Surau.co. Dalam Minhāj al-Ṭālibīn karya Imam Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, pembahasan tentang zakat tidak hanya disampaikan sebagai hukum keuangan Islam, melainkan juga sebagai ibadah yang menumbuhkan cinta dan kasih terhadap sesama. Zakat bukan sekadar kewajiban, tapi sebuah cara agar manusia belajar melepaskan, menyucikan, dan menumbuhkan empati.
Di tengah zaman yang serba sibuk dan materialistis ini, makna zakat terasa semakin dalam. Ketika manusia terus menimbun dan mengejar angka, zakat datang sebagai pengingat: bahwa sebagian dari yang kita miliki adalah milik orang lain.
Zakat Sebagai Jalan Menuju Kesucian dan Ketenangan
Imam al-Nawawi menulis dengan tegas dalam Minhāj al-Ṭālibīn:
وَالزَّكَاةُ فَرْضٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مَالِكٍ لِلنِّصَابِ، مُرُورِ الْحَوْلِ عَلَيْهِ
“Zakat wajib atas setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab dan telah berlalu satu tahun atasnya.”
Kalimat ini sederhana, tapi mengandung kedalaman spiritual yang luar biasa. Zakat bukan sekadar “memberi sebagian harta”, melainkan latihan untuk menahan diri dari kelekatan. Harta yang bertumpuk tanpa zakat justru bisa menjadi sumber kerusakan jiwa.
Allah ﷻ berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 103)
Membersihkan dan menyucikan — dua kata yang menandai hakikat zakat. Ia membersihkan harta dari hak orang lain, sekaligus menyucikan hati dari keserakahan.
Ketika Memberi Menjadi Bentuk Tertinggi dari Cinta
Dalam dunia modern, memberi sering kali dikaitkan dengan kehilangan. Namun, Imam al-Nawawi justru menunjukkan bahwa memberi adalah bentuk kepemilikan yang sejati. Beliau menulis:
وَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ إِلَّا فِي الْمَالِ النَّامِي وَالْحَيَوَانِ وَالزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ
“Zakat hanya wajib pada harta yang berkembang, hewan ternak, tanaman, dan buah-buahan.”
Harta yang “berkembang” (al-māl al-nāmī) di sini tidak sekadar bertambah secara ekonomi, tapi juga berkembang dalam makna dan keberkahan. Imam al-Nawawi mengajarkan bahwa zakat membuat harta menjadi hidup. Ia tumbuh bukan karena jumlahnya bertambah, tapi karena nilai dan manfaatnya meluas.
Zakat bukan kehilangan, tapi transformasi. Dari milik pribadi menjadi milik kemanusiaan. Dan dari benda dunia menjadi amal akhirat. Dari angka menjadi doa.
Melepaskan Bukan Berarti Berkurang
Ada keindahan yang tidak terucapkan ketika seseorang memberi dari apa yang ia cintai. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Imam al-Nawawi menafsirkan semangat hadis ini dalam kerangka fiqhnya — bahwa zakat bukan beban yang menguras, tapi pintu berkah yang membuka. Memberi tidak mengurangi, justru menambah: menambah ridha Allah, menambah tenang di hati, menambah rasa cukup dalam hidup.
Di tengah gaya hidup konsumtif, zakat menjadi oase moral. Ia mengajarkan bahwa kepemilikan sejati bukan di tangan, melainkan di hati. Orang yang bisa memberi adalah orang yang telah menang melawan ketakutan kehilangan.
Zakat dan Tanggung Jawab Sosial
Imam al-Nawawi menulis lagi dalam Minhāj al-Ṭālibīn:
وَتُصْرَفُ الزَّكَاةُ إِلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Zakat disalurkan kepada delapan golongan: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, memerdekakan budak, orang yang berutang, di jalan Allah, dan ibnu sabil.”
Daftar ini bukan sekadar kategori sosial, tapi cermin kasih Tuhan kepada manusia. Melalui zakat, Islam menata ulang struktur sosial agar tidak ada yang tertinggal.
Setiap pemberian zakat adalah jembatan cinta — dari yang berlebih kepada yang kekurangan, dari yang kuat kepada yang lemah. Dalam sistem sosial Islam, zakat adalah “ekonomi kasih” yang menjaga keseimbangan agar kekayaan tidak hanya berputar di tangan segelintir orang.
Allah ﷻ menegaskan:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Zakat Sebagai Dialog Antara Diri dan Tuhan
Memberi zakat tidak hanya hubungan antara kaya dan miskin, tapi juga antara hamba dan Pencipta. Ia adalah percakapan sunyi yang penuh cinta:
“Ya Allah, aku tahu semua ini milik-Mu. Maka aku kembalikan sebagian sebagai tanda syukurku.”
Imam al-Nawawi menegaskan pentingnya niat dalam zakat:
وَالنِّيَّةُ شَرْطٌ فِي إِخْرَاجِ الزَّكَاةِ
“Niat adalah syarat dalam mengeluarkan zakat.”
Tanpa niat, zakat hanyalah transaksi; dengan niat, ia menjadi ibadah. Di sinilah letak kesucian zakat: bukan pada besar kecilnya nominal, tapi pada ketulusan yang mengiringinya.
Menyucikan Harta, Menyucikan Diri
Zakat adalah cinta yang menuntut keberanian. Memberi dari apa yang disukai selalu terasa berat — tetapi justru di situlah letak keindahannya.
Allah ﷻ berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan yang sempurna sebelum kamu menginfakkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 92)
Zakat menjadi bukti cinta yang konkret, bukan sekadar kata. Ia adalah keikhlasan yang terlihat, cinta yang berbagi. Dan dalam setiap harta yang dikeluarkan, ada kebahagiaan yang tidak bisa dibeli: rasa ringan, lega, dan tenang.
Seperti air yang mengalir, zakat menjaga kehidupan agar tetap segar. Ia memastikan bahwa harta tidak menimbulkan kerak keserakahan di hati, melainkan menjadi aliran kebaikan yang memberi manfaat bagi banyak jiwa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
