Khazanah
Beranda » Berita » Mengenal Diri Sebelum Menyalahkan Dunia: Pelajaran dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Mengenal Diri Sebelum Menyalahkan Dunia: Pelajaran dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Refleksi diri di depan cermin sebagai simbol mengenal diri sebelum menyalahkan dunia
Cermin melambangkan introspeksi; dunia yang kabur menggambarkan bahwa persepsi kita terhadap dunia ditentukan oleh kejernihan hati.

Surau.co. Hidup sering kali membuat kita ingin menunjuk ke luar. Ketika gagal, kita menyalahkan keadaan. Saat tersakiti, kita menuding orang lain. Ketika kecewa, kita mencari kambing hitam di luar diri. Namun, dalam kebijaksanaan para filsuf dan ulama klasik, ada pesan yang berulang: sebelum menilai dunia, kenalilah dirimu terlebih dahulu.

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq (Penyempurnaan Akhlak), Ibnu Miskawaih—seorang filsuf Muslim abad ke-10 yang juga dikenal sebagai bapak etika Islam—mengajarkan bahwa sumber kebaikan dan keburukan manusia bukan pada keadaan, melainkan pada jiwa. Dunia, kata beliau, hanyalah cermin yang memantulkan isi batin manusia.

Maka, sebelum mengeluh tentang kerasnya hidup, mungkin kita perlu menengok ke dalam hati. Sebab dunia tidak selalu yang jahat; sering kali, kekeruhan itu berasal dari dalam diri kita sendiri.

Kembali ke Diri: Jalan Awal dari Segala Perbaikan

Ibnu Miskawaih memulai Tahdzīb al-Akhlāq dengan pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki tiga kekuatan utama dalam jiwanya:

قُوَّةُ الشَّهْوَةِ وَقُوَّةُ الْغَضَبِ وَقُوَّةُ النُّطْقِ
“Kekuatan syahwat, kekuatan amarah, dan kekuatan berpikir.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dari tiga kekuatan inilah lahir perilaku manusia. Jika akal (النُّطْق) mampu menuntun dua kekuatan lainnya, maka lahirlah akhlak mulia. Namun jika syahwat dan amarah yang menguasai, maka manusia jatuh dalam keburukan.

Dengan kata lain, keseimbangan hidup berawal dari kemampuan mengenal dan mengelola diri. Dunia tidak bisa kita ubah sepenuhnya, tapi diri sendiri bisa.

Al-Qur’an pun menegaskan hal yang sama:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)

Ayat ini mengajarkan bahwa perubahan sejati bukan dimulai dari protes terhadap dunia, melainkan dari introspeksi. Orang yang mengenal dirinya dengan jujur akan lebih mudah menerima takdir, memperbaiki sikap, dan hidup lebih damai.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Cermin yang Tak Pernah Retak: Dunia sebagai Refleksi Jiwa

Bagi Ibnu Miskawaih, dunia adalah ladang latihan akhlak. Setiap kejadian di luar diri hanyalah ujian untuk menyingkap siapa diri kita sebenarnya. Beliau menulis:

إِنَّ الدُّنْيَا مَدْرَسَةُ النُّفُوسِ وَمِحْكُ الْأَخْلَاقِ
“Dunia adalah sekolah bagi jiwa dan batu ujian bagi akhlak.”

Artinya, musibah, kritik, dan kesulitan bukan sekadar cobaan, tetapi cermin yang memantulkan kelemahan atau kekuatan moral kita. Jika kita mudah marah, mungkin bukan karena orang lain yang menyebalkan, tetapi karena jiwa kita belum terlatih.

Dalam pandangan ini, menyalahkan dunia sama dengan marah pada cermin yang menampilkan wajah kita sendiri. Dunia, seberapa pun kerasnya, tetaplah arena pendidikan.

Maka, orang bijak akan memandang setiap kejadian sebagai peluang untuk mengenal diri lebih dalam.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Mengenal Diri Lewat Tiga Lapisan Jiwa

Ibnu Miskawaih membagi manusia berdasarkan dominasi jiwanya:

  1. Jiwa Rasional (النَّاطِقَة) – yang berpikir dan mencari kebenaran.
  2. Jiwa Ghadabiyah (الغَضَبِيَّة) – yang mengandung sifat marah dan ambisi.
  3. Jiwa Syahwaniyah (الشَّهْوَانِيَّة) – yang menginginkan kenikmatan dan kesenangan.

Ketika seseorang mengenal bagian mana yang dominan dalam dirinya, ia bisa mengendalikannya. Misalnya, jika seseorang mudah tersinggung, berarti bagian ghadabiyah terlalu kuat. Ia perlu menyeimbangkannya dengan akal dan kesabaran.

Ibnu Miskawaih menulis:

إِذَا عَرَفَ الإِنْسَانُ نَفْسَهُ، عَرَفَ رَبَّهُ
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

Ungkapan ini mengingatkan bahwa mengenal diri bukan sekadar soal karakter, tetapi jalan menuju pengenalan spiritual. Dengan memahami jiwa, manusia belajar menundukkan ego dan mendekat kepada Sang Pencipta.

Mengapa Kita Sering Menyalahkan Dunia

Menyalahkan dunia adalah reaksi alami ketika manusia tidak siap menghadapi ketidaksempurnaan. Padahal, kesempurnaan adalah milik Allah semata. Dunia tidak dirancang untuk membuat kita nyaman, tapi untuk mendewasakan kita.

Ketika kita kecewa, yang sebenarnya terluka adalah ekspektasi. Ketika kita marah, yang terusik adalah ego. Dan ketika kita iri, yang rapuh adalah keimanan.

Ibnu Miskawaih menulis dengan halus:

الَّذِي يَشْكُو الدُّنْيَا، إِنَّمَا يَشْكُو نَفْسَهُ
“Orang yang mengeluh tentang dunia, sebenarnya sedang mengeluh tentang dirinya sendiri.”

Kalimat ini begitu tajam namun lembut. Ia tidak menghakimi, tetapi mengajak kita bercermin. Dunia tak pernah salah; hanya saja, kita sering lupa belajar darinya.

Latihan Akhlak: Mengubah Pandangan Menjadi Ketenangan

Menurut Ibnu Miskawaih, memperbaiki akhlak tidak cukup dengan pengetahuan. Ia perlu latihan yang terus-menerus, seperti melatih otot. Sabar, jujur, dan rendah hati tidak muncul seketika; semuanya hasil dari pembiasaan dan pengawasan diri.

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, beliau menulis:

إِنَّ الأَخْلَاقَ تُكْتَسَبُ بِالتَّكْرَارِ وَالْمُجَاهَدَةِ
“Akhlak yang baik diperoleh melalui kebiasaan dan perjuangan.”

Itulah sebabnya, mengenal diri menjadi langkah pertama. Tanpa mengetahui kelemahan diri, kita tak tahu apa yang harus dilatih. Orang yang sadar bahwa dirinya mudah iri, misalnya, bisa mulai melatih syukur dan menerima takdir. Dengan cara ini, perubahan tidak lagi dipaksakan dari luar, tapi tumbuh dari dalam.

Dunia yang Kita Lihat, Hasil dari Jiwa yang Kita Bawa

Sikap seseorang terhadap dunia sebenarnya cermin dari kondisi batinnya. Orang yang jiwanya lapang akan melihat dunia dengan keindahan. Sebaliknya, orang yang hatinya sempit akan melihat dunia sebagai penjara.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa kualitas hidup bukan diukur dari keadaan luar, tetapi dari keadaan hati. Jika kita merasa dunia tak adil, barangkali bukan karena dunia berubah, tetapi karena hati kita sedang kehilangan arah. Orang yang mengenal dirinya akan belajar menerima, bukan menyerah; memperbaiki, bukan menyalahkan.

Menemukan Ketenangan dalam Pengendalian Diri

Dalam ajaran Tahdzīb al-Akhlāq, kebahagiaan sejati tidak datang dari banyaknya harta, pangkat, atau pujian, tetapi dari kemampuan menguasai diri.

Ibnu Miskawaih menulis:

السَّعَادَةُ فِي تَزْكِيَةِ النَّفْسِ وَتَهْذِيبِ الأَخْلَاقِ
“Kebahagiaan terletak pada penyucian jiwa dan penyempurnaan akhlak.”

Inilah yang sering kita lupakan dalam dunia modern. Kita sibuk memperbaiki hal-hal di luar, tapi lupa menenangkan yang di dalam. Kita sibuk merancang masa depan, tapi jarang menata hati.

Padahal, seseorang tidak bisa hidup damai jika jiwanya belum damai. Dunia mungkin tetap berisik, tapi hati yang tenang akan selalu menemukan jalan.

Penutup: Pulang ke Dalam Diri

Hidup akan selalu menghadirkan tantangan: orang yang sulit, keadaan yang tak sesuai harapan, rencana yang gagal. Tapi semua itu bukan hukuman; itu adalah undangan untuk kembali mengenal diri.

Mengetahui siapa diri kita, memahami kelemahan, dan menerima keterbatasan adalah awal dari kebijaksanaan. Dunia tak perlu selalu kita ubah; cukup hati kita yang dibersihkan.

Ibnu Miskawaih dalam tulisannya:

مَنْ أَصْلَحَ نَفْسَهُ، أَصْلَحَ اللَّهُ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa memperbaiki dirinya, Allah akan memperbaiki untuknya dunia.”

Dan bukankah itu yang kita cari selama ini? Dunia yang damai, hati yang tenteram, hidup yang bermakna. Semuanya berawal bukan dari menuding dunia, tapi dari menyapa jiwa kita sendiri.

*Gewin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement