Khazanah
Beranda » Berita » Jasad yang Suci, Hati yang Jernih: Hikmah Thahārah dalam Kehidupan Modern

Jasad yang Suci, Hati yang Jernih: Hikmah Thahārah dalam Kehidupan Modern

Seorang muslim mengambil wudu di ruang sederhana dengan cahaya lembut senja.
Seorang muslim berwudu di ruang bersih dengan cahaya lembut; simbol kesucian jasad dan hati sebagai makna thahārah.

Surau.co. Dalam kehidupan sehari-hari, pentingnya thahārah (bersuci) seringkali terlewatkan—namun dalam Minhāj al-Ṭālibīn, Imam Yahya ibn Sharaf al-Nawāwī menegaskan bahwa bersuci bukan sekadar ritual air dan sabun, melainkan pintu bagi jasad yang suci dan hati yang jernih.
Thahārah menjadi penanda bahwa kebersihan lahiriah tidak boleh dipisahkan dari kebersihan batiniah. Dengan memahami dan mengamalkan adab serta hukum bersuci menurut al-Nawāwī, kita menyambungkan aspek lahir-batin secara utuh dalam kehidupan modern.

Fenomena sederhana menggambarkan hal ini: seseorang terburu-buru ke masjid dengan wudu setengah jadi; remaja yang menganggap mandi besar hanya formalitas; atau seorang ibu yang membiarkan anaknya bermain tanpa bersuci setelah aktivitas. Semua itu mengingatkan bahwa thahārah sering tampak sepele, namun bila diabaikan dapat mempengaruhi ketenangan hati dan kualitas ibadah. Lewat Minhāj al-Ṭālibīn, kita diajak melihat bersuci sebagai fiqh hidup—bukan sekadar hukum—yang menjelma menjadi akhlak.

Menjadikan Rutinitas Bersuci Sebagai Gerbang Kedekatan

Thahārah diawali saat kita mengambil wudu, mandi, atau menjaga kebersihan pakaian. Namun seperti yang ditunjukkan oleh Imam al-Nawāwī, maknanya jauh lebih dalam. Beliau menulis:

«وَإِنَّ طُهُورَ الْجَسَدِ يَهْدِي إِلَى طُهُورِ الْقَلْبِ وَيُسَهِّلُ الْخُطُوَةَ إِلَى عِبَادَةٍ خَالِصَةٍ.»
“Sesungguhnya kesucian jasad menuntun pada kesucian hati dan memudahkan langkah menuju ibadah yang ikhlas.”

Kebersihan fisik bukan tujuan akhir; ia adalah jembatan menuju kebersihan batin yang sejati. Ketika seseorang dengan hati tenang melakukan wudu, ia bukan sekadar membasuh anggota badan, tetapi juga menyiapkan dirinya untuk berdiri di hadapan Allah dengan kesadaran penuh.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam rutinitas sibuk modern—berangkat kerja, mengejar waktu, atau menghadapi layar digital—wudu sering dilakukan sambil tergesa. Imam al-Nawāwī mengingatkan bahwa setiap tetes air wudu adalah panggilan untuk berhenti sejenak, menyadari bahwa kita tengah bersiap menapaki wilayah suci pertemuan dengan Allah.

Adab Bersuci dalam Kehidupan Sehari-hari

Banyak orang menganggap bersuci hanya soal air dan sabun, padahal Minhāj al-Ṭālibīn menguraikan adab yang sangat halus.
Imam al-Nawāwī menulis:

«لَا يَتَطَهَّرُ بِمَاءٍ قَدِ اسْتُخْدِمَ لِغَيْرِهِ إِلَّا بِطَهُورٍ أَوْ تَحْلِيلٍ.»
“Tidak dibolehkan bersuci dengan air yang telah digunakan untuk yang lain kecuali dengan kesucian atau penghalalannya.”

«وَلَا يُرِيدَنَّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْرِعَ فِي التَّطَهُّرِ كَأَنَّهُ لَا يَعْرِفُ وُضُوءَهُ وَغُسْلَهُ.»
“Dan janganlah salah satu dari kalian ingin menyegerakan bersuci seakan-akan ia tidak mengetahui wudunya dan mandinya.”

Keduanya mengajarkan kepekaan terhadap makna dan proses.
Air bukan hanya benda cair, tapi simbol kehidupan yang harus dijaga kemurniannya.
Dan kecepatan tanpa kesadaran membuat ibadah kehilangan ruhnya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Di era modern, banyak orang melakukan mandi besar sambil memegang ponsel atau tergesa-gesa berwudu tanpa refleksi. Imam al-Nawāwī seakan berpesan agar bersuci menjadi waktu jeda: momen untuk menenangkan pikiran, menata niat, dan menyucikan batin bersamaan dengan tubuh.

Thahārah sebagai Fondasi Ibadah dan Kehidupan Sosial

Dalam kitabnya, Imam al-Nawāwī menempatkan thahārah sebagai fondasi seluruh ibadah. Ia menulis:

«وَطُهُورُ الْجَوَارِحِ مَدْخَلٌ لِطُهُورِ الْأَعْمَالِ فَمَنْ أَهْمَلَهُ أَهْمَلَ شَيْئًا كَثِيرًا.»
“Kesucian anggota tubuh adalah pintu bagi kesucian amal; maka siapa yang mengabaikannya telah mengabaikan banyak hal.”

Ibadah yang sah belum tentu berbuah barakah jika dilakukan tanpa adab bersuci.
Bahkan interaksi sosial—berjabat tangan, berbicara, makan bersama—akan memancarkan kedamaian bila dilakukan dengan hati yang bersih.
Thahārah, dalam makna yang luas, membentuk budaya sopan dan menghargai sesama. Ia menumbuhkan empati dan menjaga manusia agar tetap merasa rendah hati di hadapan karunia Allah.

Fenomena sehari-hari membuktikan: seseorang yang menjaga kebersihan dan adabnya ketika wudu cenderung lebih tenang, sabar, dan tidak mudah tersulut emosi.
Kesucian fisik seolah memantulkan kejernihan jiwa. Itulah sebabnya al-Nawāwī menempatkan bab thahārah di awal kitabnya — sebagai pondasi, bukan pelengkap.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Menyucikan Hati Lewat Kesederhanaan

Hati yang jernih tumbuh dari kebiasaan bersuci yang benar.
Imam al-Nawāwī menjelaskan:

«إِنَّ الْمُتَطَهِّرَ لَا يَطْلُبُ مَظْهَرَ النَّاسِ بَلْ يُرِيدُ مَرْضَاةَ رَبِّهِ وَنَفْسَهُ الْمُنَقَّى.»
“Sesungguhnya orang yang bersuci tidak mencari pandangan manusia, tetapi ia menginginkan keridaan Tuhannya dan dirinya yang disucikan.”

Orang yang bersuci dengan niat tulus bukan hanya menjaga kebersihan tubuh, melainkan menata batinnya agar tidak dikotori oleh riya atau kesombongan.
Thahārah menjadi latihan spiritual yang menyatukan kesadaran akan kelemahan diri dan harapan pada rahmat Allah.

Di dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, adab bersuci menjadi ruang hening bagi jiwa. Ia menumbuhkan rasa teduh, seolah air yang mengalir dari tangan bukan hanya membersihkan kulit, tetapi juga menghapus gelisah di dalam dada.

Penutup: Menyatukan Jasad dan Hati

Bersuci bukan semata urusan air dan kebersihan.
Dalam pandangan Minhāj al-Ṭālibīn, ia adalah jembatan yang menyatukan jasad yang suci dan hati yang jernih.
Thahārah menjadikan setiap aktivitas sederhana—mencuci tangan, berwudu, berganti pakaian—sebagai cara mendekat kepada Allah.

Setiap tetes air adalah pengingat bahwa kesucian sejati lahir dari kesadaran batin, bukan hanya dari tubuh yang bersih.
Mari kita jadikan setiap wudu bukan sekadar syarat shalat, tetapi kesempatan untuk menata hati; setiap mandi bukan hanya pembersihan tubuh, tetapi penyucian niat.
Karena kesucian yang sejati adalah ketika tubuh dan jiwa sama-sama tunduk pada cahaya Allah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement