Khazanah
Beranda » Berita » Kenapa Kita Mudah Marah? Ibn Miskawaih Punya Jawabannya

Kenapa Kita Mudah Marah? Ibn Miskawaih Punya Jawabannya

Laki-laki Muslim menatap cermin dengan dua ekspresi — marah dan tenang — simbol keseimbangan akal dan emosi
menggambarkan seorang laki-laki Muslim berdiri di depan cermin besar yang setengahnya memantulkan wajah tenang, setengahnya wajah marah. Cahaya lembut sore menerangi ruangan, simbol pertarungan batin antara emosi dan akal.

Surau.co. Di zaman serba cepat ini, manusia seolah menjadikan marah sebagai reaksi spontan setiap hari. Kita mudah marah karena jalanan macet, notifikasi kerja tak berhenti, atau komentar di media sosial yang tidak sejalan dengan pendapat kita. Hidup modern memang terasa nyaman, tetapi justru membuat hati semakin mudah tersulut.

Namun jauh sebelum munculnya ponsel dan hiruk-pikuk stres urban, seorang filsuf Muslim bernama Ibnu Miskawaih (w. 421 H) sudah merenungkan persoalan ini dengan mendalam. Dalam karya monumentalnya, Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathhīr al-A‘rāq (Penyucian Akhlak dan Pembersihan Jiwa), ia meneliti marah bukan sekadar sebagai emosi, tetapi sebagai penyakit jiwa yang bisa disembuhkan dengan kebijaksanaan.

Menurut Ibn Miskawaih, marah adalah tenaga alami dalam diri manusia. Tanpa marah, manusia kehilangan keberanian. Namun bila akal gagal mengendalikannya, marah berubah menjadi api yang membakar segala kebaikan.

Ketika Marah Kehilangan Kemanusiaannya

Marah bukan dosa. Bahkan Rasulullah ﷺ pun pernah marah, tetapi kemarahan beliau selalu muncul karena kebenaran dilanggar—bukan karena ego pribadi tersinggung. Beliau bersabda:

لَا تَغْضَبْ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ زِدْنِي، قَالَ لَا تَغْضَبْ
“Jangan marah.” Orang itu meminta nasihat tambahan, Rasulullah menjawab: “Jangan marah.” (HR. Bukhari)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hadis singkat ini menyentuh akar persoalan manusia. Rasulullah tidak melarang marah, tetapi beliau menegaskan agar manusia tidak dikuasai oleh marah. Sebab ketika seseorang tunduk pada amarahnya, ia sesungguhnya mengalami kekalahan batin.

Ibn Miskawaih menulis dalam Tahdzīb al-Akhlāq:

إِنَّ الْغَضَبَ نَزْوَةٌ نَفْسِيَّةٌ تَحْمِلُ عَلَى الدَّفْعِ وَالِانْتِقَامِ، فَإِذَا أَطَاعَهَا الْعَقْلُ سَارَتْ إِلَى الْعَدْلِ، وَإِذَا غَلَبَتْهُ سَارَتْ إِلَى الْجَوْرِ.
“Marah adalah gejolak jiwa yang mendorong seseorang membela diri dan membalas. Jika akal menuntunnya, marah mengarah pada keadilan; tetapi jika marah menguasai akal, ia akan membawa pada kezaliman.”

Betapa jernih pandangan ini. Bagi Ibn Miskawaih, marah adalah energi moral yang harus diarahkan dengan bijak. Ia seperti api—bisa menghangatkan, tapi juga bisa membakar.

Tiga Akar Kemarahan Menurut Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih mengidentifikasi tiga akar utama mengapa manusia mudah marah:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

  1. Akal yang lemah menimbang akibat.
    Akal seharusnya berfungsi sebagai pengendali. Ketika seseorang bertindak tanpa berpikir, ia membiarkan kemarahan meledak tanpa arah.

  2. Kebiasaan menuruti hawa nafsu.
    Nafsu membuat manusia merasa selalu benar. Begitu egonya terusik, ia bereaksi secara defensif.

  3. Ketiadaan latihan jiwa (riyāḍah al-nafs).
    Jiwa yang jarang dilatih untuk sabar menjadi mudah meledak. Seperti otot, kesabaran juga harus ditempa berulang kali.

Ketiga faktor ini terasa sangat relevan di zaman modern. Akal kita sibuk dengan notifikasi, nafsu kita digoda algoritma media sosial, sementara jiwa kita nyaris tak punya ruang untuk tenang.

Kemarahan di Era Digital

Zaman digital menjadikan marah semakin cepat, publik, dan berisik. Satu komentar di dunia maya bisa memicu rantai kebencian yang panjang. Ibn Miskawaih mungkin tidak mengenal Twitter atau TikTok, tetapi ia memahami mekanismenya sejak lama:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

إِذَا تَكَلَّمَ الْإِنْسَانُ فِي غَضَبِهِ، كَانَ أَفْسَدَ مَا يَكُونُ نَظَرُهُ وَعَقْلُهُ.
“Ketika seseorang berbicara dalam kemarahan, saat itu pandangan dan akalnya sedang paling rusak.”

Kalimat itu terasa seperti teguran untuk generasi kita. Betapa sering seseorang menyesal setelah menulis komentar pedas di dunia maya? Kata-kata yang lahir dari amarah sering kali menghancurkan silaturahmi dan nama baik.

Karena itu, Ibn Miskawaih mengingatkan agar manusia memberi jeda bagi jiwanya sebelum berbicara atau menulis. Sebab diam sesaat bisa menyelamatkan banyak hal.

Mengenali Jenis-Jenis Marah

Ibn Miskawaih membagi marah menjadi tiga jenis utama:

  1. Marah yang terkendali oleh akal.
    Ini adalah marah yang adil, muncul karena kezaliman dan diarahkan untuk memperbaiki keadaan.

  2. Marah yang meledak tanpa kendali.
    Marah seperti ini destruktif dan sering berujung pada kekerasan atau kata-kata yang melukai.

  3. Marah yang dipendam berlebihan.
    Di luar tampak tenang, tapi di dalam membusuk menjadi dendam.

Baginya, kunci utama ada pada keseimbangan (al-ḥilm)—kemampuan menahan diri di tengah situasi yang menuntut emosi.

Al-Qur’an dan Seni Mengelola Amarah

Al-Qur’an pun memuji orang-orang yang mampu mengendalikan amarahnya:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Yaitu) orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran [3]: 134)

Ayat ini sejalan dengan pandangan Ibn Miskawaih: menahan marah bukan berarti menekan perasaan, melainkan mengarahkan emosi agar selaras dengan akal dan iman. Ibn Katsir bahkan menafsirkan bahwa menahan marah termasuk bagian dari jihad terbesar—jihad melawan diri sendiri (jihad al-nafs).

Kemarahan dan Harga Diri

Sering kali marah lahir dari ego yang tersinggung. Ibn Miskawaih menulis:

الْغَضَبُ مِنَ الْكِبْرِ دَلِيلٌ عَلَى ضَعْفِ النَّفْسِ وَسُوءِ تَدْبِيرِ الْعَقْلِ.
“Kemarahan yang muncul karena kesombongan menunjukkan lemahnya jiwa dan buruknya pengelolaan akal.”

Marah karena ego hanyalah bentuk lain dari ketakutan—takut kehilangan hormat, takut terlihat kalah. Padahal kekuatan sejati justru lahir dari kemampuan menahan diri.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang bergulat, tetapi yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Latihan Jiwa Menurut Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih menegaskan bahwa marah tidak bisa dihapus, tetapi bisa dilatih. Ia menawarkan latihan moral agar akal menjadi pengendali utama:

رِيَاضَةُ النَّفْسِ تَكُونُ بِتَأَمُّلِ الْعَوَاقِبِ، وَالِاعْتِبَارِ بِمَا جَرَى لِغَيْرِهِ، وَتَذَكُّرِ أَنَّ الْغَضَبَ لَا يُفِيدُ إِلَّا النَّدَمَ.
“Latihan jiwa dilakukan dengan merenungi akibat, mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain, dan mengingat bahwa marah hanya melahirkan penyesalan.”

Beliau menyarankan langkah sederhana:

  • Tarik napas dan diam sebelum merespons.

  • Pindahkan fokus dari orang yang membuat marah ke akibat yang mungkin terjadi.

  • Belajar memaafkan bukan karena orang lain layak, tetapi karena hati butuh ketenangan.

Dengan kebiasaan itu, energi marah perlahan berubah menjadi kebijaksanaan.

Marah Sebagai Jalan Menuju Kebijaksanaan

Ibn Miskawaih tidak menolak marah. Ia justru mengajarkan bagaimana mengubah marah menjadi kekuatan moral. Menurutnya, setiap dorongan negatif bisa melahirkan kebajikan bila diarahkan dengan akal dan iman.

Marah yang diarahkan dengan benar menumbuhkan keberanian menentang kezaliman, membela yang lemah, dan memperjuangkan kebenaran. Namun marah yang dibiarkan liar hanya menghancurkan diri sendiri.

Bagi Ibn Miskawaih, keseimbangan adalah tanda kematangan moral. Ia memusatkan filsafat akhlaknya pada semangat Islam yang menegakkan keadilan (al-‘adl) di tengah berbagai dorongan jiwa.

Ketika Jiwa Belajar Tenang

Di tengah gempuran emosi modern, manusia perlu kembali belajar dari “ketenangan klasik” para ulama dan filsuf. Mengelola emosi bukan tugas sehari, melainkan perjalanan seumur hidup.

Marah boleh, tetapi marahlah dengan kesadaran.
Berani boleh, tetapi beranilah dengan akal.
Menegur boleh, tetapi tegurlah dengan kasih.

Akhirnya, orang yang mampu menahan diri tidak hanya menjaga wajahnya di depan manusia, tetapi juga menjaga hatinya di hadapan Tuhan.

Penutup: Tenanglah, Marah Bukan Kemenangan

Marah sering memberi ilusi kemenangan sesaat, tetapi meninggalkan luka panjang. Ibn Miskawaih mengingatkan:

إِذَا سَكَنْتَ غَضَبَكَ فَقَدْ غَلَبْتَ نَفْسَكَ، وَإِذَا غَلَبْتَ نَفْسَكَ فَقَدْ غَلَبْتَ الدُّنْيَا.
“Jika engkau menenangkan amarahmu, berarti engkau menaklukkan dirimu; dan siapa yang menaklukkan dirinya, ia telah menaklukkan dunia.”

Mungkin di situlah letak kedewasaan sejati: bukan pada siapa yang paling keras bicara, tetapi pada siapa yang paling mampu menahan lidah dan hati. Dalam diam yang terkendali, jiwa justru menemukan kekuatannya yang paling sejati.

*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement