Khazanah
Beranda » Berita » Akhlak Digital: Refleksi Jika Ibnu Miskawaih Hidup di Zaman Twitter

Akhlak Digital: Refleksi Jika Ibnu Miskawaih Hidup di Zaman Twitter

Muslim merenung di depan layar laptop, simbol akhlak digital dan refleksi diri
Seorang laki-laki Muslim duduk di depan laptop dengan cahaya layar memantul di wajahnya. Separuh wajah tampak damai, separuh lainnya suram, melambangkan dua sisi moral di dunia digital. Latar ruangan gelap dengan semburat cahaya biru dari layar—simbol refleksi diri di tengah bisingnya dunia maya.

Surau.co. Di era media sosial yang serba cepat, dunia benar-benar mengecil menjadi layar lima inci. Kini, kita bisa menyapa ribuan orang tanpa beranjak dari kursi, tetapi juga bisa menyakiti hati seseorang tanpa sadar. Twitter, X, dan berbagai platform lain menjelma ruang tempat ide, emosi, bahkan amarah berseliweran tanpa batas. Di tengah derasnya arus opini yang saling bertubrukan itu, muncul pertanyaan yang layak kita renungkan: bagaimana jadinya jika Ibnu Miskawaih—sang filsuf akhlak klasik—hidup di zaman Twitter(X)?

Ibnu Miskawaih (w. 421 H) dikenal sebagai pemikir besar yang menulis Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathhīr al-A‘rāq, karya monumental tentang pembentukan karakter dan penyucian jiwa. Ia meyakini bahwa akhlak tidak lahir begitu saja, tetapi tumbuh melalui latihan, pendidikan, dan refleksi diri yang berkelanjutan. Jika prinsip itu kita terapkan di dunia digital, barangkali Ibnu Miskawaih akan menulis kitab baru berjudul Tahdzīb al-Akhlāq al-Raqmiyyah—“Penyucian Akhlak di Dunia Digital.”

Akhlak dan Era Digital: Layar Sebagai Cermin Jiwa

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa akhlak terbentuk dari keseimbangan tiga kekuatan batin: quwwah al-ghadabiyyah (amarah), quwwah al-syahwiyyah (keinginan), dan quwwah al-nāṭiqah (akal). Jika ketiganya berjalan seimbang, manusia akan melahirkan kebajikan. Namun, ketika satu kekuatan mendominasi, kekacauan batin pun muncul.

Coba kita bayangkan ketiga kekuatan itu dalam konteks Twitter. Saat membaca cuitan yang berseberangan dengan pandangan kita, quwwah al-ghadabiyyah sering mengambil alih kendali. Tanpa berpikir panjang, jari langsung mengetik kata-kata tajam yang bisa melukai. Ketika haus pengakuan, quwwah al-syahwiyyah mendorong kita untuk mengejar “likes” dan “retweet.” Sementara akal—yang seharusnya menjadi penyeimbang—sering kalah cepat oleh impuls dan emosi.

Ibnu Miskawaih menulis:
«وَلَيْسَ كُلُّ مَنْ عَلِمَ الْخَيْرَ فَعَلَهُ، وَلَا كُلُّ مَنْ عَلِمَ الشَّرَّ اجْتَنَبَهُ»
“Tidak setiap orang yang mengetahui kebaikan akan melakukannya, dan tidak setiap yang tahu keburukan akan menjauhinya.”
(Tahdzīb al-Akhlāq, hal. 40)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Artinya, memahami etika digital saja tidak cukup. Kita harus melatih jiwa—riyāḍah al-nafs—secara terus-menerus agar akhlak benar-benar hidup dalam perilaku online kita.

Latihan Jiwa di Zaman Notifikasi

Bagi Ibnu Miskawaih, riyāḍah al-nafs bukan teori semata, melainkan proses disiplin yang panjang. Ia membandingkan latihan moral dengan latihan fisik: otot menjadi kuat karena terus digunakan, begitu pula akhlak menjadi kokoh karena terus dilatih. Maka, menjadi pribadi berakhlak di media sosial berarti melatih diri setiap kali kita tergoda untuk membalas komentar pedas atau ikut dalam debat sia-sia.

Ibnu Miskawaih menulis:
«مَنْ أَلِفَ الصَّبْرَ عَلَى الْمَكْرُوهِ صَارَتْ لَهُ نَفْسُهُ مُسْتَعِدَّةً لِلْخَيْرِ»
“Barang siapa terbiasa bersabar terhadap hal yang tidak menyenangkan, jiwanya akan siap untuk kebaikan.”
(Tahdzīb al-Akhlāq, hal. 112)

Media sosial, jika kita mau jujur, adalah ladang latihan kesabaran yang luar biasa luas. Setiap kali kita menahan diri untuk tidak menyebar kebencian, tidak ikut menyindir, atau menunda komentar saat hati panas, kita sedang menjalani riyāḍah jiwa—latihan spiritual yang memperindah akhlak digital kita.

Dari Filter Wajah ke Filter Akhlak

Kita hidup di masa ketika semua orang berlomba menampilkan citra terbaik. Filter wajah memang bisa menutupi jerawat dan kantung mata, tetapi tidak ada filter yang mampu menyembunyikan keburukan hati. Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa keindahan sejati tidak terletak pada rupa, melainkan pada moralitas.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams [91]: 9–10)

Ayat ini terasa begitu relevan di dunia digital. Mereka yang menjaga jiwanya dari iri, dengki, dan kebencian online adalah orang yang benar-benar merdeka. Sebaliknya, mereka yang tenggelam dalam balas dendam dan komentar negatif justru sedang menodai jiwanya sendiri.

Etika Interaksi: Akhlak di Kolom Komentar

Media sosial memberi kebebasan berbicara, tetapi kebebasan itu sering berubah menjadi kebablasan. Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa ucapan mencerminkan isi hati. Karena itu, menjaga lidah sama pentingnya dengan menjaga jari.

Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kita sesuaikan dengan konteks digital, maknanya menjadi: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menulis yang baik atau tidak menulis sama sekali.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ibnu Miskawaih dan Budaya Viral

Meskipun hidup berabad-abad sebelum era internet, pandangan Ibnu Miskawaih tentang kehormatan (karāmah) dan kesederhanaan (tawāḍu‘) terasa sangat aktual di tengah budaya viral. Beliau berkata:


«لَيْسَ الشَّرَفُ فِي كَثْرَةِ الْمَالِ وَلَا فِي كَثْرَةِ الْأَتْبَاعِ، وَلَكِنَّهُ فِي نُبْلِ النَّفْسِ وَحُسْنِ الْخُلُقِ»
“Kehormatan tidak terletak pada banyaknya harta atau pengikut, tetapi pada kemuliaan jiwa dan keindahan akhlak.”
(Tahdzīb al-Akhlāq, hal. 73)

Pandangan itu menohok budaya digital kita. Ketika seseorang menilai dirinya dari jumlah “followers” atau “likes”, ia sesungguhnya sedang terjebak dalam ilusi kehormatan palsu. Sebaliknya, orang yang berakhlak tetap berbuat baik meski tanpa disorot siapa pun.

Menjadi Netizen yang Adil dan Bijak

Dalam etika Ibnu Miskawaih, keadilan (‘adl) merupakan kebajikan tertinggi yang menopang semua akhlak lainnya. Keadilan digital berarti menilai informasi dengan jernih, tidak terburu-buru mempercayai berita palsu, dan tidak membenarkan pihak yang kita sukai hanya karena fanatisme.

Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ، وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. Al-Mā’idah [5]: 8)

Ayat ini menegaskan bahwa bahkan di dunia digital yang penuh perdebatan, prinsip keadilan tetap harus berdiri tegak.

Menulis sebagai Amal, Bukan Pelampiasan

Ibnu Miskawaih memandang ilmu dan tulisan sebagai sarana penyucian jiwa. Seandainya ia hidup di zaman Twitter, ia mungkin akan menasihati: “Tweet-lah untuk menebar manfaat, bukan untuk melampiaskan ego.” Karena setiap kata yang kita tulis akan dimintai pertanggungjawaban.

Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ… وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ…»
“Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kata yang diridhai Allah tanpa ia sadari, maka Allah meninggikan derajatnya karenanya. Dan seseorang mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah tanpa ia sadari, maka ia terjerumus ke dalam neraka karenanya.”
(HR. Bukhari)

Postingan sekecil apa pun bisa menjadi amal atau dosa. Karena itu, menulislah dengan hati-hati—sebab setiap jejak digital adalah cermin jiwa.

Penutup: Akhlak Digital sebagai Jalan Jiwa

Seandainya Ibnu Miskawaih hidup di zaman Twitter, ia pasti tidak menolak teknologi. Ia akan memanfaatkannya untuk menebar kebaikan dan menata hati. Bagi beliau, akhlak digital bukan sekadar sopan santun daring, melainkan bentuk tazkiyah al-nafs—penyucian jiwa melalui kesadaran diri yang terus diperbarui.

Akhirnya, dunia digital hanyalah cermin yang memperbesar isi hati manusia. Jika hati bersih, media sosial akan menjadi ladang pahala. Namun jika hati keruh, teknologi hanya mempercepat penyebaran keburukan.

Semoga kita termasuk orang-orang yang menjaga jari dan hati, bukan demi citra, tetapi demi ridha Allah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement