Khazanah
Beranda » Berita » Akhlak dan Ekonomi: Bisnis yang Jujur di Dunia yang Licik dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Akhlak dan Ekonomi: Bisnis yang Jujur di Dunia yang Licik dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Pedagang jujur menimbang antara harta dan akhlak dalam cahaya keemasan.
Ilustrasi filosofi akhlak dan bisnis dalam cahaya keemasan yang hangat.

Surau.co. Di dunia yang serba cepat dan kompetitif, banyak orang menilai kejujuran dalam bisnis sebagai langkah yang lambat. Mereka sering berpikir bahwa kelicikan adalah kunci bertahan di pasar yang keras. Namun, benarkah cara itu membawa keberkahan? Ibnu Miskawaih, dalam karya monumentalnya Tahdzīb al-Akhlāq, menegaskan bahwa akhlak bukan hanya urusan ibadah pribadi, melainkan fondasi utama bagi seluruh interaksi sosial—termasuk dalam bidang ekonomi.

Kejujuran dalam bisnis tidak pernah berarti kebodohan, dan mencari keuntungan tidak harus berarti licik. Keduanya justru dapat berjalan seimbang bila berakar pada moralitas yang kuat. Di tengah dunia modern yang penuh manipulasi, ajaran klasik Ibnu Miskawaih hadir sebagai oase kejujuran yang menyejukkan dan menuntun nurani para pelaku ekonomi.

Ibnu Miskawaih (w. 1030 M) dalam Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathhīr al-A‘rāq menulis bahwa akhlak mulia tumbuh dari latihan jiwa yang terus-menerus:

وَالْخُلُقُ هُوَ حَالٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لَهَا إِلَى أَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ
“Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang melakukan perbuatannya tanpa harus berpikir panjang.”

Dengan kata lain, kejujuran bukan strategi sesaat, tetapi karakter yang menyatu dalam diri. Mari kita telusuri bagaimana Ibnu Miskawaih memandang hubungan antara akhlak dan ekonomi, serta bagaimana nilai moral dapat menumbuhkan dunia bisnis yang sehat di tengah arus kelicikan global.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Akhlak: Pondasi Ekonomi yang Berkelanjutan

Ibnu Miskawaih menempatkan akhlak sebagai penentu arah hidup manusia. Dalam konteks ekonomi, akhlak berperan sebagai rem moral yang menahan manusia dari kerakusan. Dunia bisnis modern kerap terjebak dalam prinsip “profit di atas segalanya.” Namun, tanpa kendali moral, keuntungan justru berubah menjadi racun sosial.

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, beliau menekankan pentingnya i‘tidāl (keseimbangan) dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam mencari nafkah. Menurutnya, manusia yang baik tidak diperbudak oleh harta, tetapi menjadikannya sarana menuju kebaikan. Prinsip ini sejalan dengan pesan Al-Qur’an:

وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” — (QS. Al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak menolak dunia, tetapi mengajarkan keseimbangan antara kerja keras dan nilai spiritual. Dalam bisnis, keseimbangan itu berarti mencari keuntungan tanpa menyingkirkan kejujuran, empati, dan tanggung jawab sosial.

Bisnis yang Jujur: Cermin dari Kecerdasan Moral

Banyak orang menganggap kejujuran sebagai kelemahan di dunia bisnis. Padahal, menurut Ibnu Miskawaih, kejujuran adalah puncak kecerdasan moral. Ia menulis:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

الصدق رأس الأخلاق، ومن فقده فقد الدين والدنيا
“Kejujuran adalah puncak dari segala akhlak. Barang siapa kehilangan kejujuran, maka ia kehilangan agama dan dunianya.”

Dalam jangka pendek, kelicikan memang terlihat menguntungkan. Namun, dalam jangka panjang, bisnis yang berlandaskan kejujuran akan membangun kepercayaan yang tak ternilai. Reputasi menjadi aset paling berharga yang tak bisa dibeli oleh uang.

Rasulullah ﷺ juga menegaskan hal ini:

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang jujur, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi)

Dengan demikian, bisnis yang jujur bukan kelemahan, melainkan kekuatan spiritual dan sosial yang membuat pelakunya tegak di hadapan Allah dan dipercaya oleh manusia.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Ketika Nafsu Menguasai Ekonomi

Tantangan terbesar dunia ekonomi adalah kerakusan. Sistem kapitalisme sering menanamkan keyakinan bahwa sukses berarti memiliki lebih banyak, bukan menjadi lebih baik. Ibnu Miskawaih mengingatkan bahaya manusia yang dikuasai nafsu:

من غلبت عليه شهوة المال فقد ذلّ، وإن ظنّ أنه نال العزّ
“Barang siapa dikuasai syahwat terhadap harta, maka ia telah hina, meskipun ia mengira dirinya mulia.”

Peringatan ini relevan dengan realitas hari ini. Banyak krisis ekonomi, korupsi, dan penipuan bisnis bukan lahir dari kurangnya kecerdasan, tetapi dari lemahnya moral. Manusia modern sering kali menjadi hamba sistem yang ia ciptakan sendiri.

Al-Qur’an mengingatkan:

كَلَّا إِنَّ الإِنسَانَ لَيَطْغَىٰ أَن رَّآهُ اسْتَغْنَىٰ
“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika melihat dirinya merasa cukup.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 6–7)

Karena itu, akhlak berfungsi sebagai penyeimbang agar ekonomi tidak kehilangan nilai kemanusiaan dan tetap berpihak pada keadilan.

Bisnis Sebagai Ibadah: Menemukan Rezeki yang Bernilai Spiritual

Ibnu Miskawaih tidak menolak dunia, tetapi mengajarkan agar manusia menjadikan dunia sebagai sarana menuju kebaikan. Dalam pandangannya, berdagang dengan jujur adalah bentuk ibadah yang nyata.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa ibadah sejati tidak berhenti di masjid, tetapi juga hidup di pasar, kantor, dan ruang transaksi. Pengusaha yang jujur kepada pelanggan, adil terhadap karyawan, dan menjaga lingkungan sejatinya sedang beribadah.

Bagi Ibnu Miskawaih, kebahagiaan sejati (sa‘ādah) tidak datang dari harta, tetapi dari kesempurnaan akhlak. Maka, bisnis yang dijalankan dengan niat tulus dan moral yang bersih akan menghadirkan keberkahan, bukan sekadar keuntungan.

Menumbuhkan Etika Bisnis di Era Modern

Lalu, bagaimana kita menanamkan akhlak dalam bisnis masa kini yang keras dan penuh kompetisi? Jawaban Ibnu Miskawaih sederhana: latihlah jiwa seperti kita melatih tubuh. Melalui riyādhah al-nafs—pendidikan jiwa—seseorang belajar menundukkan hawa nafsu dan menegakkan keadilan dalam setiap keputusan.

Dalam konteks ekonomi modern, nilai-nilai ini bisa diterapkan melalui:

  1. Transparansi dan kejujuran dalam laporan keuangan.

  2. Keadilan dalam menentukan harga dan upah.

  3. Kepedulian sosial terhadap pekerja dan lingkungan.

  4. Komitmen terhadap kualitas dan kebermanfaatan produk.

Dengan langkah ini, bisnis akan menjadi bukan hanya mesin penghasil uang, tetapi wadah untuk menebar keberkahan dan kemanusiaan.

Penutup: Keuntungan yang Tak Tertulis di Neraca

Pada akhirnya, kejujuran mungkin tidak memberi keuntungan cepat, tetapi ia menghadirkan sesuatu yang jauh lebih berharga: ketenangan jiwa dan keberkahan hidup. Seperti yang diajarkan Ibnu Miskawaih, manusia yang mampu mengendalikan nafsu serakah akan hidup dalam sa‘ādah—kebahagiaan sejati.

Dunia mungkin memuja kelicikan, tetapi sejarah membuktikan bahwa mereka yang jujurlah yang bertahan lama. Bisnis yang berlandaskan akhlak memang sulit dijalankan di dunia yang licik, namun justru karena itulah nilainya sangat tinggi.

Keuntungan sejati bukan angka di neraca laba, melainkan hati yang tenang karena tahu telah berdagang dengan integritas.

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath-Thalāq [65]: 2–3)

Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement