Menyelami Samudra Akal
Akal universal adalah lautan besar yang mengalir di seluruh ciptaan. Al-Kindī dalam Risāla fī al-Nafs menekankan bahwa akal bukan sekadar milik individu, tapi bagian dari kosmos yang lebih luas. Fenomena sehari-hari memperlihatkan kecenderungan manusia merasa bangga karena pengetahuan yang telah mereka kumpulkan. Padahal, mereka hanya memegang setetes kecil dari samudra akal yang sebenarnya membentang luas.
Menyadari keterbatasan diri dalam menimba ilmu membuat hati lebih lapang. Akal yang tercerahkan bukanlah sumber kesombongan, melainkan alat untuk menata langkah, menyeimbangkan nafsu, dan memaknai perjalanan hidup.
Akal sebagai Penuntun Jiwa
Al-Kindī menulis:
«العقل دليل النفس في مسيرتها»
“Akal adalah penuntun jiwa dalam perjalanannya.”
Fenomena sehari-hari: saat seseorang dihadapkan pada pilihan sulit, akal menjadi alat untuk menimbang akibat, menahan hawa nafsu, dan menentukan keputusan yang bijak. Akal tidak hanya menghitung untung-rugi, tetapi juga menjadi lampu bagi jiwa agar tidak tersesat di jalan fana.
Al-Qur’an pun menekankan pentingnya akal:
﴿قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾ (QS. Az-Zumar: 9)
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Menjadikan akal sebagai penuntun berarti mengasah kemampuan berpikir, merenung, dan memahami ciptaan Allah agar jiwa tetap terarah.
Menimba Secuil dari Lautan Besar
Al-Kindī menulis:
«الإنسان يأخذ من العقل ما استطاع من معرفة»
“Manusia menimba dari akal sebesar yang ia mampu untuk dipahami.”
Sesungguhnya, fenomena sehari-hari membuktikan bahwa seorang guru, ilmuwan, bahkan seorang pengkaji spiritual, pada hakikatnya hanya mengambil sebagian kecil dari lautan akal universal. Oleh sebab itu, kesadaran ini selanjutnya menumbuhkan kerendahan hati dalam diri mereka, mengingat tidak ada manusia satu pun yang bisa menguasai seluruh ilmu.
Hadits Nabi Muhammad SAW mengingatkan agar manusia terus belajar:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «اطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ»
“Carilah ilmu dari buaian hingga liang lahat.”
Menerima keterbatasan membebaskan kehidupan jiwa. Jiwa tidak lagi membiarkan rasa ingin menguasai hal mustahil membebani perjalanannya.
Akal dan Nafsu: Harmoni atau Pertarungan
Al-Kindī menulis:
«العقل إذا حكم النفس أعطاها هدى، وإذا غفل عنها ضلت»
“Jika akal memimpin jiwa, ia memberi petunjuk; jika lalai, jiwa tersesat.”
Fenomena sehari-hari: banyak konflik batin muncul karena manusia terlalu mengikuti nafsu. Akal yang sadar akan hakikatnya mampu menyeimbangkan dorongan hati dan keinginan tubuh. Dengan begitu, hidup menjadi harmoni antara keinginan, pemikiran, dan tindakan.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya pengendalian diri:
﴿وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ﴾ (QS. Al-An’am: 116)
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
Keseimbangan akal dan nafsu menjadi kunci agar manusia tidak hanyut dalam dunia yang fana.
Refleksi: Menyelami Ilmu dan Kehidupan
Al-Kindī menulis:
«التفكر في العقل والكون ينير النفس»
“Refleksi terhadap akal dan alam mencerahkan jiwa.”
Fenomena sehari-hari: orang yang merenungkan pengalaman, alam sekitar, dan dirinya sendiri lebih mampu menghadapi kesulitan dengan bijak. Jiwa yang terdidik oleh pemikiran dan kesadaran akal tidak mudah goyah oleh ujian hidup.
Hadits Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «التفكر عبادة»
“Renungan adalah ibadah.”
Refleksi bukan hanya merenung untuk diri sendiri, tetapi juga mengaitkan setiap pengalaman dengan hikmah dan pelajaran hidup, sehingga jiwa tetap tercerahkan.
Akhir Kata: Hanya Bisa Menimba Secuil
Akal universal adalah samudra tak bertepi, dan manusia hanyalah penimba secuil darinya. Al-Kindī menekankan agar kita terus belajar, merenung, dan menjaga keseimbangan antara akal, nafsu, dan tubuh. Fenomena sehari-hari menunjukkan, mereka yang memahami batas kemampuannya lebih rendah hati, lebih damai, dan lebih bersyukur.
Menjadi manusia berarti sadar bahwa hidup ini sementara, ilmu yang dimiliki terbatas, dan akal harus terus dijaga agar bisa menuntun jiwa menuju kebaikan. Lautan besar akal memang luas, tapi secuil yang kita ambil jika dimanfaatkan dengan bijak cukup menerangi perjalanan jiwa.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
