Khazanah
Beranda » Berita » Kritik Tanpa Benci, Nasihat Tanpa Merendahkan: Refleksi dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Kritik Tanpa Benci, Nasihat Tanpa Merendahkan: Refleksi dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Dua sosok manusia berdialog dalam cahaya lembut, melambangkan kritik yang membangun dan nasihat penuh kasih
Dua sosok manusia berdiri di tengah cahaya lembut: satu menunduk menerima, satu mengulurkan tangan dengan sinar hangat di sekitarnya. Latar lembut seperti padang senja, simbol kelembutan dan kebijaksanaan.

Surau.co. Dalam kehidupan sosial yang serba terbuka ini, setiap orang mudah memberikan pendapat, saran, bahkan kritik. Namun sayangnya, tak sedikit kritik yang lebih terasa seperti amarah, dan nasihat yang terdengar seperti merendahkan. Padahal, tujuan mulia dari kritik dan nasihat bukan untuk menjatuhkan, melainkan memperbaiki dan menumbuhkan.

Ibnu Miskawaih, seorang filsuf Muslim klasik dalam Kitab Tahdzīb al-Akhlāq, menulis bahwa akhlak yang baik tidak muncul dari spontanitas emosional, tetapi dari keseimbangan akal, jiwa, dan tindakan. Ia menekankan pentingnya hikmah (kebijaksanaan) dalam berbicara dan menegur, sebab “kata-kata yang baik adalah obat bagi jiwa yang sedang gelisah.”

Dalam konteks ini, kritik tanpa kebencian dan nasihat tanpa merendahkan bukan hanya etika sosial, tetapi juga latihan spiritual — jalan menuju kematangan akhlak sebagaimana ditekankan oleh para bijak.

Kritik dan Nasihat dalam Pandangan Akhlak

Kritik sering dianggap sebagai tindakan berani menyampaikan kebenaran. Namun, Ibnu Miskawaih mengingatkan bahwa kebenaran yang disampaikan tanpa kelembutan bisa menjadi keburukan baru. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, beliau menulis:

«من وعظ بغير رفق نفر الموعوظ عن الحق»
“Barang siapa menasihati tanpa kelembutan, maka ia akan membuat orang yang dinasihati lari dari kebenaran.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kritik sejati adalah yang memadukan kejujuran dengan kasih. Sebab, bila hati seseorang tertutup karena tersinggung, maka pesan kebaikan tak akan pernah sampai.

Al-Qur’an pun menegaskan etika serupa ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Harun saat mereka diperintah menasihati Fir’aun:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
(QS. Ṭāhā [20]: 44)

Ayat ini mengandung pesan moral yang mendalam: jika kepada penguasa zalim seperti Fir’aun saja Allah memerintahkan untuk berbicara lembut, apalagi kepada sesama manusia yang masih memiliki fitrah kebaikan.

Antara Mengkritik dan Menghakimi

Kritik yang baik tidak berangkat dari niat untuk membuktikan siapa yang lebih benar, melainkan dari niat untuk menegakkan kebaikan bersama. Sayangnya, di dunia digital, kritik sering berubah menjadi penghakiman.
Fenomena “menguliti kesalahan orang lain” di ruang publik menjadi bentuk baru dari arogansi moral — seolah yang menegur adalah pihak paling suci.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ibnu Miskawaih menulis bahwa salah satu penyakit akhlak adalah ujub (merasa diri lebih baik). Beliau berkata:

«العجب يفسد الفضائل كلها»
“Rasa kagum terhadap diri sendiri merusak seluruh kebajikan.”

Kritik yang muncul dari rasa ujub bukan lagi upaya memperbaiki, melainkan cara memperkuat ego. Di sinilah pentingnya introspeksi sebelum berbicara. Seorang bijak tidak buru-buru menilai orang lain sebelum menilai dirinya sendiri.

Maka, sebelum mengkritik seseorang, tanyakan dulu: apakah kita benar-benar ingin menolong, atau hanya ingin terlihat lebih benar?

Nasihat yang Membangun, Bukan Meruntuhkan

Nasihat yang baik selalu lahir dari cinta. Sebab cinta mendorong empati, sementara empati menghaluskan kata. Rasulullah ﷺ memberikan contoh terbaik dalam menyampaikan nasihat. Beliau bersabda:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.”
(HR. Muslim)

Namun, nasihat dalam Islam bukanlah petuah yang disampaikan dengan rasa tinggi hati. Rasulullah ﷺ menasihati dengan wajah yang lembut, suara yang bersahabat, dan hati yang ingin menuntun, bukan menghukum.

Ibnu Miskawaih menulis, nasihat seharusnya disampaikan dalam suasana privat, bukan di hadapan orang banyak. Beliau menulis:

«من نصح علانية فقد فضح، ومن نصح سرًّا فقد زان»
“Siapa yang menasihati secara terbuka, ia telah mempermalukan. Siapa yang menasihati secara diam-diam, ia telah memperindah.”

Prinsip ini sejalan dengan etika Islam: nasihat tidak boleh menjadi alat mempermalukan. Justru dengan kerahasiaan dan kelembutan, seseorang lebih mudah menerima kebenaran.

Kritik sebagai Cermin Diri

Menariknya, Tahdzīb al-Akhlāq tidak hanya membahas cara memberikan kritik, tetapi juga bagaimana seharusnya seseorang menerima kritik. Ibnu Miskawaih menulis bahwa orang yang berakhlak baik justru senang ketika dikritik, karena ia tahu bahwa kritik adalah jalan menuju perbaikan diri.

«المؤمن مرآة المؤمن»
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”
(HR. Abu Dawud)

Hadis ini mengajarkan bahwa kritik sejati ibarat cermin. Ia tidak memukul wajah kita, tetapi menunjukkan noda yang mungkin tidak kita sadari.
Namun sayangnya, banyak orang lebih sibuk memperindah cermin daripada memperbaiki wajahnya.

Dalam konteks sosial modern, kemampuan menerima kritik menjadi indikator kematangan intelektual dan spiritual. Orang yang tidak mampu dikritik cenderung hidup dalam lingkaran kebohongan yang ia ciptakan sendiri. Sebaliknya, orang yang mau mendengar kritik akan menemukan dirinya tumbuh dari waktu ke waktu.

Kelembutan sebagai Kekuatan

Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, salah satu tanda keutamaan akhlak adalah kemampuan mengendalikan amarah dan berbicara dengan bijak.
Beliau berkata:

«الغضب إذا لم يضبط صار جنونًا، وإن ضُبط صار شجاعةً وعدلاً»
“Amarah, jika tidak dikendalikan, menjadi kegilaan; jika dikendalikan, ia menjadi keberanian dan keadilan.”

Mengkritik dengan marah tidak pernah menghasilkan kebaikan. Sebaliknya, kelembutan adalah bentuk kekuatan yang sejati. Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya.”
(HR. Muslim)

Kelembutan bukan tanda lemah, tetapi tanda kecerdasan emosional dan kebijaksanaan spiritual. Orang yang mampu menahan diri saat menegur berarti sudah menundukkan hawa nafsunya — dan itu adalah kemenangan yang sesungguhnya.

Kritik dan Nasihat sebagai Amal Sosial

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan untuk menjadi lebih baik. Ia menulis bahwa “akhlak seseorang terbentuk melalui interaksi dengan manusia lain.”
Oleh karena itu, menasihati dan dikritik adalah bagian dari proses saling menyempurnakan dalam masyarakat beradab.

Namun ia menegaskan, bahwa setiap tindakan sosial harus disertai niat baik. Sebab niat itulah yang membedakan antara amal dan dosa, antara nasihat dan penghinaan.

Al-Qur’an menyebutkan:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 83)

Maka, tugas moral kita bukan hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga memastikan kebenaran itu sampai dengan cara yang indah.

Penutup: Ketika Cinta Menjadi Bahasa Kritik

Kritik tanpa benci dan nasihat tanpa merendahkan adalah tanda bahwa cinta masih menjadi dasar hubungan antarmanusia. Sebab di balik kata-kata yang lembut ada niat untuk memperbaiki, bukan melukai.

Ibnu Miskawaih menutup banyak nasihatnya dengan ajakan untuk tazkiyah al-nafs — penyucian jiwa. Ia percaya bahwa setiap manusia mampu memperhalus akhlaknya bila mau melatih diri dengan kesabaran dan kasih.

Dalam dunia yang penuh kebisingan opini, mungkin kita perlu menundukkan suara agar hati bisa berbicara. Sebab, suara hati yang tenang akan melahirkan kata-kata yang menyejukkan.
Dan ketika cinta menjadi bahasa kritik, maka kebenaran akan diterima bukan dengan rasa malu, tapi dengan rasa syukur.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement