Khazanah
Beranda » Berita » Empat Sifat Utama Manusia Versi Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Empat Sifat Utama Manusia Versi Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

ilustrasi simbolik empat sifat utama manusia versi Ibnu Miskawaih
Seorang manusia berdiri di tengah persimpangan empat jalan bercahaya berbeda warna — emas, merah, biru, dan hijau — melambangkan hikmah, keberanian, kesucian, dan keadilan. Latar lembut dan filosofis, gaya realistik-nyeni dengan pencahayaan hangat senja.

Surau.co. Kita hidup di zaman ketika informasi datang deras, tetapi kebijaksanaan sering tertinggal di belakangnya. Banyak orang berilmu, tapi sedikit yang benar-benar berakhlak. Di sinilah pentingnya menengok kembali pemikiran klasik yang abadi—seperti karya monumental Tahdzīb al-Akhlāq karya Ibnu Miskawaih. Kitab ini bukan sekadar kumpulan teori moral, tetapi panduan mendalam tentang bagaimana manusia bisa mencapai kesempurnaan jiwa melalui pengendalian diri, kebijaksanaan, keberanian, dan keadilan.

Ibnu Miskawaih (w. 421 H) adalah salah satu filsuf etika terbesar dalam peradaban Islam. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, ia menjelaskan bahwa seluruh perilaku baik manusia bersumber dari empat sifat utama: hikmah (kebijaksanaan), syaja‘ah (keberanian), ‘iffah (menjaga diri), dan ‘adl (keadilan). Keempat sifat ini bukan hanya ideal moral, tetapi juga peta perjalanan bagi jiwa manusia untuk mencapai keseimbangan batin.

Menariknya, konsep moral Ibnu Miskawaih sangat relevan dengan kehidupan modern. Ia mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi tanpa pengendalian akhlak hanya akan menimbulkan kekacauan batin dan sosial. Maka, mari kita menelusuri satu per satu empat sifat utama manusia versi Ibnu Miskawaih—bukan untuk sekadar tahu, tetapi untuk mengenal diri.

Hikmah: Kebijaksanaan Sebagai Cahaya Akal

Ibnu Miskawaih menulis bahwa akar dari segala kebaikan adalah hikmah, yakni kemampuan akal untuk mengenali kebenaran dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam bahasa beliau:

“الحكمة هي معرفة الخير والشر، والتمييز بينهما بعقل راجح”
“Hikmah adalah mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, serta mampu membedakan keduanya dengan akal yang seimbang.”

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Kebijaksanaan bukan berarti tahu banyak hal, melainkan mampu memilah mana yang layak diikuti. Dalam dunia kerja, misalnya, kebijaksanaan membuat seseorang tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam; kapan harus melawan, kapan harus menerima. Hikmah adalah panduan agar manusia tidak dikuasai nafsu dan emosi.

Al-Qur’an sendiri menegaskan pentingnya kebijaksanaan:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa dianugerahi hikmah, sungguh dia telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah [2]: 269)

Ibnu Miskawaih mengingatkan bahwa hikmah adalah cahaya akal yang menuntun seluruh potensi manusia. Tanpa kebijaksanaan, keberanian menjadi nekat, kesucian menjadi kaku, dan keadilan berubah menjadi tirani. Maka, segala upaya memperbaiki akhlak harus dimulai dari mendidik akal.

Syaja‘ah: Keberanian Menghadapi Diri Sendiri

Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, syaja‘ah (keberanian) bukan sekadar keberanian fisik menghadapi bahaya, tetapi kekuatan jiwa untuk mengendalikan rasa takut dan marah. Ia menulis:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

“الشجاعة هي ثبات النفس في مواجهة ما يجب أن يُخاف، ومخالفة ما لا ينبغي أن يُخاف.”
“Keberanian adalah keteguhan jiwa dalam menghadapi apa yang memang layak ditakuti, dan tidak takut terhadap apa yang tidak seharusnya ditakuti.”

Keberanian sejati justru terletak pada kemampuan melawan diri sendiri. Orang berani bukan yang melawan musuh di luar, tetapi yang menaklukkan hawa nafsu dalam dirinya. Dalam konteks modern, syaja‘ah berarti berani berkata benar di tengah tekanan sosial, berani mengakui kesalahan, dan berani memaafkan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keberanian semacam ini adalah bentuk kebijaksanaan dalam tindakan. Ia tidak meledak-ledak, tidak mencari pujian, dan tidak lahir dari ego. Ia muncul dari kesadaran moral yang dalam: bahwa menaklukkan diri lebih mulia daripada menaklukkan dunia.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

‘Iffah: Menjaga Diri Sebagai Bentuk Kemuliaan Jiwa

Sifat ketiga yang digarisbawahi Ibnu Miskawaih adalah ‘iffah, yakni kemampuan menahan diri dari keinginan berlebihan. Ia menulis:

“العفة هي انقياد قوة الشهوة للعقل، حتى لا تطلب اللذة إلا في حدود الشرع والعقل.”
“‘Iffah adalah tunduknya dorongan nafsu kepada akal, sehingga seseorang tidak mencari kenikmatan kecuali dalam batas syariat dan akal.”

‘Iffah menuntun manusia untuk hidup sederhana, tidak rakus, tidak berlebihan dalam makan, tidur, atau mengejar harta. Ia bukan tentang menolak dunia, tapi mengendalikan selera agar dunia tidak menguasai kita.

Dalam kehidupan sehari-hari, ‘iffah bisa berarti menahan komentar negatif di media sosial, menghindari gaya hidup konsumtif, atau tidak tergoda membandingkan diri dengan orang lain. Ia mengajarkan keseimbangan dan penghormatan terhadap diri.

Al-Qur’an memuji orang yang mampu menjaga diri dari hawa nafsu:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
“Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi‘at [79]: 40–41)

Bagi Ibnu Miskawaih, menjaga diri bukan berarti mengekang kebahagiaan, tetapi menemukan nikmat sejati dalam kesederhanaan. Ia mengajarkan kita bahwa jiwa yang tenang tidak dibeli dari kesenangan, melainkan lahir dari penguasaan diri.

‘Adl: Keadilan Sebagai Keseimbangan Jiwa

Sifat keempat adalah ‘adl (keadilan), yang menurut Ibnu Miskawaih merupakan puncak dari ketiga sifat sebelumnya. Ia menulis:

“العدل هو اعتدال قوى النفس الثلاث، فلا يطغى بعضها على بعض.”
“Keadilan adalah keseimbangan antara tiga kekuatan jiwa, sehingga tidak ada satu pun yang melampaui yang lain.”

Keadilan dalam pandangan beliau bukan hanya soal hukum, tapi keseimbangan antara akal, nafsu, dan amarah dalam diri manusia. Jika hikmah mengatur akal, syaja‘ah mengatur emosi, dan ‘iffah mengatur nafsu, maka ‘adl adalah harmoni yang tercipta ketika semuanya bekerja seimbang.

Keadilan membuat manusia bertindak proporsional: tidak berlebihan dalam menilai, tidak gegabah dalam menghukum, dan tidak berat sebelah dalam memandang orang lain. Rasulullah ﷺ bersabda:

اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Dalam kehidupan sosial, ‘adl melahirkan empati dan tanggung jawab. Orang yang adil tidak hanya memperjuangkan haknya, tapi juga menghormati hak orang lain. Ia tidak mengukur hidup dengan keuntungan pribadi, melainkan dengan keseimbangan moral yang menenangkan jiwa.

Keseimbangan Empat Sifat: Jalan Menuju Jiwa Sempurna

Ibnu Miskawaih menekankan bahwa keempat sifat utama ini saling bergantung. Seseorang tidak bisa disebut bijak jika tidak berani mengambil keputusan; tidak bisa dikatakan berani jika tidak mampu menahan hawa nafsu; dan semua itu kehilangan makna tanpa keadilan.

Beliau menulis dengan indah:

“كمال النفس في اعتدال قواها، فإذا اعتدلت استقامت أفعالها، فصار الإنسان فاضلاً.”
“Kesempurnaan jiwa terletak pada keseimbangan kekuatannya. Bila seimbang, maka perbuatannya lurus, dan manusia menjadi mulia.”

Konsep keseimbangan ini sejalan dengan ajaran Al-Qur’an tentang ummatan wasathan — umat yang berada di tengah, tidak condong ke ekstrem mana pun:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Jalan tengah bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kematangan jiwa. Ia menuntut kebijaksanaan untuk menahan diri, keberanian untuk memilih, dan keadilan untuk menimbang. Dunia modern yang ekstrem dan bising justru membutuhkan keseimbangan ini agar manusia tetap waras dan berperikemanusiaan.

Penutup: Menemukan Ketenangan dalam Keseimbangan

Empat sifat utama manusia versi Ibnu Miskawaih bukan sekadar teori etika, melainkan peta batin yang membantu kita berjalan di dunia dengan tenang. Hikmah menuntun akal, syaja‘ah menguatkan hati, ‘iffah menenangkan nafsu, dan ‘adl menyeimbangkan semuanya.

Jika manusia mampu menjaga keempatnya, maka ia tidak hanya hidup dengan moral, tetapi juga dengan makna. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang saling menuntut ekstrem, jalan tengah seperti inilah yang menyelamatkan jiwa.

Pada akhirnya, manusia tidak sedang mencari kesempurnaan di luar dirinya, melainkan keseimbangan di dalam dirinya sendiri. Dan di sanalah, seperti yang diyakini Ibnu Miskawaih, kebahagiaan sejati berdiam.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement