Khazanah
Beranda » Berita » Ibadah Itu Bukan Sekadar Rukuk, Tapi Menjadi Manusia: Dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Ibadah Itu Bukan Sekadar Rukuk, Tapi Menjadi Manusia: Dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

ilustrasi ibadah sejati yang memadukan rukuk dan kemanusiaan
Seorang manusia sedang rukuk di tengah ruang hening bercahaya lembut, namun bayangannya memantulkan sosok yang menolong sesama. Latar nuansa hangat keemasan, gaya realistik-filosofis, menggambarkan hubungan antara ibadah dan kemanusiaan.

Surau.co Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, banyak orang memandang ibadah hanya sebagai ritual formal: rukuk, sujud, membaca doa, atau berhenti sejenak dari kesibukan duniawi. Padahal, hakikat ibadah jauh lebih dalam dari sekadar gerakan tubuh atau ucapan lisan. Ibadah sejati adalah perjalanan jiwa yang menuntun manusia menuju kesadaran kemanusiaan yang utuh.

Ibnu Miskawaih, dalam karyanya yang masyhur Tahdzīb al-Akhlāq (Penyucian Akhlak), menegaskan bahwa ibadah sejati tidak berhenti pada bentuk pengabdian formal kepada Allah. Ia mengajak manusia menjadikan ibadah sebagai latihan moral untuk menumbuhkan akhlak mulia. Menurutnya, ibadah kehilangan makna ketika tidak menumbuhkan kebajikan dalam diri dan perilaku sosial.

Dengan begitu, manusia beribadah bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran diri—bahwa setiap tindakan mencerminkan akhlak yang lahir dari pengenalan terhadap Sang Pencipta.


Makna Ibadah dalam Perspektif Moral Islam

Ibadah dalam Islam mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman:

﴿ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴾
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 56)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Banyak orang memahami ayat ini sebagai perintah untuk menjalankan ritual keagamaan. Namun, Ibnu Miskawaih mengajak kita menafsirkan ayat ini lebih dalam. Ia memandang ibadah sebagai orientasi batin yang menuntun manusia mengenal dirinya dan Tuhannya.

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, ia menulis:

« العبادة الحقيقية هي تهذيب النفس لتصل إلى كمالها الإنساني »
“Ibadah yang sejati adalah penyucian jiwa agar ia mencapai kesempurnaan kemanusiaannya.”

Dengan demikian, rukuk dan sujud hanyalah simbol lahiriah dari perjalanan jiwa menuju kebajikan. Bila seseorang rajin beribadah tetapi tetap sombong, mudah marah, atau menzalimi sesama, berarti ia baru berhenti pada gerakan, belum sampai pada makna.

Ibadah sebagai Jalan Menjadi Manusia Seutuhnya

Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa tujuan utama ibadah adalah menjadi manusia yang sadar akan perannya sebagai khalifah di bumi. Melalui ibadah, seseorang melatih akal, menenangkan hati, dan mengarahkan tindakannya menuju kebaikan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Beliau menulis, “Orang yang beribadah dengan akalnya akan memperoleh hikmah, orang yang beribadah dengan hatinya akan memperoleh kasih sayang, dan orang yang beribadah dengan tindakannya akan menegakkan keadilan.”

Karena itu, ibadah bukan hanya urusan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga berdampak horizontal pada kehidupan sosial. Shalat menumbuhkan disiplin dan kesetaraan, zakat menanamkan empati, puasa mengajarkan pengendalian diri, dan haji menumbuhkan persaudaraan universal. Semua ibadah itu mengasah keseimbangan antara dimensi rohani dan moral manusia.

Ritual Tanpa Perubahan Diri: Kekosongan Spiritualitas

Banyak orang rajin beribadah tetapi tetap jauh dari akhlak mulia. Fenomena ini sudah Allah singgung dalam firman-Nya:

﴿ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴾
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Mā‘ūn [107]: 4–5)

Ayat ini menegaskan bahwa ibadah tanpa perubahan moral hanyalah formalitas kosong. Ibnu Miskawaih menyebut kondisi ini sebagai ‘amal bidūna ma‘rifah—amal tanpa pengetahuan. Orang yang beribadah tanpa memahami makna spiritualnya hanya bergerak secara mekanis, bukan dengan kesadaran.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Padahal, tujuan utama ibadah ialah menyatukan pikiran, perasaan, dan tindakan dalam kesadaran moral yang utuh.

Ibadah sebagai Latihan Pengendalian Diri

Ibnu Miskawaih menilai ibadah sebagai sarana etis untuk melatih manusia menguasai diri. Setiap bentuk ibadah mengandung pelajaran moral. Misalnya, puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan amarah dan mengendalikan syahwat.

Ia menulis:

« الصوم تربية للنفس على ضبط الشهوات لتستعد للفضيلة »
“Puasa adalah latihan jiwa untuk mengendalikan syahwat agar siap menerima kebajikan.”

Demikian pula dengan shalat. Ketika seseorang menegakkannya dengan penuh kesadaran, ia sedang melatih fokus dan disiplin moral. Allah pun berfirman:

﴿ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ﴾
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 45)

Ayat ini menegaskan bahwa shalat yang benar akan memantulkan akhlak yang benar. Bila ibadah tidak mengubah perilaku, maka ibadah itu belum mencapai hakikatnya.

Dimensi Sosial Ibadah: Menjadi Manusia yang Berguna

Ibadah yang benar tidak hanya mendekatkan manusia kepada Allah, tetapi juga menjadikannya lebih peka terhadap sesama. Zakat, sedekah, dan infak bukan sekadar urusan harta, melainkan latihan empati sosial.

Ibnu Miskawaih menegaskan, “Orang yang beribadah dengan benar akan mencintai manusia karena Allah, bukan karena kepentingan.”

Ketika hati dipenuhi cinta ilahi, manusia belajar mencintai ciptaan-Nya tanpa pamrih. Ia menolong bukan demi pujian, memberi tanpa mengharap imbalan, dan menahan diri karena cinta, bukan karena takut. Inilah ibadah dalam bentuk paling murni—ibadah yang menghidupkan nilai kemanusiaan.

Antara Rukuk dan Moralitas: Menyatukan Gerak dan Nurani

Gerakan rukuk dan sujud bukanlah akhir ibadah, melainkan simbol kerendahan hati. Tubuh yang menunduk menggambarkan kesadaran bahwa manusia hanyalah hamba. Namun, Miskawaih menegaskan bahwa kerendahan hati sejati justru tampak dari perilaku setelah ibadah.

Ia menulis, “Kerendahan hati yang hanya tampak di depan Tuhan, tapi hilang di depan manusia, adalah kesombongan terselubung.”

Rukuk sejati berarti menundukkan kesombongan di hadapan sesama. Sujud sejati berarti merendahkan ego demi kebenaran. Maka, ibadah sejati menyatukan komunikasi dengan Tuhan dan pendidikan moral yang meneguhkan kemanusiaan.

Ibadah dan Akhlak: Dua Sisi dari Satu Koin

Dalam Islam, ibadah dan akhlak tidak bisa dipisahkan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

« إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ »
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menunjukkan bahwa inti ajaran agama adalah pembentukan akhlak. Ibnu Miskawaih pun berkata dengan indah, “Ibadah adalah pohon, akhlak adalah buahnya. Siapa yang beribadah tanpa berakhlak, ibarat menanam tanpa berbuah.”

Maka, siapa pun yang beribadah hendaknya menumbuhkan buah akhlak dalam keseharian: rendah hati, lembut, dan bijaksana.

Menyucikan Jiwa: Inti Ibadah Sejati

Bagi Ibnu Miskawaih, ibadah sejati adalah proses tazkiyah al-nafs—penyucian jiwa dari iri, dengki, sombong, dan rakus. Melalui ibadah reflektif, manusia belajar mengenali dirinya, merendahkan ego, serta mengasah kesabaran dan kejujuran.

Ia menulis:

« تهذيب النفس طريق إلى معرفة الله، ومن عرف نفسه عرف ربه »
“Penyucian jiwa adalah jalan menuju pengenalan terhadap Allah. Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.”

Dengan demikian, ibadah sejati bukan sekadar rutinitas, tetapi perjalanan batin menuju kedamaian dan kesadaran ilahi.

Penutup: Rukuklah dengan Jiwa, Bukan Hanya Tubuh

Akhirnya, ibadah sejati tidak diukur dari banyaknya rakaat atau panjangnya doa, tetapi dari ketundukan hati sebelum tubuh menunduk. Ibnu Miskawaih berpesan lembut:
“Jadilah hamba Allah bukan karena takut neraka atau mengharap surga, tetapi karena engkau telah mengenal kebaikan-Nya.”

Maka, rukuklah dengan jiwa yang lapang, sujudlah dengan hati yang bersih, dan beribadahlah dengan akhlak yang hidup. Sebab, ibadah sejati adalah ketika manusia menjadi lebih manusiawi.

Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University, Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement