seburuk-buruk wanita yang menghentikan susuannya” (karena kehinaan dan penyesalan saat dicopot atau dipertanggungjawabkan di akhirat).
Penyesalan itu datang karena:
- Kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan selama menjabat.
- Kelalaian dalam menunaikan hak-hak rakyat yang dipimpin.
- Pertanggungjawaban yang sangat rinci di hadapan Allah SWT atas segala keputusan dan tindakan yang berkaitan dengan amanah tersebut.
Pengecualian dan Sikap Ideal Seorang Muslim
Meskipun terdapat larangan kuat, ada situasi tertentu yang membolehkan, bahkan mewajibkan, seseorang untuk maju dan menerima jabatan.
Kasus Nabi Yusuf AS sebagai Pengecualian. Nabi Yusuf AS pernah meminta jabatan kepada Raja Mesir:
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)
Para ulama menjelaskan bahwa permintaan Nabi Yusuf AS ini menjadi pengecualian karena memenuhi kriteria berikut:
- Tidak ada orang lain yang lebih mampu dan berintegritas untuk memegang posisi tersebut (kebutuhan mendesak/darurat).
- Tujuannya adalah untuk kemaslahatan umat dan menjaga mereka dari bencana kelaparan, bukan untuk kepentingan pribadi.
- Ia mengetahui secara pasti kompetensi dan integritasnya (‘alimun hafizh), yang menjadikannya satu-satunya solusi saat itu.
Sikap Ideal Terhadap Jabatan
Sikap ideal seorang Muslim terhadap jabatan harus berlandaskan oleh dua hal:
- Menghindari Ambisi Duniawi: Jangan menjadikan jabatan sebagai tujuan akhir untuk meraih kehormatan, harta, atau popularitas.
- Mendahulukan Kemaslahatan Umat: Jika tidak ada orang yang lebih baik, dan ia merasa memiliki kemampuan (kompetensi dan integritas) untuk memimpin demi menegakkan keadilan dan melayani umat, maka menerima jabatan tersebut menjadi sebuah kewajiban (fardhu kifayah) yang harus tertunaikan.
Para ulama, seperti Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyyah, menyimpulkan bahwa larangan meminta jabatan berlaku jika permintaan itu terlandasi oleh ambisi duniawi atau jika ada orang lain yang lebih cakap untuk memimpin. Namun, jika ia yakin tidak ada orang lain yang akan berbuat adil atau jika menolak justru akan menimbulkan kerusakan, maka maju dan menerima jabatan (meskipun ia harus mengajukan diri) menjadi boleh, bahkan wajib.
Penutup
Larangan meminta jabatan dalam Islam adalah manifestasi dari pemahaman bahwa kepemimpinan adalah beban berat (amanah), bukan kenikmatan yang harus tyerus terkejar. Aturan ini bertujuan untuk menyaring calon pemimpin agar yang muncul adalah mereka yang memiliki keikhlasan dan ketulusan dalam melayani, bukan mereka yang terdorong oleh ambisi yang merusak.
Pemimpin yang menerima am,anah tanpa meminta akan selalu mendapat pertolongan Allah SWT, sementara yang meminta karena ambisi duniawi bisa terjerumus dalam kezaliman dan kehinaan pada hari kiamat. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim harus mengubah dalam memandang jabatan dari perebutan kehormatan menjadi penerimaan beban tanggung jawab demi tegaknya keadilan dan kemaslahatan umat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
