Khazanah
Beranda » Berita » Meniru Sifat Allah: Emanasi Ilahi yang Tak Boleh Disombongkan

Meniru Sifat Allah: Emanasi Ilahi yang Tak Boleh Disombongkan

Laki-laki Muslim di depan cermin dengan cahaya lembut, simbol manusia sebagai cermin sifat-sifat Allah yang tidak boleh disombongkan
menggambarkan seorang laki-laki Muslim berdiri di depan cermin besar. Separuh wajahnya diterangi cahaya lembut, separuh lagi remang. Di sekelilingnya tampak semburat cahaya keemasan yang memancar tenang, melambangkan emanasi Ilahi dalam jiwa yang rendah hati.

Surau.co. Sejak awal penciptaan, Allah telah memberi manusia kehormatan besar sekaligus beban yang berat: menjadi wakil-Nya di bumi. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”
(QS. Al-Baqarah: 30)

Kata khalifah tidak sekadar berarti penguasa, melainkan manusia yang meniru sifat-sifat Allah dalam wujud yang manusiawi. Dengan bersikap adil, sabar, penyayang, dan penuh kasih, manusia sejatinya sedang memantulkan seberkas cahaya dari sifat-sifat Tuhan Yang Mahaagung.

Namun, bahaya selalu mengintai di balik kemampuan itu. Karena di balik kemampuan meniru, tersembunyi godaan untuk merasa seperti Tuhan. Padahal manusia hanya menerima pancaran kecil dari keagungan Ilahi, bukan keilahian itu sendiri.

Emanasi Ilahi: Pantulan, Bukan Kepemilikan

Para filsuf Islam seperti Ibnu Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memantulkan cahaya Tuhan melalui akalnya. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, beliau menulis:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

النفس الإنسانية تشبه النور الإلهي في إدراكها للمعقولات
“Jiwa manusia menyerupai cahaya Ilahi dalam kemampuannya memahami hal-hal rasional.”

Artinya, akal manusia hanyalah pantulan kecil dari kebijaksanaan Tuhan. Kita mampu berpikir, berbuat baik, mencipta, dan memutuskan dengan adil karena Allah menghembuskan sebagian dari ruh-Nya ke dalam diri kita (QS. As-Sajdah: 9).

Namun, perumpamaan “cermin” menjadi penting. Cermin hanya memantulkan cahaya, bukan memilikinya. Ketika manusia mengira cahaya itu berasal dari dirinya, ia justru terjebak dalam kesombongan spiritual — penyakit yang menjauhkan diri dari sumber cahaya itu sendiri.

Bahaya Menyombongkan Cahaya yang Bukan Milik Kita

Kesombongan sering tumbuh dari keberhasilan meniru sifat Ilahi. Saat seseorang berhasil berlaku adil, ia merasa paling benar. Ketika ia dermawan, ia menuntut pujian. Ketika ia bijaksana, ia ingin disanjung. Padahal semua itu hanyalah emanasi, bukan hasil mutlak dari dirinya sendiri.

Allah mengingatkan:

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu mencapai setinggi gunung.”
(QS. Al-Isra’: 37)

Ayat ini menegur keras kesombongan manusia yang lupa bahwa seluruh kemuliaan dirinya hanyalah karunia dari Allah.

Ibnu Miskawaih menulis:

الكبر فساد في النفس يبعدها عن الفضيلة
“Kesombongan adalah kerusakan dalam jiwa yang menjauhkannya dari kebajikan.”

Karena itu, meniru sifat Allah seharusnya berarti mengabdi kepada-Nya dengan sebaik-baik akhlak, bukan menganggap diri seperti Tuhan.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Meniru Sifat Allah dengan Kesadaran Batin

Meniru sifat Allah berarti berusaha mempraktikkan nilai keilahian dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kuncinya adalah kesadaran: kita hanya meniru, bukan menjadi.

تخلقوا بأخلاق الله ما استطعتم
“Berakhlaklah dengan akhlak Allah sejauh kemampuan kalian.”
(HR. al-Baihaqi)

Hadis ini menegaskan batasnya: sejauh kemampuan. Artinya, manusia tidak akan pernah menjadi Tuhan; ia hanya bisa mencerminkan sifat-Nya dengan cara terbatas.

Kesadaran ini menjaga manusia agar tidak tergelincir menjadi pribadi yang sok suci. Justru semakin seseorang dekat dengan sifat Ilahi, semakin ia rendah hati, karena ia menyadari betapa kecil dirinya di hadapan Yang Maha Besar.

Akhlak sebagai Jalan Emanasi

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibnu Miskawaih menegaskan:

تهذيب الأخلاق هو تنقية النفس من أدرانها حتى تصير شبيهة بالعقل الفعال
“Penyucian akhlak adalah pembersihan jiwa dari kotorannya hingga ia menyerupai akal yang aktif (sumber cahaya Ilahi).”

Akhlak mulia, dengan demikian, bukan sekadar aturan sosial. Ia adalah jalan spiritual menuju kebijaksanaan Ilahi.

Ketika seseorang jujur, sabar, dan adil, ia sedang menyelaraskan dirinya dengan harmoni Tuhan. Namun, saat ia menyombongkan kebaikannya, ia memutus hubungan itu.

Kesombongan Spiritual: Ketika Cahaya Menjadi Kegelapan

Kesombongan spiritual adalah bentuk ego paling halus. Ia tidak tumbuh dari harta atau jabatan, tetapi dari perasaan “lebih dekat” dengan Tuhan. Ia berbicara lembut, tapi hatinya menyimpan keangkuhan.

Iblis menjadi contoh nyata. Ia mengenal Tuhan lebih dari siapa pun, tetapi menolak bersujud kepada Adam karena merasa lebih mulia.

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Iblis berkata: Aku lebih baik darinya; Engkau menciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
(QS. Al-A‘raf: 12)

Iblis bukan kafir karena tidak percaya, tetapi karena kesombongan rohaninya. Ia lupa bahwa hakikat tertinggi bukan meniru Tuhan, melainkan menjadi hamba yang tunduk.

Ibnu Miskawaih mengingatkan:

النفس المتكبرة مظلمة لا تقبل النور
“Jiwa yang sombong menjadi gelap dan tak mampu menerima cahaya.”

Setiap kali kita merasa lebih saleh, lebih bijak, atau lebih suci daripada orang lain, cahaya emanasi Ilahi dalam diri perlahan meredup.

Meniru Tanpa Mengambil Alih

Meniru sifat Allah berarti meneladani nilai, bukan mengklaim kuasa. Saat seseorang berlaku adil, ia meneladani Al-‘Adl, tapi ia tidak berhak menghakimi dengan sombong. Saat ia memaafkan, ia meniru Al-Ghafur, tapi ia tidak boleh merasa lebih suci.

Para ulama menyebut sikap ini sebagai takhalluq bil-asmā’ al-ḥusnā — berakhlak dengan nama-nama indah Allah. Syaratnya satu: tanpa kesombongan, tanpa menganggap diri “tuhan kecil” di bumi.

Sebab, semua kebajikan hanyalah amanah. Kita hanya alat, bukan sumber. Jika kita mampu memaafkan, itu karena Allah melembutkan hati. Jika kita berlaku adil, itu karena Allah menuntun akal kita.

Kesadaran inilah yang melahirkan kerendahan hati sejati — kerendahan yang justru memuliakan.

Cahaya yang Menyebar, Bukan Membakar

Emanasi Ilahi seharusnya memancarkan kedamaian, bukan kebanggaan. Orang yang benar-benar mencerminkan sifat Allah membuat sekitarnya merasa tenteram, bukan terintimidasi.

Seperti matahari yang bersinar tanpa menuntut pujian, jiwa yang tercerahkan memberi hangat tanpa membakar, menerangi tanpa menyilaukan.

Ibnu Miskawaih menulis:

النفس الكاملة هي التي تفعل الخير لذاته لا لمدح الناس
“Jiwa yang sempurna adalah jiwa yang berbuat baik karena kebaikan itu sendiri, bukan karena ingin dipuji.”

Ketika emanasi Ilahi hidup dalam diri, kesombongan lenyap. Cahaya sejati tidak menonjolkan diri; ia bekerja dalam diam, menerangi tanpa pamrih.

Menjadi Cermin yang Bersih

Cermin yang kotor tidak bisa memantulkan cahaya dengan jernih. Begitu pula hati manusia. Ketika hati penuh dendam, iri, dan sombong, pantulan sifat Ilahi akan pudar.

Karena itu, manusia harus terus membersihkan cermin batinnya agar cahaya Ilahi dapat memancar dengan indah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ، فَإِذَا تَابَ نُزِعَتْ
“Sesungguhnya ketika seorang mukmin berbuat dosa, maka muncul titik hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, maka titik itu dihapus.”
(HR. Tirmidzi)

Taubat dan kesadaran diri menjadi cara untuk terus mengilapkan hati agar siap menerima cahaya dari Yang Maha Cahaya.

Penutup: Emanasi yang Mengajarkan Rendah Hati

Meniru sifat Allah adalah kehormatan sekaligus ujian. Ia bisa mengangkat manusia ke derajat tinggi, tetapi juga menjatuhkannya bila disertai kesombongan.

Cahaya Ilahi yang memancar dalam jiwa bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk dibagikan. Seperti air yang jernih karena terus mengalir, jiwa yang hidup memantulkan cahaya Tuhan karena terus memberi dan melayani.

Akhirnya, kebahagiaan sejati tidak lahir dari perasaan “seperti Tuhan”, tetapi dari kesadaran akan kecilnya diri di hadapan-Nya — dan betapa indahnya kesempatan untuk memantulkan sedikit dari cahaya-Nya.

Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement