Surau.co. Banyak orang mengira bahwa memilih jalan tengah adalah tanda keragu-raguan. Dalam dunia yang gemar dengan ekstrem—berpikir hitam-putih, bekerja tanpa henti, atau mencintai tanpa batas—sikap seimbang sering dianggap membosankan. Padahal, dalam pandangan para filsuf Muslim klasik, justru di situlah letak keselamatan jiwa.
Ibnu Miskawaih, seorang filsuf moral dari abad ke-10, dalam kitabnya Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathhīr al-A‘rāq (Penyempurnaan Akhlak dan Penyucian Sifat), menyebut bahwa kebaikan sejati lahir dari keseimbangan. Ia menulis:
الْفَضِيلَةُ هِيَ حَالَةُ الْوَسَطِ بَيْنَ طَرَفَيْ نَقِيصَةٍ وَإِفْرَاطٍ
“Kebajikan adalah keadaan tengah antara dua sisi kekurangan dan berlebihan.”
Jadi, jalan tengah bukan sekadar kompromi, tetapi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan. Karena di situlah akal, jiwa, dan perasaan berjalan berdampingan tanpa saling menindas.
Keseimbangan: Hakikat Moral Menurut Ibnu Miskawaih
Bagi Ibnu Miskawaih, akhlak bukanlah hasil kebiasaan sosial semata, melainkan latihan sadar yang membuat manusia mampu menata jiwanya. Dalam kerangka etika beliau, ada tiga kekuatan utama dalam diri manusia: akal (العقل), amarah (الغضب), dan syahwat (الشهوة).
Jika ketiganya berjalan ekstrem, manusia akan kehilangan arah. Namun bila dijaga agar seimbang, akan lahirlah kebajikan.
Ia menjelaskan:
إِذَا تَعَدَّلَتْ قُوَى النَّفْسِ اسْتَقَامَتِ الْأَخْلَاقُ وَسَعِدَ الإِنْسَانُ
“Apabila kekuatan jiwa berada dalam keadaan seimbang, maka akhlak akan lurus dan manusia menjadi bahagia.”
Keseimbangan ini bukan berarti lemah atau datar. Ia justru memerlukan kecerdasan spiritual dan kesadaran tinggi. Seorang pemberani tidak melompat tanpa berpikir, tetapi juga tidak lari dari tanggung jawab. Seorang dermawan memberi dengan niat tulus, bukan karena gengsi atau pamrih.
Dalam hal ini, Ibnu Miskawaih seolah menggema dengan ajaran Al-Qur’an:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Umat pertengahan bukan berarti pasif, tetapi umat yang menolak ekstremitas, menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara ambisi dan ridha, antara kerja keras dan ketenangan hati.
Jalan Tengah Bukan Jalan Datar: Ia Butuh Latihan dan Kesadaran
Sering kali, keseimbangan disalahpahami sebagai ketenangan yang muncul begitu saja. Padahal, dalam etika Ibnu Miskawaih, jalan tengah adalah hasil dari riyādhah an-nafs — latihan batin yang terus menerus. Ia tidak datang secara instan.
إِنَّ التَّهْذِيبَ إِلَى الْوَسَطِ إِنَّمَا يَحْتَاجُ إِلَى تَأَدُّبٍ وَتَعَوُّدٍ
“Menemukan jalan tengah membutuhkan pendidikan dan kebiasaan yang disiplin.”
Manusia cenderung berpihak pada salah satu ekstrem karena merasa itu lebih mudah: terlalu keras pada diri sendiri atau terlalu memanjakan diri. Sementara bersikap seimbang membutuhkan kebeningan akal dan kesadaran spiritual.
Rasulullah ﷺ menunjukkan teladan ini dalam hidupnya. Beliau beribadah dengan tekun, tetapi menolak sikap berlebihan dalam agama. Ketika sekelompok sahabat ingin berpuasa terus-menerus atau tidak menikah demi ibadah, beliau menegur dengan lembut:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barang siapa berpaling dari sunnahku, maka ia bukan golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pesan ini menegaskan: kebaikan sejati ada pada keseimbangan, bukan pada ekstremitas.
Kebajikan sebagai Jalan Tengah Antara Dua Kelemahan
Ibnu Miskawaih membagi kebajikan ke dalam empat kategori utama: hikmah (kebijaksanaan), syaja‘ah (keberanian), ‘iffah (kesucian atau pengendalian diri), dan ‘adl (keadilan).
Keempatnya hanya dapat muncul jika seseorang berjalan di tengah dua ekstrem:
| Kebajikan | Kekurangan | Kelebihan |
| Hikmah | Bodoh, terburu-buru | Licik, memanipulatif |
| Syaja‘ah | Pengecut | Nekat |
| ‘Iffah | Kikir, dingin hati | Rakus, berlebihan |
| ‘Adl | Tidak adil, pilih kasih | Kejam, sewenang-wenang |
Menurut beliau, keseimbangan moral adalah jalan tengah di antara dua jurang yang sama-sama berbahaya. Orang yang hidup dalam keseimbangan tidak terombang-ambing oleh keinginan, tetapi juga tidak mematikan rasa. Ia tahu kapan berbicara, kapan diam, kapan bekerja keras, dan kapan berhenti untuk beristirahat.
Menghindari Ekstrem: Pelajaran dari Zaman Modern
Hari ini, kita hidup di tengah dua ekstrem besar: kultus produktivitas dan pelarian dari kenyataan. Ada orang yang begitu sibuk mengejar prestasi sampai kehilangan makna, dan ada pula yang menolak dunia dengan dalih spiritualitas.
Jalan tengah, dalam konteks modern, berarti tahu kapan bekerja dan kapan berhenti. Ia berarti mampu menghormati dunia tanpa menjadi budaknya.
Ibnu Miskawaih mengingatkan:
مَنْ غَلَبَتْ عَلَيْهِ قُوَّةٌ دُونَ أُخْرَى فَسَدَ نِظَامُهُ وَتَعِبَتْ نَفْسُهُ
“Siapa yang salah satu kekuatannya mendominasi yang lain, maka tatanannya rusak dan jiwanya lelah.”
Manusia modern sering mengalami kelelahan batin bukan karena kekurangan kemampuan, tetapi karena kehilangan harmoni dalam hidupnya. Mereka ingin menjadi segalanya sekaligus, hingga lupa menjadi dirinya sendiri.
Padahal, keseimbangan bukan mengurangi semangat, melainkan menata arah semangat itu agar tidak membakar diri.
Jalan Tengah Sebagai Jalan Spiritual
Dalam kacamata Ibnu Miskawaih, jalan tengah bukan hanya etika sosial, tetapi juga jalan menuju kedamaian spiritual. Jiwa yang tenang lahir dari keseimbangan antara dorongan duniawi dan tuntunan akal.
السَّعَادَةُ لَا تَكُونُ فِي الْمَالِ أَوِ الْجَاهِ، بَلْ فِي تَعَدُّلِ النَّفْسِ
“Kebahagiaan tidak terletak pada harta atau kedudukan, tetapi pada keseimbangan jiwa.”
Ketenangan sejati muncul saat seseorang tidak terjebak pada pencapaian duniawi, tetapi juga tidak mengasingkan diri dari realitas. Ia bisa hadir di tengah hiruk-pikuk dunia tanpa kehilangan arah batinnya.
Ayat Al-Qur’an menegaskan hal ini dengan indah:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Carilah dengan apa yang telah Allah berikan kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan jangan lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash [28]: 77)
Islam tidak mengajarkan penolakan terhadap dunia, tapi mengatur agar dunia tidak mendominasi hati.
Kebijaksanaan Hidup: Memilih Tidak Terlalu Banyak dan Tidak Terlalu Sedikit
Jalan tengah juga berarti kemampuan menakar. Terlalu banyak berpikir bisa membuat cemas, terlalu sedikit berpikir bisa membuat ceroboh. Terlalu keras bisa melukai, terlalu lembut bisa diabaikan.
Maka, seni hidup adalah seni menimbang. Ibnu Miskawaih menyebut hal ini sebagai mīzān an-nafs — timbangan batin yang menilai setiap tindakan berdasarkan akal dan nurani.
الْعَقْلُ مِيزَانُ الْخُلُقِ، فَمَنْ أَصْلَحَهُ اسْتَقَامَ فِعْلُهُ
“Akal adalah timbangan akhlak. Siapa yang menatanya, akan lurus pula perbuatannya.”
Dalam dunia yang gemar membandingkan, menilai, dan menekan, jalan tengah justru menyelamatkan manusia dari kebingungan moral. Ia menjadi jangkar yang membuat kita berdiri tegak di tengah arus deras perubahan.
Menjaga Jalan Tengah: Tugas Harian Setiap Jiwa
Keseimbangan bukan sesuatu yang dicapai sekali lalu selesai. Ia seperti napas: harus terus dijaga.
Kita bisa mulai dengan langkah kecil: menyeimbangkan waktu bekerja dan berdoa, memberi perhatian pada orang lain tanpa melupakan diri sendiri, menahan lidah sebelum marah, dan belajar mendengar sebelum menilai.
Dalam hal ini, ajaran Rasulullah ﷺ menjadi panduan abadi:
خَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا
“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.” (HR. Baihaqi)
Hidup yang baik bukanlah hidup tanpa gejolak, tetapi hidup yang tahu kapan harus diam, kapan harus bertindak, dan kapan harus menyerahkan hasil kepada Allah.
Penutup: Jalan Tengah, Jalan Pulang
Hidup di zaman ekstrem memang menantang. Tapi jalan tengah tidak pernah membosankan. Ia adalah ruang tenang di antara dua badai, tempat kita bisa bernapas dan menemukan kembali arah.
Ketika manusia mampu menjaga keseimbangannya, ia tidak lagi mudah goyah oleh pujian atau kritik, oleh dunia atau ketakutan. Ia menjadi kokoh karena berpijak di tengah — di titik paling manusiawi dan paling spiritual sekaligus.
Ibnu Miskawaih menutup ajarannya dengan kalimat yang patut direnungkan:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقَ الْوَسَطِ نَجَا
“Barang siapa menempuh jalan tengah, maka ia akan selamat.”
Jalan tengah memang tidak gemerlap, tapi ia menyelamatkan. Dan mungkin, di situlah letak rahasia kebahagiaan: berjalan perlahan, tapi tidak tersesat.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
