Cahaya Ilmu untuk Jiwa yang Tenang
Ilmu itu cahaya, biar jiwa kita tidak gelap-gelapan. Al-Kindī dalam Risāla fī al-Nafs menekankan bahwa akal dan ilmu adalah obor yang menuntun jiwa dalam menjalani kehidupan. Fenomena sehari-hari menunjukkan, orang yang menuntut ilmu dan merenungi setiap pengetahuan cenderung lebih sabar, bijaksana, dan damai. Sebaliknya, jiwa yang dibiarkan kosong, tanpa pembelajaran dan refleksi, sering tersesat oleh hawa nafsu dan keserakahan.
Jiwa yang tercerahkan oleh ilmu mampu mengendalikan tubuh dan nafsu, serta menghadapi cobaan hidup dengan penuh kesadaran. Al-Kindī menyatakan, manusia yang tidak mengasah akal bagaikan malam tanpa cahaya, bingung menentukan arah dan tujuan hidupnya.
Akal Sebagai Lentera Jiwa
Al-Kindī menulis:
«العقل نور النفس الذي يهديها في الظلمات»
“Akal adalah cahaya jiwa yang menuntunnya di kegelapan.”
Fenomena sehari-hari dengan jelas memperlihatkan hasil berbeda pada mereka yang sering merenung sebelum bertindak. Oleh karena itu, keputusan yang berdasarkan pertimbangan akal cenderung menghasilkan keselamatan dan manfaat yang lebih besar. Untuk mengilustrasikannya, bayangkan seorang petani yang mengamati cuaca sebelum menanam; begitulah cara akal membantu jiwa agar dapat menentukan langkah yang benar.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya akal dan refleksi:
﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ﴾ (QS. Muhammad: 24)
“Apakah mereka tidak memperhatikan dan merenungkan Al-Qur’an?”
Ayat ini menekankan bahwa memahami, merenungi, dan belajar adalah sarana cahaya bagi jiwa agar tidak tersesat.
Hubungan Ilmu dan Jiwa yang Sehat
Al-Kindī menulis:
«العلم يغذي النفس كما يغذي الطعام الجسد»
“Ilmu memberi nutrisi bagi jiwa sebagaimana makanan memberi tenaga bagi tubuh.”
Fenomena sehari-hari: seseorang yang membaca, belajar, atau mendengar nasihat baik, hatinya lebih tenang, emosinya stabil, dan perilakunya bijak. Jiwa yang tercerahkan ilmu mampu menghadapi kesulitan dengan lapang dada, dan tidak mudah putus asa.
Hadits Nabi Muhammad SAW menyatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”
Kewajiban menuntut ilmu bukan sekadar formalitas, tetapi sarana menyinari jiwa agar tetap teguh menghadapi berbagai cobaan hidup.
Ilmu Menjadi Penuntun Jalan Hidup
Al-Kindī menulis:
«من عاش بدون علم كان قلبه كالغابة الضائعة»
“Orang yang hidup tanpa ilmu, hatinya bagaikan hutan yang tersesat.”
Fenomena sehari-hari: orang yang mengabaikan ilmu sering melakukan kesalahan berulang, mudah marah, atau terbawa arus lingkungan. Ilmu menuntun jiwa untuk mengenali batas diri, memahami hubungan dengan orang lain, dan mengatur diri dalam masyarakat.
Al-Qur’an menegaskan:
﴿وَقُل رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾ (QS. Thaha: 114)
“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’”
Permintaan untuk bertambah ilmu menunjukkan bahwa pembelajaran dan refleksi harus menjadi bagian dari hidup agar jiwa tetap bercahaya.
Mengasah Jiwa Lewat Ilmu Praktis
Al-Kindī menulis:
«التفكر والعمل بالعلم ينقي النفس ويهذبها»
“Berpikir dan bertindak berdasarkan ilmu memurnikan dan mendidik jiwa.”
Fenomena sehari-hari: orang yang belajar lalu mengamalkan pengetahuan lebih dihargai dan dicintai masyarakat. Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan lampu yang belum dinyalakan; potensinya ada, tetapi tidak memberi manfaat bagi diri maupun orang lain.
Hadits Nabi Muhammad SAW mengingatkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «خيركم من تعلم القرآن وعلمه»
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Ini menekankan bahwa ilmu harus disinari dengan pengamalan agar jiwa tetap hidup, bersih, dan mampu menghadapi kegelapan dunia.
Kesimpulan: Jiwa Terang, Hidup Bermakna
Ilmu itu cahaya, biar jiwa kita tidak gelap-gelapan. Al-Kindī menegaskan, akal dan ilmu menjadi obor yang menuntun jiwa dalam menghadapi kehidupan dan kematian. Fenomena sehari-hari menunjukkan bahwa manusia yang mengasah akal, belajar, dan mengamalkan ilmu lebih mampu menenangkan jiwa, mengelola nafsu, dan membangun hubungan harmonis dengan sesama.
Dengan menuntut ilmu dan merenungkan setiap pelajaran, kita memberi cahaya pada jiwa. Cahaya itu menjadi penuntun jalan, menghadirkan keseimbangan antara akal, nafsu, dan tubuh. Jiwa yang bercahaya tidak mudah tersesat, tetap teguh dalam kebaikan, dan siap menghadapi perjalanan hidup maupun kematian.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
