Khazanah
Beranda » Berita » Akal Itu Kursi Tertinggi, Tapi Jangan Jadi Sombong

Akal Itu Kursi Tertinggi, Tapi Jangan Jadi Sombong

Ilustrasi al-Kindī menggambarkan akal sebagai kursi tertinggi dalam jiwa manusia.
Ilustrasi filosofis tentang akal sebagai kursi tertinggi dalam jiwa manusia menurut al-Kindī, menekankan kerendahan hati dan kesadaran diri.

Akal Sebagai Kursi Tertinggi Jiwa

Akal itu kursi tertinggi, tapi jangan jadi sombong. Al-Kindī menekankan dalam Risāla fī al-Nafs bahwa akal adalah perangkat tertinggi dalam jiwa manusia yang membedakan kita dari makhluk lain. Ia mampu menimbang, memutuskan, dan menuntun setiap langkah agar selaras dengan kebaikan. Fenomena sehari-hari menunjukkan: seorang guru yang berpikir bijak, seorang dokter yang menimbang keputusan medis, atau seorang pemimpin yang mendengar masukan dengan arif—semua lahir dari akal yang sadar dan terarah.

Ketika akal menjadi pemimpin yang rendah hati, ia menuntun jiwa dan tubuh ke arah kebaikan. Namun, akal yang sombong dan terpisah dari hati nurani bisa menjerumuskan manusia ke jalan kesalahan.

Akal dan Jiwa Berjalan Bersama

Al-Kindī menulis:
«العقل هو أعلى مقعد النفس، لكنه بلا تواضع يضل»
“Akal adalah kursi tertinggi jiwa, tapi tanpa kerendahan hati ia akan tersesat.”

Kehidupan sehari-hari memperlihatkan hal ini: ketika seseorang terlalu percaya diri dengan pikirannya sendiri, ia sering gagal memahami orang lain atau melewatkan pelajaran penting. Sebaliknya, akal yang rendah hati mendengarkan intuisi jiwa, menimbang pengalaman, dan menghasilkan keputusan bijak.

Al-Qur’an menegaskan pentingnya keseimbangan akal dan hati:
﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ (QS. Al-Hashr: 19)
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah membuat mereka lupa pada diri mereka sendiri.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Akal yang sombong membuat manusia lupa batasan diri, sementara akal yang sadar mampu memelihara jiwa dan mengarahkan tubuh ke tindakan yang benar.

Menyalurkan Akal Melalui Indera dan Nafsu

Al-Kindī menulis:
«اعمل العقل مع الحواس والهوى، فتثمر أعمال صالحة»
“Satukan akal dengan indera dan nafsu, sehingga melahirkan amal yang baik.”

Fenomena sehari-hari: ketika seseorang melihat teman yang kesulitan, akal menilai cara menolong terbaik, indera membaca situasi, dan nafsu mendorong empati. Ketiganya bersinergi, menghasilkan tindakan nyata. Tanpa akal, nafsu bisa impulsif dan membahayakan; tanpa nafsu, akal bisa dingin dan mekanis. Kombinasi yang tepat memunculkan keseimbangan.

Hadits Nabi Muhammad SAW mengingatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «مَنْ صَفَا نَفْسَهُ صَفَا لَهُ عَمَلُهُ»
“Barang siapa membersihkan jiwanya, amalnya menjadi bersih.”

Ini menegaskan bahwa akal yang tinggi harus dipandu oleh jiwa yang bersih agar tindakan tidak tersesat.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Akal Menjadi Penunjuk Jalan

Akal tidak hanya kursi tertinggi, tetapi juga penunjuk jalan. Al-Kindī menulis:
«العقل مرشد النفس، به تعرف الطريق إلى الفضيلة»
“Akal adalah penuntun jiwa; dengannya, jalan menuju kebajikan terlihat jelas.”

Fenomena sehari-hari terlihat ketika kita menghadapi masalah: akal menimbang alternatif, memprediksi konsekuensi, dan memilih langkah terbaik. Contohnya, seorang pelajar yang menimbang waktu belajar dan istirahat agar tetap sehat, atau seorang pemimpin yang menimbang kepentingan bersama sebelum memutuskan.

Al-Qur’an menegaskan pentingnya bimbingan akal:
﴿وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا (QS. Thaha: 114)
“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.’”

Dengan akal yang diarahkan dan hati yang bersih, manusia mampu menyalurkan dorongan jiwa secara bijak, menghasilkan keputusan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Mengelola Kesombongan Akal

Al-Kindī menekankan pentingnya kerendahan hati dalam menggunakan akal. Ia menulis:
«العقل بلا تواضع كالسفينة بلا دفة»
“Akal tanpa kerendahan seperti kapal tanpa kemudi.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Fenomena sehari-hari terlihat: ketika seseorang menganggap pikirannya paling benar, ia mudah terjebak kesalahan atau konflik. Sebaliknya, akal yang sadar akan keterbatasan diri mampu belajar, mendengar, dan beradaptasi. Kesombongan hanya menutup peluang, sementara kerendahan membuka jalan bagi pertumbuhan dan kebijaksanaan.

Hadits Nabi SAW mengingatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «أَلاَ إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِمَا أَدْرَكُوا رَسُولَ اللهِ أَعْلَمُهُمْ»
“Ketahuilah, yang paling dekat kepada Rasulullah adalah mereka yang paling tahu akan ilmu yang mereka dapatkan.”

Dengan mengelola kesombongan, akal tetap menjadi kursi tertinggi yang menuntun jiwa menuju kebajikan dan keseimbangan hidup.

Penutup: Akal Tinggi Tapi Tetap Rendah Hati

Akal itu kursi tertinggi, tapi jangan jadi sombong. Al-Kindī mengajarkan bahwa akal, ketika diarahkan dengan kerendahan hati, bersinergi dengan jiwa, nafsu, dan indera, menjadi pemandu utama kehidupan. Fenomena sehari-hari membuktikan bahwa manusia bijak adalah yang mampu menyeimbangkan kekuatan berpikir dengan kesadaran batin, mengubah dorongan jiwa menjadi tindakan yang bermanfaat, dan tetap rendah hati meski memiliki ilmu dan pengetahuan tinggi.

Dengan akal yang menjadi kursi tertinggi namun tetap rendah hati, manusia bisa menghadapi dunia dengan bijak, menata langkah, dan menjaga hubungan harmonis dengan diri sendiri, orang lain, dan Sang Pencipta.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungungagung 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement