Khazanah
Beranda » Berita » Kesucian yang DiHakimi: Pelajaran dari Surat Maryam

Kesucian yang DiHakimi: Pelajaran dari Surat Maryam

Kesucian yang DiHakimi: Pelajaran dari Surat Maryam
Ilustrasi Kisah Maryam Binti Imran (Foto: istimewa)

SURAU.CO – Surat Maryam dalam Al-Qur’an memuat kisah yang menggugah hati dan sarat nilai kemanusiaan. Allah menunjukkan perjalanan hidup Maryam binti Imran sebagai teladan tentang bagaimana seorang wanita suci menghadapi pandangan dunia yang sempit dan tuduhan yang kejam, meskipun dirinya tak pernah melakukan dosa.

Sejak kecil, Maryam menjalani hidup dalam ibadah dan ketaatan. Ia tumbuh di lingkungan yang suci dan terjaga. Nabi Zakaria yang mengasuhnya menyaksikan sendiri keajaiban ketika Allah terus mengirimkan rezeki kepada Maryam tanpa sebab yang tampak. Ketika Nabi Zakaria bertanya dari mana semua makanan itu datang, Maryam menjawab dengan tenang, “Itu dari Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37).

Jawaban itu menunjukkan betapa kuatnya iman Maryam. Ia menaruh keyakinan penuh bahwa Allah adalah sebaik-baiknya Penolong. Namun, Allah juga menguji orang-orang yang paling Dia sayangi. Maryam pun menerima ujian besar yang mengubah jalan hidupnya.

Kabar yang Mengubah Segalanya

Allah mengutus malaikat Jibril untuk membawa kabar bahwa Maryam akan mengandung seorang anak laki-laki yang suci. Kabar itu mengejutkan Maryam. Ia menjaga kehormatannya dengan ketat dan belum pernah disentuh laki-laki mana pun. Dengan hati bergetar, ia berkata, “Bagaimana aku akan mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki dan aku bukan seorang pezina?” (QS. Maryam: 20).

Jibril menenangkan Maryam dan menjelaskan bahwa bagi Allah hal itu sangat mudah. Allah menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu, maka menciptakan Isa tanpa ayah tentu bukan hal yang mustahil. Maryam menerima kabar itu dengan kepasrahan penuh. Ia pun mengandung Nabi Isa.

Pentingnya Akhlak Mulia

Selama masa kehamilan, Maryam hidup dalam kesendirian. Ia menanggung beban batin yang luar biasa karena tahu masyarakat tidak akan percaya pada penjelasannya. Dalam pandangan manusia, tanpa suami, kehamilan adalah aib besar. Maryam menyadari bahwa siapa pun tidak akan mudah percaya bahwa anak itu adalah titipan langsung dari Tuhan.

Ujian di Tengah Kesendirian

Ketika tiba saatnya melahirkan, Maryam pergi ke tempat yang jauh dan bernaung di bawah pohon kurma. Dalam kesakitan yang hebat, ia hampir putus asa dan berkata, “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan.” (QS. Maryam: 23). Ucapannya menggambarkan betapa dalam luka dan ketakutannya.

Namun Allah segera menenangkan hatinya. Suara lembut dari bawah berkata agar ia tidak bersedih. Allah menumbuhkan mata air di perkebunan dan menggugurkan buah kurma yang segar dari pohon. Maryam pun memperoleh kekuatan baru untuk melahirkan dan merawat bayinya.

Setelah melahirkan, Maryam kembali ke kaumnya sambil menggendong bayinya. Saat orang-orang melihatnya, mereka langsung menuduhnya dengan kata-kata kejam. Mereka memandang dengan curiga dan mengucapkan fitnah tanpa berpikir panjang. Mereka tidak mencari kebenaran, melainkan hanya menilai dari apa yang tampak di mata mereka.

Kebenaran yang Akhirnya Terungkap

Maryam tidak menanggapi tuduhan itu dengan kata-kata. Ia menunjuk pada bayinya sebagai jawaban. Dengan izin Allah, bayi itu berbicara, “Sesungguhnya aku adalah hamba Allah. Dia memberiku kitab dan menjadikanku seorang nabi.” (QS. Maryam: 30).

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Kisah itu mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu langsung diterima. Dunia sering menilai dari permukaan dan menuduh tanpa bukti. Orang yang menjaga kesucian dan kejujuran sering menjadi sasaran fitnah. Namun, Allah selalu berdiri di pihak orang-orang yang sabar dan tulus.

Maryam membuktikan bahwa keteguhan iman bukan berarti hidup tanpa air mata. Ia menangis, merasa lemah, dan takut, namun ia tetap menggantungkan harapan hanya kepada Allah. Keteguhan hati menjadi contoh sejati bagi setiap mukmin.

Kisah ini sangat relevan dengan kehidupan sekarang. Banyak orang baik sering mendapat salah paham. Orang yang jujur ​​dianggap munafik, yang tulus dikira mencari pujian, dan yang menjaga diri justru dicap sombong. Dunia sering gagal memahami kesucian karena menilai dari luar, bukan dari hati.

Namun, seperti Maryam, siapa pun yang sabar dan berpegang pada kebenaran akan menerima pembelaan dari Allah. Ketika manusia menuduh dengan kata-kata, Allah membalas dengan bukti yang nyata.

Diam yang Menjadi Doa

Surat Maryam mengingatkan bahwa fitnah dan tuduhan bukanlah tanda kegagalan. Kadang-kadang, justru itulah jalan untuk meninggikan derajat. Allah tidak meminta kita menjelaskan semuanya kepada dunia, cukup menunjukkan kesetiaan kepada-Nya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Maryam memilih diam saat orang menuduhnya. Diamnya bukan kelemahan, tapi tanda keyakinan. Ia menyerahkan urusannya kepada Allah dan membiarkan kebenaran berbicara dengan caranya sendiri. Diam seperti itu menjadi bentuk doa yang paling kuat.

Kisah Maryam menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak menilai kesucian. Dunia bisa salah menilai, tapi Allah tidak pernah salah. Ia mengenal hati yang tulus, niat yang bersih, dan perjuangan yang ikhlas.

Oleh karena itu, jangan takut jika kebaikan disalahpahami. Jangan lemah ketika dunia tidak memahami ketulusan. Seperti Maryam, kita cukup percaya bahwa pembelaan sejati datang dari Tuhan.

Surat Maryam mengajarkan bahwa kesucian memang bisa dihakimi, tetapi kebenaran akan terkuak pada akhirnya. Allah akan selalu membuka jalan keadilan bagi mereka yang menjaga iman dan kejujuran. Ketika dunia salah menilai, biarkan waktu dan kehendak Allah yang membuktikan segalanya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement