Surau.co. Dalam keseharian kita, kata-kata sering kali meluncur begitu saja.
Ketika kecewa, kita bersumpah. Saat berharap, kita bernazar. Lidah terasa ringan berjanji: “Kalau berhasil, saya akan bersedekah.” “Kalau sembuh, saya akan puasa tiga hari.”
Namun, sebagaimana diajarkan oleh Imam Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi dalam kitab Minhāj al-Ṭālibīn, sumpah dan nazar bukan sekadar kata. Ia adalah janji yang mengikat antara manusia dan Tuhannya, antara lisan dan takdir.
Imam al-Nawawi menulis dengan ketelitian dan kasih yang dalam: sumpah (اليمين) dan nazar (النذر) adalah bentuk ‘ibādah qawliyyah—ibadah melalui ucapan—yang hanya sah bila didasari niat dan keikhlasan. Karena itu, menjaga lidah dalam hal sumpah dan nazar sejatinya adalah menjaga hati agar tidak mendahului kehendak Allah.
Sumpah yang Tumbuh dari Iman
Dalam bab al-Yamīn (sumpah), Imam al-Nawawi menegaskan pentingnya niat sebelum ucapan:
«الْيَمِينُ تَنْعَقِدُ بِاللَّهِ تَعَالَى أَوْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ»
“Sumpah hanya sah bila diucapkan dengan menyebut nama Allah Ta‘ala atau salah satu dari sifat-Nya.”
Makna: Sumpah tidak boleh dijadikan mainan. Ia adalah penyaksian spiritual, bukan pernyataan emosional.
Sumpah yang benar tumbuh dari iman, bukan dari emosi. Bila seseorang bersumpah “Demi Allah saya akan membantu,” itu adalah ikrar yang menghadirkan Allah sebagai saksi. Tapi bila sumpah menjadi kebiasaan kosong, sekadar penegas dalam obrolan atau transaksi, maka keagungan nama Allah tereduksi menjadi pengisi kalimat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ»
“Barang siapa hendak bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Betapa banyak sumpah kita yang sebenarnya tidak perlu. Imam al-Nawawi mengingatkan dalam syarahnya, bahwa sering kali orang mengucap sumpah hanya karena tergesa menegaskan sesuatu. Padahal diam bisa lebih bijak daripada bersumpah untuk hal yang belum tentu bisa kita tunaikan.
Nazar: Janji yang Mengikat Langit dan Bumi
Nazar berbeda dengan sumpah. Ia adalah janji kepada Allah untuk melakukan suatu amal ketika terjadi sesuatu. Misalnya: “Kalau saya diterima kerja, saya akan sedekah.” Atau “Kalau anak saya sembuh, saya akan berpuasa seminggu.” Di sinilah letak keindahan sekaligus bahayanya nazar. Karena ia melibatkan harapan besar, tapi sering kali tanpa kesanggupan besar pula.
Imam al-Nawawi menulis:
«مَنْ نَذَرَ طَاعَةً فَلْيُوفِهَا، وَمَنْ نَذَرَ مَعْصِيَةً فَلَا يُوفِهَا»
“Barang siapa bernazar untuk melakukan ketaatan, maka hendaklah ia menunaikannya; dan barang siapa bernazar untuk maksiat, maka janganlah ia menunaikannya.”
Nazar adalah ladang ujian kejujuran. Ketika doa dikabulkan, nazar menjadi ujian baru: apakah kita menepatinya atau melupakannya. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa seseorang yang menunda nazar tanpa uzur termasuk lalai atas janji kepada Allah. Sebab, nazar bukan hanya tentang amal, tapi tentang menjaga komitmen ruhani.
Ketika Lidah Lebih Cepat dari Takdir
Dalam bab nazar dan sumpah, Imam al-Nawawi juga menegaskan bahaya tergesa-gesa dalam berjanji:
«لَا يَنْبَغِي لِلْمَرْءِ أَنْ يُكْثِرَ النُّذُورَ، فَإِنَّهُ لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ»
“Tidak sepatutnya seseorang memperbanyak nazar, karena nazar tidak bisa menolak takdir.”
Kalimat ini menampar dengan lembut: lidah sering ingin mendahului takdir. Kita ingin memastikan masa depan dengan janji—padahal janji tidak mengubah takdir, hanya mengubah tanggung jawab kita di hadapan Allah.
Dalam kehidupan modern, kita sering menemukan fenomena serupa. Orang berkata, “Kalau saya naik jabatan, saya pasti berhenti dari maksiat,” tapi setelah naik jabatan, maksiatnya malah bertambah halus. Atau seseorang bernazar, “Kalau sembuh, saya akan membantu fakir miskin,” namun ketika sehat, lupa kepada sakit dan lupa kepada janji.
Sumpah dan nazar seharusnya bukan alat tawar-menawar dengan Allah, tetapi bukti kesungguhan iman. Lidah yang terburu-buru berjanji tanpa kesiapan hati sejatinya sedang mendahului takdir—padahal takdir berjalan di luar kendali manusia.
Menjaga Lidah, Menjaga Hati
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
﴿لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ﴾
“Allah tidak menghukum kamu karena sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena sumpah yang kamu teguhkan.”
(QS. Al-Mā’idah [5]: 89)
Ayat ini menunjukkan kasih Allah yang luar biasa. Sumpah yang tidak disengaja — yang terucap tanpa niat atau hanya sebagai kebiasaan lidah — tidak dibebankan dosa. Tapi sumpah yang diteguhkan, yang sungguh-sungguh diniatkan, wajib ditepati atau ditebus kafarat (denda).
Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa kafarat sumpah bukanlah hukuman, melainkan bentuk tazkiyah (penyucian). Seseorang yang melanggar sumpah diperintahkan untuk memberi makan sepuluh fakir miskin atau memerdekakan budak, karena sumpah bukan semata pelanggaran kata, melainkan pelanggaran keimanan yang harus ditebus dengan amal sosial.
Mengakhiri dengan Keikhlasan
Pada akhirnya, sumpah dan nazar bukanlah tentang kerasnya hukum, melainkan tentang kelembutan iman. Imam al-Nawawi tidak menulis untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menata hati agar setiap ucapan kita menjadi doa, bukan bumerang.
Ia ingin agar manusia tidak terburu-buru menjanjikan langit, ketika bumi saja belum mampu dipikul.
Sebelum bersumpah, tanyakan pada hati: apakah aku siap menepati?
Sebelum bernazar, tanyakan pada diri: apakah janji ini karena Allah, atau karena egoku yang takut gagal?
Jika lidah dan hati sudah seimbang, maka sumpah dan nazar menjadi ibadah yang mencerahkan, bukan beban yang memenjarakan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
