Khazanah
Beranda » Berita » Peduli Lingkungan adalah Cermin Akhlak: dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Peduli Lingkungan adalah Cermin Akhlak: dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Ilustrasi filosofis Muslim menanam pohon dengan cahaya keemasan, melambangkan akhlak dan kepedulian terhadap lingkungan.
Lukisan digital realistik-filosofis menggambarkan seorang Muslim menanam pohon di tanah kering, dan dari tangannya keluar cahaya lembut yang menghidupkan tunas hijau. Langit berwarna lembayung dengan cahaya ilahi yang simbolis.

Surau.co. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, manusia kerap melihat lingkungan hanya sebagai latar hidupnya. Padahal, menurut pandangan Islam dan filsafat moral klasik, sebagaimana dijelaskan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzīb al-Akhlāq, hubungan manusia dengan alam justru mencerminkan kondisi moral dan kesehatan jiwanya. Alam bukan sekadar tempat tinggal, melainkan bagian dari sistem moral yang Allah amanahkan untuk dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Ketika seseorang membuang sampah sembarangan, menebang pohon tanpa kendali, atau mengeksploitasi bumi secara rakus, ia sesungguhnya sedang menyingkap cacat moral dalam dirinya. Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa akhlak mulia lahir dari keseimbangan antara akal, syahwat, dan amarah. Saat keseimbangan itu rusak, manusia mudah bertindak zalim—bahkan terhadap alam.

Ia menulis:
«الفضيلة وسط بين رذيلتين»
“Kebajikan adalah posisi tengah di antara dua keburukan.”

Keseimbangan inilah yang menjadi dasar etika ekologis Islam. Orang berakhlak baik tidak hanya berlaku adil kepada sesama manusia, tetapi juga kepada seluruh ciptaan Tuhan.

Amanah Kekhalifahan dan Tanggung Jawab Moral

Al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi:
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ayat ini bukan sekadar gelar kehormatan, melainkan amanah besar. Menjadi khalifah berarti menjaga keseimbangan ciptaan, bukan menguasainya dengan keserakahan. Seorang khalifah sejati menunjukkan moralitas tinggi karena ia sadar, setiap tindakan terhadap alam akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa manusia bermoral menundukkan hawa nafsunya demi kebaikan umum. Dalam konteks lingkungan, itu berarti menahan diri dari perilaku yang merusak, bahkan jika tindakan itu menguntungkan dirinya sendiri. Karena itu, kecerdasan sejati tidak hanya terletak pada akal, tetapi juga pada kemampuan menyeimbangkannya dengan akhlak. Kecerdasan tanpa moral melahirkan kerakusan ekologis, sementara akhlak tanpa ilmu membuat tindakan kehilangan arah. Maka, keduanya harus berpadu untuk menciptakan peradaban yang adil bagi bumi.

Etika terhadap Alam dalam Pandangan Islam

Rasulullah ﷺ mencontohkan kepedulian terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Beliau bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ، أَوْ إِنْسَانٌ، أَوْ بَهِيمَةٌ، إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau tanaman, lalu dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa Islam memandang amal lingkungan sebagai amal saleh. Menanam pohon bukan sekadar tindakan ekologis, melainkan juga spiritual. Dengan begitu, setiap perbuatan manusia di bumi membawa konsekuensi moral.

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibnu Miskawaih menulis:
«الرحمة عامة لكل ذي روح، والعدل شامل لكل موجود»
“Kasih sayang mencakup semua yang bernyawa, dan keadilan berlaku bagi setiap yang ada.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pandangan ini memperluas cakupan moral Islam: keadilan dan kasih sayang tidak berhenti pada manusia, tetapi merangkul hewan, tumbuhan, dan seluruh ekosistem

Krisis Ekologis adalah Krisis Moral

Banyak orang menyangka krisis lingkungan hanyalah persoalan teknologi atau kebijakan. Padahal, akar masalahnya jauh lebih dalam: moralitas manusia. Perubahan iklim, polusi, dan deforestasi lahir dari cara berpikir egoistik—pandangan bahwa manusia bebas berbuat apa saja demi keuntungan pribadi.

Ibnu Miskawaih menegaskan, sumber segala kejahatan adalah ketidakseimbangan jiwa. Ketika syahwat menguasai diri, manusia mengejar kesenangan tanpa batas. Ketika amarah mendominasi, ia cenderung menghancurkan demi kuasa. Sebaliknya, jiwa yang terarah oleh akal akan mencari harmoni. Maka, menjaga alam sejatinya menjadi latihan penyucian jiwa.

Allah telah memperingatkan:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf [7]: 56)

Kerusakan bukan hanya merusak tanah dan air, tapi juga menandakan hati yang sakit. Jiwa yang bersih akan memperbaiki, bukan menghancurkan.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Membangun Spiritualitas Ekologis

Kepedulian terhadap lingkungan tidak berhenti pada tindakan praktis; ia merupakan bentuk spiritualitas. Saat seseorang memungut sampah, menanam pohon, atau menghemat air, ia sedang menundukkan egonya. Ia belajar menjadi bagian dari harmoni ciptaan Tuhan.

Ibnu Miskawaih menulis:
«الأخلاق الفاضلة لا تكتسب إلا بالرياضة النفسية»
“Akhlak yang mulia hanya dapat diperoleh melalui latihan jiwa.”

Dengan demikian, merawat bumi berarti melatih jiwa. Menahan diri dari membuang limbah sembarangan menumbuhkan kesabaran. Menanam pohon mengajarkan kedermawanan. Merawat lingkungan tanpa pamrih menumbuhkan cinta kasih universal. Inilah bentuk riyādhah al-nafs—olahraga batin menuju kebajikan.

Dari Etika Pribadi ke Etika Kolektif

Akhlak terhadap alam harus berkembang dari kesadaran individu menuju kesadaran sosial. Sebab, kerusakan lingkungan bersifat sistemik dan hanya bisa diperbaiki lewat kerja sama moral. Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya ta‘āwun (kerjasama) dan ‘adālah (keadilan sosial). Ia mengajarkan bahwa masyarakat beradab adalah masyarakat yang saling membantu demi kebaikan bersama.

Al-Qur’an berpesan:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Māidah [5]: 2)

Dalam dunia modern, ayat ini menjadi dasar solidaritas ekologis. Gerakan bersih sungai, penghijauan kota, hingga gaya hidup ramah lingkungan adalah wujud nyata dari ta‘āwun dalam kebaikan. Ketika masyarakat bersatu menjaga bumi, mereka sedang menghidupkan akhlak yang luhur.

Akhlak Hijau: Jalan Tengah antara Teknologi dan Tradisi

Ibnu Miskawaih tidak menolak kemajuan teknologi, namun ia menuntut kebijaksanaan dalam penggunaannya. Dalam dunia yang serba cepat, manusia mudah tergoda oleh kenyamanan yang ditawarkan teknologi, padahal sering kali hal itu mengorbankan keseimbangan ekologis.

Karena itu, akhlak hijau menjadi jalan tengah antara dua ekstrem: eksploitasi dan keacuhan. Kita tidak perlu menolak modernitas, tetapi harus mengawasinya dengan nurani. Kita boleh memanfaatkan teknologi, namun tetap menjaga batas agar konsumsi tidak berubah menjadi kerakusan. Dunia kini tidak hanya membutuhkan smart city, tetapi juga wise society—masyarakat yang cerdas dan berakhlak.

Penutup: Bumi sebagai Cermin Jiwa

Jika kita ingin menilai moralitas manusia, lihatlah kondisi bumi. Sungai yang tercemar, udara yang kotor, dan hutan yang gundul mencerminkan jiwa yang lalai. Sebaliknya, bumi yang hijau dan terawat menunjukkan hati yang penuh kasih dan tanggung jawab.

Peduli lingkungan bukanlah tren modern, tetapi bagian dari warisan akhlak Islam klasik. Ibnu Miskawaih mengajarkan bahwa menjaga alam adalah ibadah, karena setiap daun yang tumbuh dan udara yang segar merupakan ayat-ayat Allah yang hidup di sekitar kita.

Allah berfirman:
“فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۝ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ”
“Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa berbuat kejahatan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7–8)

Setiap pohon yang kita tanam, setiap sampah yang kita pungut, setiap langkah kecil untuk menjaga bumi—semuanya tercatat. Di hadapan Allah, bumi akan menjadi saksi akhlak kita.
Dan siapa pun yang berakhlak terhadap bumi, sesungguhnya sedang berakhlak kepada Penciptanya.

*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement