Surau.co. Banyak dari kita sering merasa lelah tanpa tahu penyebabnya. Ada hari ketika pikiran terasa penuh, hati kosong, dan tindakan malah berlebihan. Kita berpikir keras, namun tanpa arah. Kita berbuat banyak, tetapi kehilangan rasa. Di tengah derasnya arus dunia modern, keseimbangan antara akal, hati, dan tindakan semakin sulit kita temukan.
Ibnu Miskawaih, dalam karya moral klasiknya Tahdzīb al-Akhlāq (Penyucian Akhlak), menegaskan bahwa akar ketidakseimbangan hidup manusia tidak terletak di luar dirinya, melainkan di dalam dirinya sendiri. Ketika akal terlalu mendominasi, hati menjadi kering; ketika hati terlalu lembut tanpa kendali akal, tindakan berubah menjadi impulsif. Sementara ketika tindakan berjalan tanpa bimbingan akal dan hati, hidup hanya menjadi reaksi—bukan refleksi.
Menurut Miskawaih, keseimbangan antara tiga unsur—akal, hati, dan tindakan—menjadi kunci kebajikan sekaligus kebahagiaan sejati (sa‘ādah). Dari keseimbangan inilah manusia tumbuh menjadi makhluk beradab, bukan sekadar makhluk berakal.
Keseimbangan sebagai Fondasi Akhlak
Ibnu Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki tiga kekuatan utama:
-
Kekuatan berpikir (النفس الناطقة / al-nafs al-nāṭiqah),
-
Kekuatan amarah (النفس الغضبية / al-nafs al-ghaḍabiyyah), dan
-
Kekuatan syahwat (النفس الشهوانية / al-nafs al-shahwiyyah).
Jika ketiganya berjalan seimbang, manusia menampilkan akhlak yang baik. Namun, jika satu kekuatan mendominasi, kehidupan menjadi timpang.
Keseimbangan itu tidak muncul secara kebetulan; manusia harus melatih dan membentuknya. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibnu Miskawaih menulis:
« تهذيب النفس هو إصلاح قواها الثلاث حتى تتعاون على نيل السعادة »
“Penyucian jiwa berarti memperbaiki tiga kekuatan diri hingga saling bekerja sama mencapai kebahagiaan.”
Maka, akhlak hanya tumbuh dari keseimbangan. Akal harus memimpin, hati menghidupkan, dan tindakan mengikuti. Ketika akal berjalan tanpa hati, lahir kesombongan. Ketika hati bertindak tanpa akal, muncul kesesatan emosional. Dan ketika tindakan mendahului keduanya, timbullah kekacauan moral.
Akal: Cahaya yang Menuntun Jalan
Akal menjadi anugerah besar yang membedakan manusia dari makhluk lain. Namun, bagi Ibnu Miskawaih, akal tidak cukup hanya berpikir logis; akal sejati harus mengenali kebaikan dan menuntun jiwa menuju kebajikan.
Al-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk berpikir (يتفكرون), tetapi berpikir dalam Islam tidak berhenti pada intelektualitas, melainkan juga mencakup refleksi spiritual. Allah berfirman dalam Surah Az-Zumar [39]: 9:
﴿ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴾
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Ayat ini mengingatkan bahwa akal memikul tanggung jawab moral. Akal tidak boleh tunduk pada hawa nafsu; ia harus menuntun hati menuju kebenaran. Miskawaih menulis:
“Akal adalah cahaya yang membimbing jiwa untuk memilih yang terbaik di antara dua hal yang tampak serupa.”
Maka, akal yang bijak bukan akal yang keras kepala, melainkan akal yang lembut dan mampu membaca hikmah di balik setiap peristiwa.
Hati: Rumah bagi Kebajikan
Jika akal adalah cahaya, maka hati adalah wadahnya. Dalam diri manusia, hati berperan sebagai pusat rasa dan moralitas. Hati yang bersih melahirkan niat baik, sedangkan hati yang kotor merusak tindakan, secerdas apa pun akalnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ »
“Ketahuilah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh menjadi baik; jika ia rusak, seluruh tubuh pun rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya menjaga hati agar tidak dikuasai amarah dan nafsu. Hati yang sehat mencintai dengan adil—tidak berlebihan dan tidak pula lalai. Ia mencintai karena kebaikan, bukan karena ketergantungan.
Dalam keseharian, hati sering menjadi korban kebisingan dunia. Ia mendambakan ketenangan, namun justru diselimuti kebisingan. Padahal, hanya dalam keheningan hati bisa mendengar suara akal dan nurani. Maka menjaga hati berarti menjaga pusat moralitas manusia.
Tindakan: Cermin dari Akal dan Hati
Tindakan menjadi buah dari akal dan hati. Seseorang bisa mengaku berakal dan berhati lembut, tetapi ukuran sejatinya ada pada perbuatannya. Miskawaih menegaskan bahwa tindakan yang baik lahir dari keseimbangan antara pertimbangan rasional dan dorongan moral.
Al-Qur’an menegaskan hubungan iman dan amal:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka surga Firdaus sebagai tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi [18]: 107)
Tindakan bukan hanya soal hasil, melainkan juga keseimbangan antara niat, cara, dan tujuan. Orang berakal tajam tapi bertindak kaku sulit menyentuh hati orang lain. Sebaliknya, orang berhati lembut tanpa kebijaksanaan akal kerap terjebak keputusan keliru. Karena itu, keseimbangan akal dan hati melahirkan tindakan yang berwibawa sekaligus berempati.
Keseimbangan Sebagai Jalan Menuju Ketenangan
Bagi Miskawaih, keseimbangan bukan sekadar teori etika, tetapi cara hidup. Ia melihat kehidupan sebagai ruang latihan moral, tempat manusia diuji untuk menyeimbangkan keinginan, kemarahan, dan godaan dunia.
Keseimbangan melahirkan ketenangan (thuma’ninah). Orang yang seimbang tidak mudah terguncang oleh situasi luar. Ia mampu berpikir jernih di tengah tekanan, berbuat baik di tengah kebencian, dan tetap lembut di tengah kekasaran dunia.
Hal ini sejalan dengan firman Allah:
﴿ يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً ﴾
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai.” (QS. Al-Fajr [89]: 27–28)
Ketenangan tidak datang dari luar; ia tumbuh dari harmoni antara akal yang sadar, hati yang bersih, dan tindakan yang tulus.
Latihan Keseimbangan dalam Kehidupan Modern
Kita hidup di era yang menuntut kecepatan, namun sering melupakan kedalaman. Akal terus bekerja tanpa henti, hati jarang beristirahat, dan tindakan kerap kehilangan arah. Di sinilah ajaran Tahdzīb al-Akhlāq kembali menemukan relevansinya: manusia perlu melatih diri untuk menyeimbangkan ketiganya.
Beberapa langkah sederhana bisa membantu:
-
Berhenti sejenak sebelum bereaksi.
Jangan biarkan emosi menguasai tindakan. Beri waktu bagi akal untuk menimbang dan hati untuk menilai. -
Melatih empati.
Hati yang seimbang mampu memahami perasaan orang lain tanpa kehilangan logika. -
Membiasakan refleksi harian.
Seperti disarankan Ibnu Miskawaih, lakukan muhasabah setiap malam: apakah akal, hati, dan tindakan kita berjalan seirama hari ini?
Latihan yang konsisten menuntun manusia menemukan dirinya kembali sebagai makhluk utuh—tidak terbelah antara berpikir dan merasa, antara tahu dan berbuat.
Penutup: Ketenangan adalah Harmoni
Keseimbangan bukan berarti semua hal harus sama, tetapi semua hal menempati tempat yang semestinya. Akal memimpin, hati menghidupkan, dan tindakan menyempurnakan. Dari sinilah harmoni lahir—sumber ketenangan yang sejati.
Hidup yang indah bukanlah hidup tanpa masalah, melainkan hidup yang selaras antara pikiran, perasaan, dan tindakan. Di situlah kebahagiaan sejati berdiam: dalam keseimbangan yang sunyi, tetapi kuat
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
