Surau.co. Dalam hidup, musuh paling sulit dikalahkan bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri.
Di situlah inti jihad nafs — perjuangan yang sunyi namun menentukan arah hidup.
Imam Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, lewat karya monumentalnya Minhāj al-Ṭālibīn, memaknai jihad bukan sebagai perang dengan pedang, melainkan sebagai latihan batin yang melibatkan disiplin hati, ilmu, dan adab.
Kitab Minhāj al-Ṭālibīn memang dikenal sebagai pedoman fikih mazhab Syafi‘i. Namun, di balik pasal-pasal hukumnya, tersimpan pancaran ruh spiritual yang mendalam. Al-Nawawi bukan hanya ahli hukum, tetapi juga penuntun jiwa. Ia mengajarkan bahwa jihad terbesar tidak terjadi di medan perang, melainkan di medan diri — ketika seseorang belajar menundukkan egonya agar tunduk kepada Allah.
Jihad yang Tidak Terlihat Tapi Dirasakan
Kita hidup di zaman ketika bentuk “perang” telah berubah.
Kini, benteng dan pedang tergantikan oleh nafsu yang halus: keinginan untuk diakui, rasa iri yang disembunyikan, serta dorongan untuk menang di atas orang lain.
Imam al-Nawawi menulis:
«وَاجْتِهَادُ النَّفْسِ فِي طَاعَةِ اللهِ هُوَ أَصْلُ الْجِهَادِ وَبِهِ تَصْلُحُ الْقُلُوبُ وَتَسْلَمُ الْأَعْمَالُ»
“Kesungguhan jiwa dalam menaati Allah adalah inti jihad; dengan itulah hati menjadi baik dan amal menjadi selamat.”
Maknanya dalam sekali: jihad sejati bukan tentang mengalahkan orang lain, melainkan mengalahkan diri sendiri.
Setiap kali seseorang menahan amarah, melawan rasa malas, atau menolak bisikan riya, ia sebenarnya sedang berperang — perang tanpa musuh, tetapi dengan luka yang nyata.
Fenomena Sehari-Hari: Nafsu yang Tak Pernah Lelah
Dalam kehidupan modern, jihad nafs hadir dalam bentuk yang lebih lembut, bahkan sering tak disadari.
Di kantor, seseorang menahan diri agar tidak berbuat curang demi keuntungan kecil.
Di rumah, seorang ayah mengekang amarah agar tidak menyakiti anaknya.
Di media sosial, seorang pemuda menahan jari agar tidak membalas hinaan.
Semua itu adalah jihad tanpa pedang — peperangan yang berlangsung setiap hari, tanpa sorak kemenangan.
Rasulullah ﷺ bersabda setelah pulang dari medan perang:
«رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ»
“Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”
(HR. Al-Bayhaqi)
Nabi menyebut jihad melawan diri sebagai jihad besar.
Imam al-Nawawi menafsirkan sabda itu dengan menulis:
«وَالْجِهَادُ الْأَكْبَرُ هُوَ مُجَاهَدَةُ النَّفْسِ وَهَوَاهَا، وَالْجِهَادُ الْأَصْغَرُ مَا كَانَ فِي سَبِيلِ الْعَدُوِّ»
“Jihad besar adalah melawan jiwa dan hawa nafsunya, sedangkan jihad kecil adalah melawan musuh di medan perang.”
Kalimat ini membalik pandangan umum tentang kekuatan: orang yang mampu menaklukkan dunia belum tentu menang, tetapi siapa yang mampu menaklukkan dirinya sendiri pasti mulia.
Menundukkan Diri, Menyucikan Amal
Bagi Imam al-Nawawi, fikih bukan sekadar hukum lahir, tetapi juga etika batin.
Dalam Minhāj al-Ṭālibīn, ia menegaskan bahwa amal baru sah bila lahir dari hati yang bersih.
«إِنَّمَا تَصِحُّ الْعِبَادَاتُ بِالْإِخْلَاصِ وَنِيَّةٍ صَادِقَةٍ، وَمَنْ لَا يُجَاهِدْ نَفْسَهُ فِي ذٰلِكَ بَطَلَ عَمَلُهُ»
“Sesungguhnya ibadah tidak sah kecuali dengan keikhlasan dan niat yang jujur; siapa yang tidak berjuang melawan dirinya dalam hal itu, amalnya menjadi batal.”
Pesan ini terdengar lembut, namun tegas.
Seseorang bisa beribadah berjam-jam, bersedekah banyak, tetapi jika hatinya dikuasai riya, amal itu kehilangan ruh.
Bagi Imam al-Nawawi, jihad nafs adalah fondasi setiap amal — seperti akar bagi pohon. Tanpa itu, amal hanyalah daun kering yang mudah gugur.
Menata Hati Sebelum Menata Dunia
Sering kali manusia ingin memperbaiki dunia tanpa lebih dulu memperbaiki diri.
Kita menuntut keadilan di luar, tapi lupa menegakkannya di dalam.
Kita marah pada korupsi, tapi lalai menjaga kejujuran kecil.
Imam al-Nawawi mengingatkan dalam bagian adab penuntut ilmu:
«لَا يَصْلُحُ الْعِلْمُ إِلَّا لِمَنْ زَكَّى نَفْسَهُ وَهَذَّبَ أَخْلَاقَهُ»
“Ilmu tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang yang menyucikan dirinya dan memperbaiki akhlaknya.”
Kutipan ini menegaskan: jihad nafs bukan sekadar tambahan dalam spiritualitas, melainkan syarat utama menuju ilmu dan kedewasaan.
Tanpa melawan diri, ilmu hanya menambah kesombongan, bukan kebijaksanaan.
Keseharian sebagai Medan Jihad
Setiap hari adalah medan perang batin yang tak terlihat.
Ketika seseorang menahan lidah agar tidak menggunjing, itu jihad.
Ketika ia memaafkan meski disakiti, itu jihad.
Ketika ia tetap jujur meski terdesak, itu jihad.
Dan puncaknya, ketika seseorang menundukkan keinginannya di bawah kehendak Allah — di situlah kemenangan sejati lahir.
Al-Qur’an menegaskan:
﴿وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا﴾
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (berjihad) untuk Kami, pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(QS. Al-‘Ankabūt [29]: 69)
Ayat ini menjadi penutup yang terang: jihad nafs membuka jalan cahaya, bukan karena manusia kuat, tetapi karena Allah menuntun setiap langkah orang yang bersungguh-sungguh.
Penutup: Perang yang Tak Pernah Usai
Imam al-Nawawi menulis Minhāj al-Ṭālibīn bukan hanya untuk mengatur hukum, tetapi untuk menata hati.
Setiap babnya adalah latihan spiritual agar manusia belajar menundukkan ego.
Perang melawan diri memang tak pernah usai, namun di sanalah maknanya.
Ia tidak melahirkan medali, tetapi menumbuhkan kedamaian.
Ia tak disiarkan media, tetapi dicatat malaikat.
Dan kemenangan sejatinya bukan ketika musuh tumbang, melainkan saat hati tunduk sepenuhnya kepada kebenaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
