Surau.co. Dalam Minhāj al-Ṭālibīn karya Imam Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, bab tentang haji tidak hanya mengulas manasik, ihram, atau tahallul. Lebih dari itu, ia membahas perjalanan — bukan semata menuju Ka’bah di Makkah, melainkan menuju kejernihan hati. Haji, pada hakikatnya, adalah perjalanan pulang: dari hiruk-pikuk dunia menuju keheningan ruh, dari kebanggaan menuju kerendahan hati, dari banyaknya urusan menuju satu tujuan — Allah.
Setiap langkah ke arah Baitullah sejatinya menjadi langkah untuk mengenali diri. Setiap “Labbaik” berubah menjadi jawaban atas panggilan cinta Ilahi yang telah lama bergema di dada manusia. Imam al-Nawawi memang menulis dengan gaya hukum, tetapi di balik pasal-pasal fiqhnya mengalir napas kerinduan yang lembut dan dalam.
Perjalanan yang Dimulai dari Niat yang Murni
Segala perjalanan selalu berawal dari niat. Dalam haji, kemurnian niat menentukan segalanya. Imam al-Nawawi menulis dalam Minhāj al-Ṭālibīn:
وَالْحَجُّ فَرْضٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مُسْتَطِيعٍ مَرَّةً فِي الْعُمُرِ
“Haji adalah kewajiban atas setiap Muslim yang mampu, sekali seumur hidup.”Baca juga: Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW
Kalimat singkat itu menyimpan kebijaksanaan besar. Haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup karena ia bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan makna. Tujuannya tidak berhenti pada kehadiran di Tanah Suci, tetapi meluas hingga pemahaman terhadap panggilan Tuhan di balik langkah-langkah itu.
Kata mampu (istithā‘ah) yang disebut Imam al-Nawawi tidak hanya bermakna kesiapan materi dan fisik. Lebih dari itu, kemampuan sejati menuntut kesiapan batin. Banyak orang kuat berjalan, tetapi tidak siap melepaskan. Padahal, haji menuntut keberanian untuk meninggalkan segalanya — rumah, pekerjaan, pakaian, bahkan identitas sosial. Di hadapan Allah, yang tersisa hanyalah diri yang paling murni. Karena itu, niat menjadi poros dari seluruh perjalanan spiritual ini.
Ihram: Simbol Kesiapan untuk Menanggalkan Dunia
Ketika jamaah mengenakan ihram, mereka memasuki fase kesederhanaan total. Imam al-Nawawi menjelaskan:
وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُحْرِمِ لُبْسُ الْمَخِيطِ وَتَغْطِيَةُ الرَّأْسِ وَقَصُّ الشَّعْرِ وَالظُّفُرِ
“Bagi orang yang ihram, diharamkan memakai pakaian berjahit, menutupi kepala, serta memotong rambut dan kuku.”
Larangan itu bukan sekadar aturan lahiriah. Di baliknya terdapat latihan spiritual untuk melucuti kelekatan duniawi. Dalam keadaan ihram, manusia menanggalkan segala bentuk pembeda sosial. Kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, semuanya berdiri sejajar di hadapan Allah — hanya diselimuti kain putih dan keikhlasan hati.
Melalui kesederhanaan ihram, manusia belajar tentang kesetaraan dan kejujuran diri. Ia berhenti berlomba dalam kemegahan, lalu mulai berlari dalam ketundukan. Pada titik ini, perjalanan haji berubah wujud: dari perjalanan tubuh menjadi perjalanan batin. Bukan sekadar menuju Makkah, melainkan menuju kejujuran yang paling dalam.
Thawaf: Mengelilingi Pusat Kehidupan
Setelah mengenakan ihram, jamaah bergerak mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Imam al-Nawawi menulis:
وَأَرْكَانُ الْحَجِّ أَرْبَعَةٌ: الإِحْرَامُ، وَالْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ، وَالطَّوَافُ، وَالسَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ
“Rukun haji ada empat: ihram, wukuf di Arafah, thawaf, dan sa‘i antara Shafa dan Marwah.”
Thawaf tidak sekadar gerakan berputar, tetapi simbol keterpusatan hidup. Selama ini manusia mengelilingi banyak hal: pekerjaan, ambisi, kekuasaan, bahkan cinta dunia. Melalui thawaf, Allah menuntun agar manusia kembali menjadikan-Nya pusat orbit kehidupan.
Setiap langkah mengelilingi Ka’bah berarti menata ulang poros hidup. Manusia belajar menyingkirkan yang semu lalu menegakkan yang hakiki. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa berhaji karena Allah, tidak berkata keji dan tidak berbuat maksiat, maka ia pulang seperti hari dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Oleh sebab itu, thawaf menjadi gerak menuju kemurnian. Dan kemurnian itu, sebagaimana ditekankan Imam al-Nawawi, tumbuh dari hati yang bersih dari kesombongan dan dosa.
Wukuf di Arafah: Titik Pertemuan dan Pengampunan
Puncak haji bukan terletak pada Ka’bah, tetapi pada Arafah. Di tempat inilah manusia berdiri menatap langit dan berbicara langsung kepada Tuhannya. Imam al-Nawawi menulis:
وَالْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ أَرْكَنُ الْحَجِّ الأَعْظَمُ
“Wukuf di Arafah adalah rukun haji yang paling agung.”
Mengapa Arafah begitu agung? Karena di sanalah semua topeng jatuh. Manusia datang tanpa gelar, tanpa kuasa, hanya membawa dirinya sendiri — bersama dosa, penyesalan, dan harapan. Wukuf tidak berhenti pada berdiri secara fisik, tetapi meluas menjadi keberanian berdiri dalam kejujuran di hadapan Tuhan.
Arafah menjadi rumah sementara bagi hati yang lelah. Di sana, doa tidak lagi sekadar permintaan, melainkan pengakuan. Di sana pula manusia menyadari bahwa hidup hanyalah perjalanan singkat untuk pulang kepada-Nya. Karena itu, Arafah menjadi titik balik: dari keterasingan menuju kedekatan, dari kesombongan menuju kepasrahan.
Dari Tanah Suci ke Kehidupan Sehari-hari
Perjalanan haji berakhir dengan tahallul, yaitu mencukur rambut sebagai tanda penyucian diri. Imam al-Nawawi menulis:
وَيَحْلِقُ الْحَاجُّ رَأْسَهُ أَوْ يُقَصِّرُهُ، وَيُسْتَحَبُّ الْحَلْقُ لِلرِّجَالِ
“Jamaah haji mencukur rambutnya atau memendekkannya, dan disunnahkan mencukur habis bagi laki-laki.”
Tindakan sederhana itu membawa makna mendalam. Rambut yang terpotong melambangkan pelepasan masa lalu sekaligus kelahiran kembali. Dari kepala yang bersih, manusia belajar arti penyucian: meninggalkan kesalahan, memulai dengan hati yang jernih, dan menata langkah baru.
Namun, perjalanan sejati justru dimulai setelah kepulangan. Haji yang mabrur tidak diukur dari sertifikat atau gelar “Pak Haji,” melainkan dari perubahan perilaku: tutur kata yang lebih lembut, hati yang lebih sabar, dan cinta yang semakin luas. Allah ﷻ berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ… وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“(Waktu) haji itu beberapa bulan yang telah diketahui… dan apa saja kebaikan yang kamu kerjakan, niscaya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197)
Dengan ayat itu, Allah seakan mengingatkan bahwa ibadah haji tidak berhenti di Makkah. Ia terus hidup dalam keseharian, dalam sikap dan pilihan yang menunjukkan bahwa seseorang telah menempuh jalan pulang ke dalam dirinya sendiri.
Menempuh Jalan Pulang ke Diri Sendiri
Akhirnya, haji mengajarkan bahwa pulang sejati bukan ke rumah atau kampung halaman, melainkan ke hati yang sederhana, ikhlas, dan lapang. Imam al-Nawawi menegaskan bahwa setiap ibadah memiliki ruh, sedangkan ruh haji adalah kerinduan — kerinduan untuk mengenal diri, mengenal Tuhan, dan memahami makna kehidupan.
Maka, haji sejati bukan sekadar perjalanan geografis. Ia adalah perjalanan eksistensial — dari dunia luar menuju dunia dalam, dari banyaknya arah menuju satu tujuan. Di puncak kesadaran itu, manusia akhirnya berbisik lirih:
لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ — “Aku datang, ya Allah, aku datang.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
