Surau.co. Pasar selalu ramai, hidup, dan penuh warna. Namun di balik hiruk pikuknya, pasar juga menjadi tempat paling rawan — tempat di mana manusia beradu niat: apakah mencari rezeki dengan ridha Allah, atau mengejar keuntungan dengan menghalalkan segala cara.
Di sana kita bisa melihat dua wajah manusia. Ada yang bekerja keras dengan jujur, dan ada pula yang lihai menipu timbangan. Ada pedagang yang memulai hari dengan doa agar dagangannya berkah, namun ada juga yang hanya ingin dagangannya laku tanpa peduli halal-haram.
Namun sesungguhnya, sebagaimana diajarkan Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, pasar bukan semata tempat mencari uang. Lebih dari itu, pasar adalah ruang ibadah yang penuh doa — tempat di mana niat dan kejujuran diuji setiap hari.
Pasar, Cermin dari Hati Manusia
Abū Shujā‘ membuka bab mu‘āmalah dengan kalimat yang sederhana namun mendalam:
“والبيع جائز إذا كان برضا المتبايعين.”
“Jual beli sah apabila dilakukan dengan kerelaan antara kedua belah pihak.”
Satu kalimat itu sudah cukup untuk menjelaskan seluruh akhlak perdagangan.
Kejujuran menjadi ruh dari fiqh mu‘āmalah. Tidak ada keberkahan pada keuntungan yang lahir dari penipuan, tekanan, atau ketidakjujuran.
Kini, pasar tidak hanya berada di jalan atau lapangan. Ia hadir di layar ponsel, di balik etalase digital dan sistem pembayaran elektronik. Transaksi berpindah dari genggaman tangan ke sentuhan jari, dari tatap mata ke ruang chat. Meskipun bentuknya berubah, ruhnya tetap sama: jual beli hanya sah bila dilakukan dengan hati yang bersih dan rela.
Karena itu, siapa pun yang menipu — entah melalui timbangan atau deskripsi produk digital — sesungguhnya ia sedang merusak pasar, baik di dunia maupun di hadapan Allah.
Timbangan yang Menguji Jiwa
Abū Shujā‘ menulis lagi dengan penuh ketegasan:
“ويحرم الغش في البيع، ويجب البيان فيما فيه عيب.”
“Haram menipu dalam jual beli, dan wajib menjelaskan bila ada cacat pada barang.”
Prinsip ini menegaskan bahwa kejujuran bukan hanya etika dagang, tetapi juga ibadah.
Setiap kali seorang pedagang mengakui kekurangan barangnya, ia sedang menanam amal yang berat di timbangan akhirat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“من غش فليس مني.”
“Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Muslim)
Betapa seriusnya Islam menjaga kejujuran ekonomi.
Pasar yang penuh doa bukanlah pasar dengan pembeli terbanyak, tetapi pasar yang pedagangnya takut menipu karena ingin tetap dekat dengan Rasulullah di hari akhir.
Berkah yang Lahir dari Keikhlasan
Sering kali manusia sibuk mengejar keuntungan besar dan melupakan keberkahan. Padahal, berkah jauh lebih bernilai daripada nominal.
Berkah berarti sedikit tapi cukup, sederhana tapi tenang, dan halal yang menumbuhkan kebahagiaan di rumah.
Abū Shujā‘ mengingatkan:
“ويحرم بيع ما لا يملك، وما لا يقدر على تسليمه.”
“Haram menjual sesuatu yang bukan miliknya, atau sesuatu yang ia tidak mampu menyerahkannya.”
Kalimat itu terasa semakin relevan hari ini, di tengah derasnya bisnis digital.
Begitu banyak orang menjual barang yang belum dimiliki, atau berjanji mengirim sesuatu yang belum ada di tangannya.
Islam menegaskan bahwa setiap janji palsu dalam perdagangan adalah hutang moral di hadapan Allah.
Karena itu, dalam dunia yang semakin cepat dan instan, Abū Shujā‘ mengingatkan agar manusia tetap sabar. Rezeki tidak perlu dikejar dengan kebohongan, karena yang halal akan datang pada waktunya.
Yang penting bukan seberapa besar laba yang diperoleh, tetapi seberapa tenang hati saat menutup hari.
Doa yang Terselip di Antara Transaksi
Rasulullah ﷺ sendiri adalah teladan bagi para pedagang. Sebelum diutus sebagai rasul, beliau dikenal sebagai pedagang yang jujur dan terpercaya — Al-Amīn.
Beliau berdagang bukan hanya untuk memperoleh keuntungan, melainkan untuk menebar keberkahan.
“التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء.”
“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, orang-orang benar, dan para syahid.” (HR. Tirmidzi)
Inilah hakikat pasar yang penuh doa — tempat orang bekerja keras sambil menjaga lidah, timbangan, dan hati.
Setiap transaksi menjadi bentuk dzikir; setiap tawar-menawar diiringi senyum; dan setiap keuntungan disyukuri tanpa keserakahan.
Sayangnya, dalam pandangan banyak orang modern, pasar sering dianggap hanya sebagai ruang ekonomi. Padahal, bagi fiqh Abū Shujā‘, pasar adalah ruang moral dan spiritual — madrasah tempat manusia diuji kejujurannya lebih dari tempat ibadah mana pun.
Karena di masjid, kita mengingat Allah.
Namun di pasar, kita diuji: apakah kita masih mengingat-Nya?
Ketika Pasar Menjadi Madrasah Kehidupan
Bayangkan bila setiap pedagang, baik di pasar tradisional maupun toko daring, memegang ajaran Al-Ghāyah wa at-Taqrīb.
Tak akan ada kecurangan dalam timbangan, tak ada sumpah palsu, dan tak ada janji kirim yang diingkari.
Pasar pun akan berubah menjadi madrasah kehidupan.
Di sana, kejujuran diajarkan tanpa papan tulis, dan keberkahan diajarkan tanpa khutbah panjang.
Abū Shujā‘ menutup bagian mu‘āmalah-nya dengan nasihat indah:
“ويستحب التسامح في البيع والشراء، وترك المراء والخصومة.”
“Disunnahkan bersikap lapang dalam jual beli, serta meninggalkan perdebatan dan perselisihan.”
Fiqh, dengan demikian, bukan hanya membahas sah atau batalnya transaksi, tetapi juga adab yang menenangkan hati.
Terkadang, Allah tidak melihat harga barang yang kita jual, tetapi melihat seberapa lapang hati saat memberi potongan harga, atau memaafkan pembeli yang menawar terlalu rendah.
Penutup: Fiqh yang Menghidupkan Kehidupan
Al-Ghāyah wa at-Taqrīb bukan sekadar kitab hukum, melainkan kitab kemanusiaan.
Ia mengajarkan bahwa pasar bisa menjadi tempat dzikir — asalkan manusia tidak menjadikan uang sebagai tuhan.
Setiap transaksi selalu membuka dua jalan: satu menuju berkah, satu menuju dosa.
Karena itu, ketika seseorang berdagang dengan doa, bertransaksi dengan jujur, dan menutup hari dengan syukur, sesungguhnya ia sedang beribadah di tengah keramaian dunia.
Pasar yang penuh doa bukanlah pasar yang sepi dari suara, tetapi pasar yang ramai oleh keikhlasan.
Di sanalah Allah menurunkan keberkahan, karena hati manusia yang jujur lebih berharga daripada laba yang berlipat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
