Khazanah
Beranda » Berita » Puasa: Menyepi di Tengah Riuh Nafsu Dunia

Puasa: Menyepi di Tengah Riuh Nafsu Dunia

Seorang pria duduk merenung di padang pasir senja, simbol makna puasa dan ketenangan jiwa.
Lukisan realis tentang ketenangan spiritual di tengah hiruk-pikuk kehidupan; simbol refleksi dan kedekatan dengan Tuhan.

Surau.co. Puasa menyepi di tengah riuh nafsu dunia – Dalam Minhāj al-Ṭālibīn, Imam Yahya ibn Sharaf al-Nawawi tidak sekadar memaparkan hukum-hukum fikih secara kaku. Ia justru menyelipkan ruh kesucian di balik setiap amalan. Bab tentang ṣawm (puasa) dalam kitab ini terasa istimewa, sebab bukan hanya menjelaskan syarat dan rukunnya, melainkan juga mengajak manusia menyepi di tengah riuhnya dunia.

Bagi Imam al-Nawawi, puasa tidak berhenti pada lapar dan haus. Lebih dari itu, ia menjadi latihan untuk menundukkan nafsu dan menyucikan jiwa. Di era modern yang sarat ambisi, konsumsi, dan keinginan tanpa batas, makna puasa justru makin relevan. Ia hadir sebagai bentuk perlawanan halus terhadap kegaduhan batin dan kelelahan hidup yang kerap tidak kita sadari.

Menahan Diri di Tengah Godaan yang Tak Pernah Usai

Imam al-Nawawi membuka pembahasan puasa dengan kalimat singkat namun penuh makna:

وَالصِّيَامُ هُوَ الإِمْسَاكُ عَنْ شَهْوَةِ الْبَطْنِ وَالْفَرْجِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ مَعَ النِّيَّةِ
“Puasa adalah menahan diri dari keinginan perut dan syahwat kemaluan, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, disertai niat.”

Menariknya, Imam al-Nawawi tidak memulai dengan kata lapar atau haus, tetapi dengan menahan diri. Artinya, puasa adalah latihan kesadaran. Ia menegaskan bahwa kebahagiaan sejati bukan soal memiliki banyak hal, melainkan soal kemampuan menahan dan memilih.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam keseharian, kita kerap terjebak pada nafsu yang tak kasat mata: keinginan untuk selalu didengar, untuk menang, atau untuk memiliki lebih dari orang lain. Padahal, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ
“Puasa adalah perisai.” (HR. Bukhari & Muslim)

Puasa menjadi perisai dari amarah, keserakahan, dan kebohongan diri. Jadi, puasa sejati bukan hanya menahan lapar, melainkan juga menahan diri agar tidak berubah menjadi makhluk yang rakus dan gelisah.

Kesunyian yang Menghidupkan

Saat seseorang berpuasa, ia memasuki ruang sunyi yang jarang dikunjungi banyak orang. Di ruang itu, ia mulai mengenali dirinya sendiri. Imam al-Nawawi menulis dalam Minhāj al-Ṭālibīn:

وَفَرْضُ الصِّيَامِ شَهْرُ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَالِغٍ عَاقِلٍ قَادِرٍ
“Puasa Ramadan diwajibkan atas setiap Muslim yang baligh, berakal, dan mampu.”

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Kata mampu (qādir) di sini tidak hanya berarti kuat secara fisik, tetapi juga matang secara spiritual. Artinya, puasa menuntut kesiapan hati untuk menahan diri. Banyak orang tampak kuat secara jasmani, tetapi rapuh secara ruhani: mereka sanggup menahan lapar, namun tidak sanggup menahan amarah; sanggup menolak makanan, tetapi tidak sanggup menolak kesombongan.

Karena itu, puasa menyepi di tengah riuh nafsu dunia melatih manusia untuk tenang tanpa kehilangan arah. Ia menjadi bentuk spiritual detox yang menghidupkan kembali kepekaan hati. Saat orang lain sibuk mengejar hal-hal besar, orang berpuasa justru menemukan kebesaran dalam hal-hal kecil: seteguk air, sepotong kurma, dan secuil rasa syukur yang menenangkan.

Puasa dan Kesadaran Sosial

Selanjutnya, Imam al-Nawawi menulis:

وَيُسْتَحَبُّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ وَتَأْخِيرُ السُّحُورِ
“Disunnahkan menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.”

Sunnah ini terlihat sederhana, tetapi menyimpan hikmah mendalam. Islam, melalui ajaran ini, menyeimbangkan batas dan kasih sayang. Menyegerakan berbuka bukan hanya soal waktu, tetapi pengakuan bahwa manusia memiliki keterbatasan — dan bahwa Allah mencintai keseimbangan, bukan penderitaan.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Selain itu, momen berbuka mengandung nilai sosial yang kuat. Ketika semua orang duduk di meja yang sama, status sosial seolah lenyap. Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin; semua merasakan lapar yang sama, dan mengucap syukur yang sama pula.

Dengan demikian, puasa menumbuhkan empati. Ia mengajari manusia untuk merasakan, bukan sekadar mengetahui. Seseorang yang benar-benar berpuasa tidak akan tega melihat saudaranya lapar, sebab ia tahu bagaimana perihnya menahan rasa — baik di perut maupun di hati.

Dari Lapar Menuju Pencerahan

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa Ramadan dengan iman dan penuh harapan (akan pahala), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim)

Imam al-Nawawi menafsirkan hadis ini sebagai kabar gembira bagi jiwa yang ikhlas. Puasa sejati bukan tentang seberapa kuat seseorang menahan lapar, tetapi seberapa dalam ia menumbuhkan iman dan keikhlasan dalam hatinya.

Dalam pandangan spiritual, rasa lapar bukanlah hukuman, melainkan sapaan lembut dari Tuhan. Ia menundukkan tubuh agar hati bisa berbicara.
Para ulama pun berkata:

إِذَا جَاعَ الْبَطْنُ شَبِعَ الْقَلْبُ
“Ketika perut lapar, hati menjadi kenyang.”

Keseimbangan itu indah: semakin sedikit yang masuk ke tubuh, semakin banyak yang tumbuh di dalam jiwa.

Menemukan Ketenangan di Tengah Keriuhan Dunia

Kini, di tengah dunia yang bising dan serba cepat, puasa tampak seperti anomali. Ia mengajak manusia untuk memperlambat langkah agar bisa kembali sadar. Orang yang berpuasa tidak sekadar menahan diri dari makanan, tetapi juga dari keinginan untuk selalu cepat, selalu menang, dan selalu memiliki.

Imam al-Nawawi menutup pembahasan puasa dengan pesan lembut:

وَإِذَا أَفْطَرَ فَعَلَيْهِ بِالدُّعَاءِ فَإِنَّهُ مَوْضِعُ إِجَابَةٍ
“Apabila berbuka, hendaklah berdoa, karena saat itu adalah waktu yang mustajab.”

Berbuka menjadi simbol perjalanan pulang — dari lapar menuju syukur, dari hampa menuju penuh, dari dunia menuju Tuhan. Dalam doa berbuka, ada tangisan kecil yang mungkin tak terdengar, namun langit mendengarnya: tangisan seorang hamba yang kembali menemukan makna sederhana dalam hidupnya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement