Surau.co. Kita sering mendengar pepatah bahwa manusia dilahirkan suci. Namun kesucian itu tidak otomatis membuat seseorang menjadi baik. Seorang bayi memang belum memiliki dosa, tetapi ia juga belum memiliki akhlak. Ia belum tahu mana sabar dan mana marah, mana jujur dan mana licik. Semua nilai itu datang kemudian—melalui proses panjang berupa pembiasaan, pendidikan, dan pengalaman hidup.
Ibnu Miskawaih, filsuf Muslim besar abad ke-10, menegaskan pandangan ini dalam karya monumentalnya Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathhīr al-A‘rāq (Penyucian Akhlak dan Pembersihan Sifat Jiwa). Ia menjelaskan bahwa akhlak tidak turun dari langit sebagai anugerah siap pakai, melainkan tumbuh melalui proses sadar, panjang, dan berulang.
“الأخلاق تُكتسبُ بالتعوّد والتمرّن، كما يُكتسبُ العلمُ بالتعلّم.”
“Akhlak diperoleh melalui pembiasaan dan latihan, sebagaimana ilmu diperoleh melalui belajar.”
Pernyataan ini membongkar anggapan keliru bahwa akhlak hanyalah “bakat alami”. Ibnu Miskawaih ingin menegaskan: kebaikan adalah hasil kerja keras jiwa. Orang menjadi sabar bukan karena lahir dengan kesabaran, tetapi karena terus melatih diri untuk menahan amarah. Begitu pula kejujuran, keberanian, dan kesederhanaan lahir dari latihan yang konsisten, bukan dari keberuntungan nasib.
Akhlak Sebagai Hasil Latihan Jiwa
Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa manusia ibarat tanah subur. Manusia bisa menanam benih kebaikan maupun keburukan di dalamnya. Bila seseorang menanam kebaikan lewat kebiasaan yang baik, jiwanya akan tumbuh menjadi taman kebajikan. Sebaliknya, jika ia membiarkan jiwanya tanpa arah, rumput liar hawa nafsu akan tumbuh dan menguasai hidupnya.
Beliau menulis:
“إن النفس تُهذّب بالرياضة والتأديب، كما تُهذّب الجوارحُ بالعادة والتمرين.”
“Sesungguhnya jiwa dapat diperbaiki melalui latihan dan pendidikan, sebagaimana anggota tubuh diperbaiki melalui kebiasaan dan pelatihan.”
Dengan kata lain, manusia hanya bisa membentuk akhlak lewat proses yang sabar dan bertahap. Seperti seseorang membangun otot, pembentukan moral pun memerlukan waktu, rutinitas, dan ketekunan. Orang yang ingin menjadi dermawan harus membiasakan diri memberi, mulai dari yang kecil hingga besar. Sementara yang ingin rendah hati perlu melatih diri untuk menahan kesombongan dalam setiap kesempatan.
Al-Qur’an juga mengajarkan tanggung jawab moral ini:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d [13]: 11)
Ayat ini mengingatkan bahwa perubahan sejati berawal dari kesadaran diri. Allah memberi potensi, tetapi manusia sendiri yang harus mengasahnya.
Mengapa Akhlak Bisa Dibentuk
Ibnu Miskawaih menolak pandangan bahwa sifat moral adalah takdir yang tak bisa diubah. Ia percaya manusia selalu memiliki ruang untuk memperbaiki diri. Jiwa, menurutnya, tidak keras seperti batu, tetapi lentur seperti tanah liat. Maka, siapa pun bisa membentuknya sesuai usaha dan arah pendidikan.
Pemikirannya sangat maju untuk zamannya. Ia menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga kekuatan utama: akal, amarah, dan nafsu. Ketiganya membentuk dasar perilaku moral. Bila salah satu mendominasi, keseimbangan pun hilang.
“وإنما فساد الأخلاق من طغيان بعض هذه القوى على بعض.”
“Rusaknya akhlak terjadi ketika salah satu kekuatan jiwa melampaui yang lain.”
Misalnya, ketika amarah menguasai akal, seseorang menjadi kasar dan gegabah. Ketika nafsu mengambil alih, manusia berubah menjadi rakus dan serakah. Dan ketika akal melemah, ia kehilangan arah moral. Sebaliknya, jika ketiganya berjalan seimbang, muncullah sifat adil, tenang, dan bijaksana. Maka akhlak sejati bukan sekadar soal “baik atau buruk”, melainkan soal keseimbangan yang harus dijaga lewat latihan batin yang sadar.
Peran Pembiasaan dan Pendidikan
Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya pembiasaan sejak dini. Anak, katanya, harus dibimbing dengan kasih dan keteladanan, bukan dengan paksaan.
“يجب أن يُعوّد الصبيّ على الفضائل منذ صغره، فإن العادة تُحدث في النفس هيئة ثابتة.”
“Anak hendaknya dibiasakan dengan kebajikan sejak kecil, karena kebiasaan akan menanamkan bentuk kejiwaan yang tetap.”
Pandangan ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.”
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa lingkungan dan pendidikan memegang peran besar dalam membentuk karakter. Akhlak, dengan demikian, tumbuh dari rutinitas hidup sehari-hari—dari contoh yang dilihat, dari kebiasaan yang diulang, dari teladan yang ditanamkan keluarga dan masyarakat.
Namun pembiasaan tidak berhenti saat dewasa. Selama ada kesadaran dan kemauan, manusia tetap bisa memperbaiki diri. Ibnu Miskawaih menyebut proses itu tahdzīb—penyucian dan penyempurnaan jiwa—yang berlangsung seumur hidup.
Latihan Jiwa di Era Digital
Jika Ibnu Miskawaih hidup di abad ke-10 sudah menekankan pentingnya latihan jiwa, maka pesan itu semakin relevan di abad ke-21. Dunia digital membuat manusia bereaksi cepat, tetapi jarang berefleksi. Kita mudah marah di media sosial, sibuk membandingkan diri di Instagram, dan cepat kecewa pada hal-hal sepele. Padahal, justru di situlah ladang latihan akhlak berada.
Latihan jiwa kini bisa berarti menahan diri dari komentar tajam, bersabar di tengah antrean panjang, atau menolak godaan konsumtif. Semua itu tampak sepele, tetapi jika dilakukan berulang, ia membentuk karakter. Rasulullah ﷺ pun bersabda:
“إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ.”
“Sesungguhnya ilmu didapat dengan belajar, dan kesabaran didapat dengan berlatih bersabar.” (HR. Thabrani)
Hadis ini menegaskan prinsip yang sama dengan ajaran Ibnu Miskawaih: segala kebaikan lahir dari pembiasaan yang terus-menerus.
Dari Teori ke Praktik: Menumbuhkan Akhlak di Dunia Nyata
Membaca teori moral saja tidak cukup. Manusia harus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ibnu Miskawaih memberi beberapa langkah praktis yang sederhana tetapi mendalam:
-
Mulailah dari hal kecil.
Jangan menunggu momen besar untuk berbuat baik. Biasakan tersenyum, berkata lembut, menepati janji, dan bersyukur. Kebaikan kecil yang dilakukan konsisten lebih berharga daripada niat besar yang tak kunjung dijalankan. -
Bergaullah dengan orang baik.
Jiwa mudah terpengaruh. Bergaul dengan orang saleh akan menulari akhlak yang baik. Seperti katanya, “الخلق يسرق من الخلق” — Akhlak menular dari akhlak. -
Lakukan muhasabah setiap hari.
Evaluasi diri membantu seseorang memperbaiki perilakunya sebelum terlambat. Muhasabah menjaga jiwa tetap sadar agar tidak terseret hawa nafsu. -
Jaga keseimbangan.
Akhlak tidak berarti mematikan keinginan, melainkan mengendalikan hasrat agar tidak berlebihan. Jalan tengah selalu menjadi kunci kebajikan.
Dengan langkah-langkah ini, manusia bisa menumbuhkan kebaikan tanpa menunggu ilham turun dari langit. Akhlak tumbuh dari kesadaran dan tindakan nyata.
Akhlak Sebagai Jalan Kedamaian Jiwa
Bagi Ibnu Miskawaih, tujuan akhir pembentukan akhlak bukan sekadar pujian sosial atau citra kesalehan, melainkan ketenangan batin. Jiwa yang berakhlak adalah jiwa yang damai karena hidup sesuai fitrahnya.
Beliau menulis:
“النفس الطيبة هي التي لذّتها في الخير، وألمها في الشر.”
“Jiwa yang baik adalah jiwa yang merasa nikmat dalam kebaikan dan sakit dalam keburukan.”
Ketika seseorang mencapai tahap ini, ia tidak butuh pengawasan untuk berbuat baik. Ia melakukannya karena cinta pada kebaikan. Ia merasa bahagia saat membantu, lega ketika memaafkan, dan damai ketika jujur. Inilah puncak pendidikan moral—bukan kepatuhan karena takut, tetapi kebajikan karena cinta.
Penutup: Akhlak, Usaha yang Tak Pernah Usai
Akhlak tidak jatuh dari langit, tetapi tumbuh dari tanah kehidupan—dari kebiasaan kecil, dari refleksi diri, dan dari ketekunan memperbaiki hati. Dalam dunia yang berubah cepat, pesan Ibnu Miskawaih mengingatkan kita untuk kembali ke akar kemanusiaan: melatih jiwa agar tetap seimbang dan beradab.
Sebab, pada akhirnya, akhlak bukan tentang siapa yang paling suci, melainkan siapa yang paling tekun belajar menjadi baik—hari demi hari, langkah demi langkah.
Dan di situlah kebahagiaan sejati berdiam: pada jiwa yang terus tumbuh, berbenah, dan berbahagia dalam kebaikan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
