Suarau.co. Setiap zaman melahirkan pemimpin, tetapi tidak setiap pemimpin mampu melahirkan kebijaksanaan. Dalam dunia modern, kepemimpinan sering diukur dengan kekuasaan dan pengaruh. Namun, dalam pandangan klasik Islam, terutama sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzīb al-Akhlāq, kepemimpinan adalah cerminan moral, akal, dan jiwa yang terlatih.
Kepemimpinan yang sejati, menurut Miskawaih, lahir dari keseimbangan antara hikmah (kebijaksanaan akal) dan muru’ah (kewibawaan moral). Seorang pemimpin yang hanya memiliki kewibawaan tanpa hikmah akan menjadi otoriter, sedangkan yang hanya berhikmah tanpa wibawa akan kehilangan arah dan kewibawaan di hadapan rakyatnya.
Karena itu, etika kepemimpinan dalam pandangan Ibnu Miskawaih bukan sekadar kemampuan mengatur orang lain, melainkan seni mengatur diri sendiri. Sebab, siapa yang gagal memimpin dirinya, tidak akan mampu memimpin orang lain.
Hakikat Kepemimpinan dalam Akhlak
Ibnu Miskawaih mendefinisikan kepemimpinan bukan semata tentang kedudukan, tetapi tentang keutamaan akhlak yang memancar dari dalam diri seseorang. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, beliau menulis:
«الرئاسةُ لا تَكونُ كمالًا إلاّ إذا اقترنت بالحكمة والعدالة»
“Kepemimpinan tidak akan menjadi kesempurnaan kecuali jika disertai dengan kebijaksanaan dan keadilan.”
Bagi Miskawaih, pemimpin ideal adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara akal dan emosi, antara keberanian dan kesabaran. Seorang pemimpin tidak boleh mudah terprovokasi, karena marah yang tidak terkendali adalah tanda kelemahan, bukan kekuatan.
Kepemimpinan dalam Islam berakar pada tanggung jawab moral, bukan ambisi pribadi. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah spiritual. Bukan sekadar memimpin orang banyak, tapi juga memimpin hati sendiri agar tetap lurus di jalan kebenaran.
Hikmah: Inti dari Kepemimpinan yang Beradab
Dalam struktur etika Ibnu Miskawaih, hikmah menempati posisi tertinggi di antara kebajikan akhlak. Hikmah bukan sekadar kecerdasan intelektual, tetapi kemampuan memahami kebenaran dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Seorang pemimpin berhikmah akan berpikir jernih, mengambil keputusan dengan pertimbangan akal dan moral, bukan dorongan ego atau kepentingan kelompok. Ia sadar bahwa setiap keputusan berdampak pada banyak jiwa. Karena itu, hikmah menjadi kompas yang menuntun kepemimpinan agar tidak kehilangan arah.
Al-Qur’an memuliakan hikmah dalam firman-Nya:
وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Barang siapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 269)
Ayat ini menegaskan bahwa hikmah adalah kebaikan yang luas cakupannya — mencakup kecerdasan moral, empati sosial, dan ketenangan spiritual. Pemimpin berhikmah tidak terburu-buru, tidak sombong, dan selalu berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Kewibawaan: Bukan Takut, Tapi Hormat
Kewibawaan sejati tidak lahir dari rasa takut yang ditanamkan, tetapi dari rasa hormat yang ditumbuhkan. Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa haybah (kewibawaan) muncul ketika seseorang menjaga kehormatan diri dengan akhlak, bukan dengan kekerasan.
«الهيبةُ تُكتسبُ بالعقلِ والعدلِ، لا بالخوفِ والبطشِ»
“Kewibawaan diperoleh melalui akal dan keadilan, bukan melalui ketakutan dan kekerasan.”
Pemimpin yang berwibawa adalah yang mampu menyeimbangkan ketegasan dan kelembutan. Ia tidak perlu berteriak untuk didengar, karena tindakannya sudah berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Rasulullah ﷺ adalah teladan sempurna. Beliau dihormati, bukan karena ditakuti, melainkan karena keadilan, kesabaran, dan kasih sayangnya. Sahabat memandang beliau dengan cinta dan rasa hormat, karena setiap ucapan dan tindakannya menggambarkan keseimbangan antara hikmah dan haybah.
Kepemimpinan sebagai Latihan Jiwa
Bagi Ibnu Miskawaih, kepemimpinan sejati dimulai dari pengendalian diri. Ia menulis bahwa orang yang tidak mampu mengatur hawa nafsunya tidak pantas memimpin orang lain.
«مَن عَجزَ عن سياسةِ نفسِه فهو عن سياسةِ غيرِه أعجز»
“Barang siapa gagal memimpin dirinya, maka ia lebih gagal dalam memimpin orang lain.”
Kepemimpinan, dalam pandangan ini, bukan sekadar posisi strategis, tetapi proses tazkiyah al-nafs — penyucian jiwa. Pemimpin harus terus bermuhasabah agar kekuasaan tidak mengubah hatinya. Ia harus menundukkan ambisi pribadi demi kemaslahatan umum.
Dalam praktiknya, kepemimpinan adalah medan ujian bagi kesabaran dan kejujuran. Ketika kekuasaan datang, godaan untuk sombong dan menindas semakin besar. Maka, hanya jiwa yang bersih dan tenang yang mampu tetap adil di tengah kekuasaan.
Etika Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern
Etika kepemimpinan dari Tahdzīb al-Akhlāq tetap relevan hingga kini. Di tengah budaya kompetitif dan egoistik, konsep kepemimpinan berbasis hikmah dan akhlak menjadi penawar bagi krisis moral.
Pemimpin modern tidak cukup hanya memiliki visi, tapi juga harus memiliki empati. Ia harus bisa mendengarkan, bukan hanya berbicara. Ia harus berani adil meski tidak populer.
Etika kepemimpinan hari ini bukan hanya tanggung jawab pejabat publik, tapi juga setiap individu — di rumah, di tempat kerja, bahkan di ruang digital. Karena setiap kita adalah pemimpin dalam lingkupnya masing-masing.
Pemimpin yang baik tidak sekadar menuntun, tapi juga melayani. Sebagaimana prinsip Rasulullah ﷺ:
سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”
(HR. Abu Na’im)
Prinsip ini mengguncang paradigma lama tentang kekuasaan. Ia mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan posisi untuk dipuja, tetapi ruang untuk berkhidmat.
Kepemimpinan dan Keadilan: Dua Sayap Etika
Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, keadilan adalah ruh dari kepemimpinan. Tanpa keadilan, semua kebijakan hanya menjadi topeng kekuasaan. Belaiu menulis:
«العدلُ أساسُ الملك»
“Keadilan adalah dasar dari pemerintahan.”
Keadilan bukan hanya tentang hukum, tapi juga tentang cara memperlakukan manusia dengan setara dan hormat. Pemimpin adil adalah yang menempatkan setiap orang sesuai haknya, tanpa membeda-bedakan.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”
(QS. An-Nahl [16]: 90)
Ayat ini menjadi fondasi etika kepemimpinan: adil dalam keputusan, santun dalam ucapan, dan tulus dalam pelayanan.
Hikmah dan Kewibawaan sebagai Keseimbangan Moral
Seorang pemimpin harus berjalan di antara dua kutub — hikmah dan kewibawaan. Bila terlalu berhikmah tanpa wibawa, ia akan tampak lemah; bila terlalu berwibawa tanpa hikmah, ia akan menjadi tiran.
Ibnu Miskawaih mengajarkan bahwa pemimpin ideal adalah yang mampu menempatkan setiap sifatnya pada proporsi yang tepat. Ia bijak tanpa kehilangan tegas, lembut tanpa kehilangan arah, dan berani tanpa kehilangan nalar.
Keseimbangan inilah yang membuat kepemimpinan menjadi seni moral, bukan sekadar strategi politik. Di sinilah letak keindahan ajaran Tahdzīb al-Akhlāq — bahwa akhlak bukan teori, melainkan praktik hidup yang membentuk kepribadian luhur.
Penutup: Kepemimpinan yang Menumbuhkan Jiwa
Kepemimpinan sejati adalah perjalanan batin, bukan sekadar perjalanan karier. Ia dimulai dari pengendalian diri, tumbuh dalam kebijaksanaan, dan berbuah dalam keadilan.
Ibnu Miskawaih mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi rakyatnya, bukan hanya dalam keputusan, tapi juga dalam perilaku. Kepemimpinan yang baik menumbuhkan ketenangan, bukan ketakutan. Ia menebarkan keadilan seperti matahari yang menyinari semua, tanpa pilih kasih.
Pada akhirnya, hikmah dan kewibawaan adalah dua sayap yang membawa seorang pemimpin terbang tinggi tanpa kehilangan arah. Dan di puncak ketinggian itu, ia tidak mencari kehormatan untuk dirinya, melainkan kemaslahatan bagi umat manusia.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
