Khazanah
Beranda » Berita » Shalat: Menegakkan Tiang, Bukan Sekadar Mengulang Gerakan

Shalat: Menegakkan Tiang, Bukan Sekadar Mengulang Gerakan

Seorang pria bersujud di bawah cahaya pagi, simbol kekhusyukan dan makna shalat sebagai tiang agama.
Lukisan realis tentang makna spiritual shalat: ketundukan, kesunyian, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Surau.co. Dalam Minhāj al-Ṭālibīn karya Imam Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, shalat ditempatkan sebagai ibadah pokok—tiang agama dan tanda hidupnya iman. Namun, Imam al-Nawawi tidak berhenti di tataran hukum semata. Di balik setiap pasal fiqh tentang rukun, syarat, dan waktu, tersirat ajakan lembut untuk memahami ruh shalat: bagaimana setiap gerakan menjadi bahasa jiwa, bukan sekadar rutinitas tubuh.

Shalat bukanlah sekadar kewajiban yang diulang lima kali sehari. Ia adalah panggilan kasih dari Allah kepada hamba-Nya yang sering lelah. Ketika dunia semakin riuh dan pikiran berserakan, shalat datang seperti panggilan lembut: “Tinggalkan sebentar, datanglah kepada-Ku.”

Ketika Panggilan Adzan Menjadi Suara yang Menenangkan

Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, panggilan adzan sering terdengar seperti suara latar yang terlewat. Padahal, setiap lafaznya adalah sapaan cinta. Imam al-Nawawi menulis dalam Minhāj al-Ṭālibīn:

وَالصَّلَاةُ فَرْضٌ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ فِي أَوْقَاتِهَا الْمَعْلُومَةِ
“Shalat wajib atas setiap orang mukallaf pada waktu-waktu yang telah ditentukan.”

Hukum ini bukan sekadar perintah yang kaku, tetapi undangan yang penuh perhatian. Allah tidak memanggil di sembarang waktu, melainkan di saat manusia paling membutuhkan hening: pagi yang sunyi, tengah hari yang sibuk, sore yang lelah, senja yang sendu, dan malam yang sunyi.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Shalat lima waktu seakan menjadi jeda bagi jiwa. Ia menata ulang arah hati yang kerap tersesat oleh ambisi dunia. Karena itu, bagi yang memahami, shalat bukanlah beban, melainkan rumah tempat pulang.

Gerakan yang Mengajarkan Kerendahan dan Ketundukan

Kadang manusia sulit menundukkan kepala di hadapan sesama, tapi di hadapan Allah, sujud menjadi sumber kekuatan. Dalam shalat, tidak ada pangkat, tidak ada gelar, tidak ada jarak. Semua manusia sejajar di sajadah yang sama.

Imam al-Nawawi menjelaskan:

وَأَرْكَانُ الصَّلَاةِ سِتَّةَ عَشَرَ: النِّيَّةُ، وَقِيَامٌ، وَتَكْبِيرَةُ الْإِحْرَامِ، وَقِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ…
“Rukun shalat ada enam belas: niat, berdiri, takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah…”

Setiap rukun adalah simbol perjalanan ruhani:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Niat menegaskan keikhlasan,

Berdiri adalah kesiapan menghadapi hidup,

Rukuk menandakan kerendahan,

Sujud menegaskan penyerahan total.

Shalat mengajarkan bahwa kekuatan sejati justru lahir dari ketundukan. Seorang yang terbiasa bersujud akan sulit menindas, karena ia tahu betapa indahnya rendah di hadapan Tuhan.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Shalat Sebagai Cermin dari Hati yang Hidup

Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّينِ، فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّينَ
“Shalat adalah tiang agama; barang siapa menegakkannya, maka ia telah menegakkan agama.” (HR. al-Baihaqi)

Imam al-Nawawi menjadikan shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi cerminan kehidupan seorang mukmin. Bila shalatnya tenang, hatinya pun tenteram. Bila shalatnya terburu-buru, hidupnya pun tak teratur.

Shalat bukan hanya soal waktu, tapi juga soal rasa hadir. Dalam Minhāj al-Ṭālibīn, beliau menulis:

وَيَجِبُ أَنْ يَطْمَئِنَّ فِي كُلِّ رُكْنٍ
“Wajib untuk tenang (thuma’ninah) pada setiap rukun.”

Thuma’ninah bukan hanya syarat sah, tetapi tanda cinta. Shalat tanpa ketenangan ibarat surat cinta yang ditulis tergesa. Sedangkan shalat dengan thuma’ninah adalah percakapan yang tenang antara hamba dan Tuhannya.

Fenomena Shalat Tanpa Rasa: Ketika Tubuh Beribadah, Hati Berjalan

Di zaman yang cepat ini, banyak orang “shalat” tapi tak benar-benar “bertemu.” Bibirnya membaca, tubuhnya bergerak, tapi hatinya tetap di urusan dunia. Imam al-Nawawi mengingatkan:

النِّيَّةُ مَوْضِعُهَا الْقَلْبُ، وَلَا تَصِحُّ بِاللِّسَانِ وَحْدَهُ
“Tempat niat adalah di hati; tidak sah hanya di lisan semata.”

Niat yang benar membuat shalat menjadi hidup. Tanpa niat, shalat hanyalah gerakan tanpa jiwa. Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 1–2)

Khusyuk bukan berarti tidak bergerak, tapi sadar akan siapa yang sedang dihadapi. Setiap rukuk dan sujud menjadi napas cinta. Setiap salam menjadi tanda pulang.

Menegakkan Shalat, Menata Kehidupan

Menegakkan shalat bukan berarti banyak berdiri di sajadah, melainkan menegakkan nilai-nilai shalat dalam kehidupan. Orang yang shalatnya benar akan lebih sabar, jujur, dan berempati. Sebab, ia tahu bahwa setelah Allāhu Akbar, semua urusan dunia mengecil.

Allah berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 45)

Imam al-Nawawi memahami ayat ini bukan sekadar larangan, tapi janji. Jika shalat dilakukan dengan benar, maka ia akan menjadi benteng moral. Karena sejatinya, shalat adalah pendidikan batin yang membentuk karakter.

Menutup Hari dengan Shalat, Menutup Lelah dengan Cinta

Di penghujung hari, shalat Isya’ menjadi jeda paling tenang. Saat tubuh lelah dan pikiran ruwet, sujud terasa seperti tempat paling aman di dunia. Itulah saat ketika hati bisa berkata jujur tanpa perlu suara.

Imam al-Nawawi memberi pesan tersirat lewat kitabnya: shalat adalah jalan pulang bagi hati yang tersesat. Ia bukan kewajiban yang memenjarakan, melainkan anugerah yang membebaskan.

Shalat sejati tidak berhenti di gerakan, tapi berlanjut dalam sikap hidup. Setelah salam terakhir, seseorang membawa keluar makna dari yang ia ucapkan: “Assalamu ‘alaikum” — semoga damai menyertai dunia di luar sana.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement