Surau.co. Dalam Minhāj al-Ṭālibīn, Imam Yahya ibn Sharaf al-Nawāwī tidak hanya membahas halal-haram makan dan minum. Ia mengajarkan bahwa dua hal sederhana itu bisa mengubah fiqh menjadi akhlak. Frasa “makan dan minum” muncul sebagai pengingat: aktivitas paling biasa pun dapat menjadi sumber keberkahan atau kelalaian, tergantung sikap hati kita. Dengan memahami adab yang dirumuskan al-Nawāwī, hukum syar’i bersatu dengan nilai spiritual dan sosial yang luhur.
Fenomena kecil di sekitar kita memperjelas hal itu. Seorang anak makan terburu-buru sambil menatap ponsel. Seorang ibu membagi lauk tanpa basmalah. Seorang kerabat mencela makanan sebelum mencicipinya. Semua itu menunjukkan bahwa “makan dan minum” adalah cermin akhlak. Minhāj al-Ṭālibīn mengingatkan agar kita tidak sekadar makan dan minum demi kebutuhan, tetapi menjadikannya ibadah yang memperkuat iman dan kehormatan.
Adab Makan dan Minum yang Membawa Malaikat Turun
Imam al-Nawāwī menegaskan bahwa makan dan minum adalah nikmat Allah yang harus dihormati. Adab di dalamnya mencerminkan seberapa tulus hati menjaga hak orang lain dan memuliakan karunia Allah. Ia menuliskan:
«إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ وَبَرَكَةِ اللَّهِ، فَإِنْ نَسِيَ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ».
Terjemahan: “Apabila salah seorang di antara kamu makan, hendaklah ia mengatakan: ‘Dengan nama Allah dan berkah-Nya’. Jika ia lupa, maka ucapkanlah: ‘Dengan nama Allah di awal dan akhirnya’.”
Basmalah bukan sekadar lafaz pembuka. Ia adalah pengakuan bahwa seluruh makanan berasal dari Allah dan keberkahannya bergantung pada kesadaran kita terhadap-Nya.
Kita sering makan tanpa basmalah atau lupa mengucap hamdalah setelahnya. Padahal, menyebut dua kalimat itu mengubah makan-minum menjadi ibadah kecil. Imam al-Nawāwī juga menulis:
«لَا يَأْكُلُ أَحَدُكُمْ بِشِمَالِهِ، وَلَا يَشْرَبُ بِشِمَالِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَفْعَلُ ذٰلِكَ».
Terjemahan: “Janganlah seseorang makan atau minum dengan tangan kiri, karena syaitan melakukannya.”
Tangan kanan melambangkan kehormatan dan kesiapan. Kebiasaan makan dengan tangan kiri, meski tampak sepele, bisa menjadi tanda bagaimana nafsu mengambil alih kendali diri.
Adab-adab ini menegaskan bahwa makan dan minum tak pernah netral. Ia bisa menjadi ladang ibadah, bisa pula menjadi kelalaian. Fiqh makan-minum dari al-Nawāwī membantu kita menjadikan rutinitas sebagai refleksi spiritual.
Hidup Sehari-hari dengan Setengah Nafas Adab
Di rumah, anak sering mengambil makanan tanpa menunggu keluarga. Dan di kantor, seseorang makan sambil mengetik di depan layar. Di meja makan, ada yang mencela lauk sebelum mencoba. Semua ini menunjukkan bahwa adab bukan soal “apa” yang dimakan, tetapi “bagaimana” sikapnya.
Imam al-Nawāwī menulis:
«وَإِن تَذَلَّلَ لِلَّهِ تَعَالَى بِقَلْبِهِ فَلْتَكُن نِيَّتُهُ بِالْأَكْلِ تَعَبُدَةً».
Terjemahan: “Apabila hati tunduk kepada Allah, maka niat makan hendaklah menjadi bentuk ibadah.”
Artinya, makan yang disertai kesadaran dan niat taat berubah menjadi ibadah, bukan sekadar pemenuhan biologis.
Kita bisa mempraktikkannya dengan sederhana. Jangan makan tergesa-gesa saat waktu salat tiba. Mulailah dari pinggir piring, bukan dari tengah. Ucapkan “Alhamdulillah” setelah selesai. Berbagilah makanan ketika ada kesempatan. Semua itu adalah wujud akhlak fiqh yang diajarkan al-Nawāwī.
Menarik Hikmah dari Kitab ke Kehidupan
Minhāj al-Ṭālibīn memiliki struktur fiqh yang sistematis. Namun, adab makan-minum selalu mendapat tempat khusus. Dalam bab muʿāmalāt, Imam al-Nawāwī mengingatkan bahwa hak orang lain dan kehormatan diri tampak dari cara seseorang makan dan minum. Ia berkata:
«وَمَا كَانَ الأَكْلُ وَالشُّرْبُ إِلَّا تُحَفَّةٌ لِعِبَادَةِ مَنْ فَهِمَ».
Terjemahan: “Makan dan minum hanyalah hiasan bagi ibadah bagi orang yang memahami.”
Maksudnya jelas: bagi yang sadar, makan-minum adalah mahkota ibadah. Bagi yang lalai, ia hanya rutinitas tanpa nilai.
Sikap ini terlihat nyata dalam kehidupan. Seorang tuan rumah membagi makanan dengan hormat tanpa membeda-bedakan tamu. Seorang pedagang memberi takaran dengan jujur. Sebuah keluarga makan bersama dalam tawa dan doa. Semua itu adalah bentuk adab fiqh yang hidup di tengah masyarakat.
Penutup: Menjadikan Fiqh Sebagai Akhlak
Kita makan dan minum setiap hari, berkali-kali. Jika dilakukan tanpa adab makan dan minum, rutinitas itu bisa menjadi beban bahkan sumber dosa kecil. Namun, jika mengikuti adab dari Minhāj al-Ṭālibīn — membaca basmalah, menggunakan tangan kanan, bersyukur, dan tidak mencela lauk — maka makan-minum berubah menjadi sarana penyucian hati.
Mari menjadikan setiap suapan sebagai pengingat adab Islam. Jadikan setiap tegukan sebagai tanda bahwa tubuh ini amanah. Jadikan setiap kebersamaan di meja makan sebagai dakwah tanpa kata. Dengan begitu, fiqh tidak berhenti di ruang kelas, tetapi menjelma akhlak yang menghidupi meja makan kita.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
