Khazanah
Beranda » Berita » Kendalikan Nafsu Sebelum Nafsu Mengendalikanmu — Menurut Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Kendalikan Nafsu Sebelum Nafsu Mengendalikanmu — Menurut Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

ilustrasi manusia menyeimbangkan akal dan nafsu dalam suasana senja yang simbolik
seorang laki-laki berdiri di antara dua arah — satu sisi bercahaya terang keemasan melambangkan akal, sisi lain gelap merah membara melambangkan nafsu. Di tengah, ia menatap ke depan dengan wajah tenang namun tegas. Latar padang luas dan langit senja, suasana spiritual dan reflektif

Surau.co. Manusia memikul dua kekuatan yang terus beradu di dalam dirinya: akal dan nafsu. Keduanya seperti dua kuda yang menarik kereta ke arah berbeda. Ketika akal mengambil kendali, manusia melaju menuju kebaikan. Namun, saat nafsu menggenggam tali, manusia justru terseret ke jurang kehancuran.

Ibnu Miskawaih—filsuf Muslim klasik sekaligus penulis Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathhīr al-A‘rāq—menegaskan bahwa inti pendidikan moral terletak pada kemampuan mengendalikan nafsu. Ia tidak memerintahkan manusia untuk mematikan nafsu, tetapi mengajarkan agar nafsu diarahkan dan dididik. Sebab, tanpa nafsu, manusia tak akan berkeinginan untuk hidup, bekerja, atau mencintai. Namun tanpa kendali, nafsu berubah menjadi penguasa yang tiranik.

Allah telah memperingatkan manusia tentang bahaya nafsu dalam Al-Qur’an:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf [12]: 53)

Ayat ini menjadi pijakan moral bagi Ibnu Miskawaih. Ia memandang bahwa jiwa manusia cenderung condong pada kesenangan. Hanya dengan disiplin akal dan bimbingan etika, kecenderungan itu dapat diubah menjadi kekuatan kebajikan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Nafsu Kuda Liar yang Bisa Dijinakkan

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa jiwa manusia memiliki tiga kekuatan utama:

  1. Kekuatan berpikir (النطقية), yang membedakan benar dan salah.

  2. Kekuatan marah (الغضبية), yang menumbuhkan keberanian dan pertahanan diri.

  3. Kekuatan nafsu (الشهوية), yang mendorong keinginan dan kesenangan.

Ia menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“النفس الشهوانية إن لم تُهذَّب بالعقل، أفسدت الإنسان وأخرجته عن حد الاعتدال.”
“Nafsu syahwat, bila tidak dididik oleh akal, akan merusak manusia dan mengeluarkannya dari batas keseimbangan.”

Dengan kata lain, nafsu bukanlah musuh yang harus dibasmi, melainkan tenaga yang perlu dijinakkan. Ia seperti api: berguna ketika dikendalikan, tetapi membakar ketika dibiarkan.

Menurut Ibnu Miskawaih, kemampuan menundukkan nafsu adalah tanda kebijaksanaan. Orang yang mampu menaklukkan dirinya menjadi “raja dalam kerajaan jiwanya sendiri”. Namun bila ia tunduk pada nafsu, ia berubah menjadi “budak dari hawa yang ia puja”.

Mengapa Nafsu Harus Dikendalikan, Bukan Dihapus

Banyak orang keliru mengira bahwa menjadi baik berarti menolak semua keinginan. Padahal, Islam tidak melarang manusia menikmati dunia. Yang ditekankan adalah bagaimana menempatkannya secara seimbang.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam).” (HR. Nawawi, Arba’in)

Hadis ini menegaskan bahwa nafsu harus diarahkan, bukan dihapuskan. Keinginan makan, tidur, mencintai, atau bekerja adalah fitrah manusia. Tetapi jika keinginan itu dijalankan tanpa kesadaran moral, fitrah berubah menjadi jebakan.

Ibnu Miskawaih menulis tegas:

“من اتبع شهواته، لم يقدر على ضبط نفسه، وكان عبداً لها.”
“Barang siapa mengikuti nafsunya, ia tidak akan mampu mengendalikan dirinya dan menjadi hamba bagi nafsu tersebut.”

Maka, mengendalikan nafsu bukan berarti menolak hidup, melainkan menjaga agar hidup tidak dikendalikan oleh keinginan yang membabi buta.

Tanda-Tanda Nafsu Mulai Mengendalikanmu

Nafsu jarang datang dalam bentuk godaan besar. Ia bekerja halus, membisikkan alasan-alasan kecil yang terdengar masuk akal. Misalnya, kita menunda kebaikan karena ingin istirahat sebentar, membenarkan kebohongan demi kenyamanan, atau merasa berhak marah karena “aku benar”. Itulah bentuk lembut dari dominasi nafsu.

Ibnu Miskawaih menggambarkan kondisi ini dengan sangat indah:

“النفس إذا لانت للشهوة، غلبت عليها حتى صارت أسيرة لها.”
“Ketika jiwa menjadi lunak terhadap syahwat, maka syahwat itu akan menguasainya hingga ia menjadi tawanan.”

Kelemahan kecil yang dibiarkan tumbuh akan menjadi belenggu besar. Karena itu, sebelum nafsu mengikat kuat, kita harus segera mengendalikannya.

Di era modern, bentuknya berubah. Nafsu kini hadir dalam kebiasaan scrolling tanpa henti, shopping therapy, dan obsesi mencari validasi digital. Kita sering tidak sadar bahwa semua itu adalah cara halus nafsu menuntun tangan kita di layar.

Cara Mengendalikan Nafsu Menurut Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih tidak berhenti pada teori. Ia juga menawarkan langkah-langkah praktis untuk menaklukkan hawa nafsu.

1. Menyadari Sumbernya

Langkah pertama adalah mengenali kapan dan dari mana keinginan muncul. Ia menulis:

“من عرف أصل شهوته، سهل عليه قمعها.”
“Barang siapa mengetahui asal dari syahwatnya, akan mudah baginya menaklukkannya.”

2. Melatih Kesabaran

Menurut Ibnu Miskawaih, kesabaran adalah rem yang menjaga akal tetap memimpin. Ia menganjurkan latihan bertahap: menahan diri dari kesenangan kecil untuk memperkuat tekad menghadapi ujian besar.

“Kesabaran,” tulisnya, “adalah perisai bagi akal dan penuntun bagi jiwa menuju keseimbangan.”

3. Menemukan Jalan Tengah

Konsep “jalan tengah” (الوسط) menjadi prinsip kunci dalam etika Ibnu Miskawaih. Ia menolak ekstremitas: tidak boleh terlalu mengekang, tetapi juga tidak boleh membiarkan.
Keberanian yang berlebihan berubah menjadi nekat, sedangkan keinginan yang berlebihan melahirkan ketamakan. Kebaikan sejati hanya lahir dari keseimbangan.

4. Menundukkan Nafsu Melalui Ilmu dan Amal

Bagi Ibnu Miskawaih, ilmu tanpa amal hanyalah cahaya tanpa tenaga. Seseorang benar-benar mengendalikan nafsu hanya ketika ia melatih jiwanya lewat kebiasaan baik (riyādhah al-nafs).

“صلاح الأخلاق إنما يكون بالرياضة والعادة، لا بمجرد القول.”
“Perbaikan akhlak hanya dapat dicapai dengan latihan dan kebiasaan, bukan dengan ucapan semata.”

Latihan itu bisa berupa:

  • Mengurangi makan ketika lapar, bukan mengikuti selera.

  • Menahan amarah ketika tersinggung.

  • Menghindari debat yang tidak bermanfaat.

  • Memilih diam ketika hati panas.

Allah menjanjikan kemenangan bagi siapa pun yang mampu menundukkan hawa nafsunya:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ۝ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu, maka surga-lah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi‘at [79]: 40–41)

Ayat ini menegaskan bahwa mengendalikan nafsu bukan sekadar etika moral, tetapi juga jalan menuju kebahagiaan abadi.

Nafsu di Era Modern: Tantangan Baru, Prinsip Lama

Zaman terus berubah, tetapi sifat dasar manusia tetap sama. Dahulu, nafsu menggoda lewat kekuasaan, harta, dan kemewahan. Kini, ia hadir melalui notifikasi, followers, dan dopamine hits dari layar ponsel. Namun prinsip Ibnu Miskawaih tetap relevan: jangan biarkan hal-hal eksternal menguasai batin.

“سعادة الإنسان لا تكون فيما يملكه، بل فيما يضبطه من نفسه.”
“Kebahagiaan manusia tidak terletak pada apa yang dimilikinya, melainkan pada sejauh mana ia mengendalikan dirinya.”

Menguasai dunia tanpa menguasai diri sama saja seperti menaklukkan istana tanpa pintu. Ketenangan sejati lahir dari keseimbangan antara keinginan dan kesadaran.

Penutup: Menjadi Penguasa atas Diri Sendiri

Mengendalikan nafsu bukan perjuangan sehari, tetapi perjalanan seumur hidup. 
Ibnu Miskawaih menggambarkan jiwa manusia seperti kerajaan kecil. Akal berperan sebagai raja, nafsu sebagai rakyat, dan amarah sebagai tentaranya. Bila raja bijak, rakyat tenteram; bila raja lalai, kerajaan kacau.

“من ملك نفسه، ملك العالم.”
“Barang siapa menguasai dirinya, ia menguasai dunia.”

Maka sebelum menaklukkan dunia luar, tundukkan dulu badai di dalam dada.

“المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله.”
“Pejuang sejati adalah orang yang berjihad melawan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement