Khazanah
Beranda » Berita » Warisan: Menyebar Keadilan dari Hati yang Lapang

Warisan: Menyebar Keadilan dari Hati yang Lapang

Keluarga muslim membagi warisan dengan damai menurut fiqh Minhāj al-Ṭālibīn.
Sebuah keluarga membagi harta warisan dengan musyawarah dan senyum tulus, melambangkan keadilan dan ketenangan yang diajarkan dalam fiqh.

Surau.co. Warisan bukan sekadar harta yang berpindah tangan setelah seseorang wafat. Ia adalah cermin keadilan, keseimbangan, dan kasih sayang yang disusun Allah dalam hukum-Nya. Dalam pandangan Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, sebagaimana tertuang dalam kitab Minhāj al-Ṭālibīn, warisan (al-farā’iḍ) bukan hanya pembagian angka dan bagian, melainkan manifestasi dari hati yang lapang — hati yang menempatkan hak setiap orang secara adil, tanpa benci, tanpa serakah.

Warisan, dalam makna terdalamnya, adalah ujian bagi mereka yang hidup: apakah kita sanggup bersyukur atas bagian kita, adil terhadap hak orang lain, dan ikhlas menerima ketentuan Allah. Kitab Minhāj al-Ṭālibīn menjadi panduan utama dalam memahami bagaimana keadilan itu diatur secara rinci, penuh hikmah, dan penuh keseimbangan.

Warisan Sebagai Simbol Keadilan

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat betapa pembagian warisan menjadi sumber pertengkaran di tengah keluarga. Satu rumah bisa terbelah hanya karena sepetak tanah, atau selembar surat wasiat. Padahal, Islam telah menata hukum waris dengan cermat — agar tidak ada yang terzalimi dan agar kasih tetap tumbuh setelah kematian.

Imam al-Nawawi dalam Minhāj al-Ṭālibīn menulis:

«الْمِيرَاثُ حَقٌّ مُقَدَّرٌ شَرْعًا، لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ تَغْيِيرُهُ عَنْ حَدِّهِ.»
“Warisan adalah hak yang telah ditentukan secara syar‘i, tidak boleh bagi siapa pun mengubahnya dari batas yang telah Allah tetapkan.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Maknanya jelas: hukum waris bukan hasil kesepakatan manusia, tapi ketetapan Ilahi. Maka, siapa pun yang berusaha mengubahnya — entah karena gengsi, kekuasaan, atau tekanan keluarga — sejatinya telah mencederai keadilan yang suci.

Keadilan yang Lahir dari Hati yang Lapang

Keadilan dalam warisan bukan hanya soal pembagian yang benar, tapi juga penerimaan yang ikhlas. Sebab, tidak semua hati mampu menerima bahwa bagiannya kecil, atau bahwa saudaranya mendapat lebih banyak. Di sinilah Minhāj al-Ṭālibīn memberi napas spiritual: hukum harus dijalankan dengan hati yang lapang, bukan dengan rasa sempit.

«مَنْ لَمْ يُقْسِمِ الْمِيرَاثَ عَلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَقَدْ ظَلَمَ وَاعْتَدَى.»
“Barang siapa tidak membagi warisan sebagaimana yang telah Allah turunkan, maka ia telah berbuat zalim dan melampaui batas.”

Imam al-Nawawi menyandarkan hukum warisan pada ayat yang sangat terkenal dalam Al-Qur’an:

﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ﴾
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu; bagian seorang laki-laki sama dengan dua bagian perempuan.”
(QS. An-Nisā’ [4]: 11)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ayat ini bukan sekadar rumus matematis. Ia adalah tanda keseimbangan: laki-laki yang memikul tanggung jawab nafkah mendapat bagian lebih besar, sementara perempuan yang dilindungi haknya tetap mendapat bagian pasti. Semua memiliki proporsi sesuai peran dan beban hidupnya. Di sinilah tampak bahwa keadilan Islam bukan keseragaman, melainkan keseimbangan yang penuh hikmah.

Menjaga Hak yang Tersisa, Menyambung Silaturahmi

Hukum warisan sering kali diuji bukan pada hitungan, melainkan pada sikap manusia. Ketika harta dunia berputar, kasih sayang diuji. Imam al-Nawawi dalam Minhāj al-Ṭālibīn menegaskan bahwa setiap hak ahli waris wajib diberikan sepenuhnya, tidak boleh ditunda atau diabaikan:

«يَجِبُ عَلَى الْوَرَثَةِ أَنْ يُبَادِرُوا إِلَى قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِعْطَاءِ كُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ بَعْدَ قَضَاءِ الدُّيُونِ وَتَنْفِيذِ الْوَصَايَا.»
“Wajib atas para ahli waris untuk segera membagi harta peninggalan dan memberikan kepada setiap yang berhak setelah melunasi utang dan melaksanakan wasiat.”

Dalam praktiknya, sering kali kita menunda pembagian karena alasan emosional — “belum waktunya”, “nanti saja setelah semua siap”. Namun, menunda hak orang lain sama saja menunda keadilan. Dalam Islam, keadilan tidak menunggu waktu, sebab setiap hak memiliki waktunya sendiri.

Menariknya, Imam al-Nawawi juga menulis bahwa menyegerakan pembagian warisan adalah bentuk menjaga silaturahmi. Dengan kejelasan hak, tidak ada ruang bagi prasangka, iri hati, atau pertikaian yang merusak hubungan darah.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Hikmah dari Pembagian yang Adil

Jika diperhatikan, sistem warisan Islam mengandung keseimbangan spiritual yang luar biasa. Bagian orang tua, anak, pasangan, bahkan kerabat jauh — semua telah ditentukan. Tidak ada yang terabaikan, tidak ada yang diistimewakan tanpa alasan syar‘i.

«فِي الْمِيرَاثِ حِكْمَةٌ بَالِغَةٌ، فِيهَا تَسْكِينُ الْقُلُوبِ وَرِضَا الْأَنْفُسِ، وَإِقَامَةُ الْعَدْلِ فِي الْأَرْضِ.»
“Dalam warisan terdapat hikmah yang mendalam: menenangkan hati, menumbuhkan kerelaan jiwa, dan menegakkan keadilan di bumi.”

Kata “hikmah” di sini penting. Sebab, hukum faraidh bukan untuk membebani, tetapi menuntun hati agar ridha. Bila kita menghayati, setiap bagian yang Allah tentukan adalah doa: agar harta dunia tidak menjadi sebab perpecahan, tapi sarana menjaga kasih sayang setelah kematian.

Warisan sebagai Amal Jariyah

Warisan juga tidak berhenti pada pembagian harta. Imam al-Nawawi mengingatkan bahwa meninggalkan ilmu, amal saleh, dan keteladanan adalah warisan yang lebih abadi daripada harta benda.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.»
(HR. Muslim)

Imam al-Nawawi menjelaskan dalam Syarh Muslim bahwa ketiga hal ini adalah bentuk warisan spiritual: amal yang tidak habis meski waktu terus berjalan. Maka, dalam arti luas, warisan bukan hanya apa yang kita tinggalkan di rekening, tetapi juga apa yang kita tanam di hati orang lain.

Menutup dengan Lapang Hati

Setiap keluarga akan diuji dengan warisan, cepat atau lambat. Tapi ujian itu bukan tentang siapa yang mendapat lebih banyak, melainkan siapa yang mampu menjaga keadilan dan kasih.

Minhāj al-Ṭālibīn mengajarkan kita bahwa keadilan tidak berhenti di ruang sidang atau halaman wasiat. Ia hidup di ruang hati: ketika kita memilih keikhlasan daripada kemarahan, memberi sebelum diminta, dan rela terhadap ketentuan Allah.

Itulah hakikat warisan yang sejati — menyebar keadilan dari hati yang lapang.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement