Khazanah
Beranda » Berita » Kenapa Ilmu Tanpa Akhlak Bisa Berbahaya? dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Kenapa Ilmu Tanpa Akhlak Bisa Berbahaya? dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Seorang laki-laki Muslim berdiri di ruang studi diterangi cahaya keemasan, simbol keseimbangan antara ilmu dan akhlak.
seorang laki-laki Muslim berdiri di tengah ruang studi yang remang. Cahaya keemasan dari lampu menerangi sebagian wajahnya, simbol ilmu; sementara cahaya lembut dari arah jendela menggambarkan akhlak yang menuntun. Suasana kontemplatif dan tenang.

Surau.co Di zaman ketika informasi mengalir lebih cepat daripada air sungai di musim hujan, manusia semakin pandai tetapi tidak selalu semakin beradab. Kita kini menyaksikan para tokoh cerdas saling merendahkan di media sosial, ilmuwan menggunakan teori untuk membenarkan keserakahan, dan masyarakat memuja kecerdasan sambil melupakan kebijaksanaan. Maka, pertanyaan penting pun muncul: apakah ilmu masih bermakna jika ia kehilangan akhlak?

Ibnu Miskawaih, seorang filsuf Muslim klasik abad ke-10, menjawab keresahan itu dengan jernih. Dalam karya monumentalnya Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathhīr al-A‘rāq (Penyucian Akhlak dan Penjernihan Jiwa), ia menegaskan bahwa ilmu sejati harus membimbing manusia menuju kebaikan, bukan sekadar menumpuk pengetahuan. Menurutnya, ilmu tanpa akhlak ibarat pedang di tangan orang mabuk—tajam, namun tanpa arah dan bisa melukai siapa pun, termasuk pemiliknya.

Ilmu: Cahaya yang Bisa Membakar

Al-Qur’an memuliakan ilmu sebagai cahaya yang menerangi kehidupan. Allah berfirman:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ
“Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi.”
(QS. An-Nur [24]: 35)

Namun, cahaya itu bisa berubah menjadi api jika manusia tidak mengendalikannya dengan akhlak. Tanpa moral, ilmu justru dapat menyesatkan dan menghancurkan. Sejarah telah membuktikan hal ini: banyak perang, eksploitasi alam, dan manipulasi sosial muncul bukan karena kebodohan, melainkan karena kecerdasan yang kehilangan nurani.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Ibnu Miskawaih menulis dalam Tahdzīb al-Akhlāq:
إِنَّ الْعِلْمَ لَا يَنْفَعُ إِذَا لَمْ يُصْحَبْ بِالْعَدْلِ وَالْعِفَّةِ وَالْحِلْمِ
“Sesungguhnya ilmu tidak akan bermanfaat jika tidak disertai keadilan, kesucian, dan kesabaran.”

Ia menegaskan, ilmu yang benar seharusnya menumbuhkan kebijaksanaan (hikmah), bukan kesombongan. Semakin dalam seseorang memahami ilmu, semakin ia sadar betapa luasnya ketidaktahuan dirinya. Maka, orang berilmu yang sejati selalu bersikap rendah hati.

Ketika Akal Berjalan Tanpa Hati

Ketika ilmu kehilangan akhlak, akal pun kehilangan arah. Fenomena intellectual arrogance—kesombongan intelektual—muncul di mana-mana. Banyak orang menganggap dirinya unggul hanya karena mampu mengoreksi orang lain, bukan karena mau memahami.

Ibnu Miskawaih menggambarkan jiwa manusia memiliki tiga kekuatan utama:

  1. Akal (an-naṭiqah), yang berfungsi mengenali kebenaran.

    Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

  2. Gairah (as-syahwah), yang mendorong untuk menikmati.

  3. Amarah (al-ghaḍabiyyah), yang mempertahankan diri.

Ketika akal memimpin dengan bimbingan akhlak, manusia akan menjadi bijak. Tetapi, bila akal berjalan sendirian tanpa moral, ia justru menyesatkan. Akal yang kehilangan hati akan menjadi licik; ia mencari jalan pintas, bukan jalan benar.

Bahaya Ilmu Tanpa Nurani

Kini, di era digital, ilmu tanpa nurani menjelma menjadi senjata informasi. Orang yang menguasai retorika mampu memanipulasi publik; data dipelintir, teori diselewengkan, dan kebenaran menjadi relatif. Semua ini terjadi karena akal bekerja tanpa nilai moral.

Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu sejati harus berjalan beriringan dengan iman. Tanpa iman, ilmu hanya menumbuhkan kesombongan. Ibnu Miskawaih menulis dengan tegas:
لَا يَكُونُ الْعَالِمُ كَامِلًا إِلَّا إِذَا صَارَ عِلْمُهُ عَمَلًا
“Seorang berilmu tidak akan sempurna kecuali ketika ilmunya menjadi amal.”

Dengan demikian, ukuran sejati seorang cendekia bukanlah banyaknya pengetahuan, tetapi sejauh mana pengetahuannya membuat dunia lebih baik.

Akhlak: Tujuan Tertinggi dari Ilmu

Menurut Ibnu Miskawaih, seluruh cabang ilmu—baik logika, kedokteran, maupun teologi—seharusnya bertujuan memperbaiki jiwa manusia. Ilmu tanpa moral hanyalah bangunan indah tanpa pondasi. Maka, manusia ideal adalah mereka yang menggunakan ilmunya untuk mencapai keseimbangan batin.

Ia menyebut kondisi itu sebagai al-faḍīlah (keutamaan moral), yaitu ketika seluruh kekuatan jiwa tunduk kepada akal yang diterangi oleh akhlak. Dengan demikian, belajar bukan hanya mengasah logika, tetapi juga melembutkan hati.

Ibnu Miskawaih bahkan mengibaratkan pendidikan moral sebagai “pengobatan jiwa.” Sebagaimana tubuh membutuhkan terapi agar sehat, jiwa memerlukan latihan moral agar bersih dari penyakit batin.

Latihan Jiwa: Dari Teori ke Aksi

Ibnu Miskawaih mengingatkan bahwa akhlak tidak tumbuh dari teori, melainkan dari kebiasaan yang dilatih setiap hari. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, ia menulis:
إِنَّ الْأَخْلَاقَ إِنَّمَا تُكْتَسَبُ بِالْعَادَةِ وَالْمُمَارَسَةِ
“Akhlak hanya dapat diperoleh melalui kebiasaan dan latihan terus-menerus.”

Artinya, seseorang tidak akan menjadi bijak hanya dengan membaca buku atau mendengarkan ceramah. Ia perlu berlatih: bersabar saat marah, jujur saat tergoda, dan dermawan saat punya kesempatan untuk kikir. Setiap tindakan menjadi semacam “olahraga rohani” yang memperkuat jiwa.

Menjaga Keseimbangan antara Akal, Hati, dan Nafsu

Salah satu gagasan penting Ibnu Miskawaih adalah tawāzun—keseimbangan. Ia menegaskan bahwa kebajikan muncul ketika tiga kekuatan jiwa berjalan harmonis: akal, gairah, dan amarah. Bila satu kekuatan mendominasi, manusia kehilangan arah.

Orang yang dikuasai gairah akan menjadi hedonis, yang dikuasai amarah menjadi agresif, sedangkan yang hanya mengandalkan akal tanpa empati menjadi kejam. Karena itu, akhlak sejati adalah seni menjaga keseimbangan batin.

Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا
“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.”
(HR. Baihaqi)

Keseimbangan melahirkan kebijaksanaan. Orang berilmu yang berakhlak tahu kapan harus berbicara dan kapan diam, kapan tegas dan kapan lembut.

Ilmu untuk Memanusiakan Manusia

Bagi Ibnu Miskawaih, tujuan akhir ilmu adalah insāniyyah—menjadi manusia seutuhnya. Ilmu bukan untuk menyaingi Tuhan, melainkan untuk meneladani sifat-sifat-Nya: adil, kasih sayang, dan sabar. Dengan mengikuti sifat Ilahi itu, manusia menemukan martabatnya.

Tanpa akhlak, ilmu menjadikan manusia seperti mesin: mampu memproduksi dan menghitung, tetapi kehilangan empati. Dunia modern membuktikan hal ini—teknologi semakin canggih, tetapi hati manusia semakin beku.

Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa puncak ilmu adalah akhlak. Tanpa itu, ilmu hanyalah kebisingan intelektual yang tak mengantar manusia kepada Tuhan.

Penutup: Ilmu Sebagai Jalan Pulang ke Hati

Akhirnya, ilmu sejati bukan diukur dari banyaknya pengetahuan, melainkan dari sejauh mana pengetahuan itu membawa kita kembali kepada diri dan Tuhan. Ibnu Miskawaih mengajak manusia untuk menyucikan ilmunya dari kesombongan, agar cahaya pengetahuan menjadi penerang, bukan pembakar.

Kita boleh menjadi ilmuwan, ekonom, atau seniman; tetapi tanpa akhlak, semua hanyalah kesombongan terselubung. Sebaliknya, jika ilmu berpadu dengan moral, ia menjadi cahaya yang menerangi kepala sekaligus hati.

Maka sebelum berbangga dengan gelar dan pencapaian, mari kita bertanya:
Apakah ilmu ini sudah membuatku lebih manusiawi?

*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement