Surau.co. Hari ini, kata “halal” sering kita dengar di mana-mana.
Restoran berlomba memasang label halal, pasar mengklaim dagangannya halal, bahkan bisnis pun mulai menempel sertifikat halal di setiap produknya. Tapi, pernahkah kita bertanya: apakah halal itu hanya soal daging yang disembelih dengan nama Allah, atau juga tentang hati yang ikhlas saat mencari rezeki?
Dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī menulis tentang makanan halal dan haram dengan cara yang sangat halus. Ia tidak hanya menjelaskan hukum, tapi juga menunjukkan adab hati seorang mukmin saat makan, minum, dan mencari rezeki.
Karena bagi beliau, halal bukan sekadar label, tapi cara hidup yang bersih dan penuh kesadaran.
Ketika Halal Menjadi Sekadar Stiker
Kita hidup di zaman ketika makanan halal mudah dicari, tapi rezeki halal sulit dijaga.
Orang lebih sibuk memastikan dagingnya disembelih sesuai syariat, tapi lupa memastikan apakah uang untuk membelinya benar-benar halal.
Abū Shujā‘ menulis:
“ويحل أكل الطيبات من الذبائح والثمار، ويحرم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به.”
“Halal memakan makanan yang baik dari hasil sembelihan dan tumbuhan, dan haram memakan bangkai, darah, daging babi, serta yang disembelih bukan atas nama Allah.”
Hukum ini tampak sederhana. Tapi jika kita renungi, kalimat “ما أهل لغير الله به” (yang disembelih bukan atas nama Allah) bukan hanya tentang mulut yang menyebut nama Tuhan — tapi tentang niat hati saat mencari dan menikmati rezeki.
Berapa banyak orang yang menyebut nama Allah saat makan, tapi lupa kepada-Nya saat menipu timbangan?
Berapa banyak yang berdoa sebelum makan, tapi tidak jujur saat menjual?
Makanan yang halal sejatinya bukan hanya bersih dari darah haram, tapi juga bersih dari niat yang kotor.
Rezeki yang Halal Membuat Hati Tenang
Rasulullah ﷺ bersabda:
“كل جسد نبت من سحت فالنار أولى به.”
“Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan haram, maka neraka lebih berhak atasnya.” (HR. Tirmidzi)
Kalimat ini terdengar keras, tapi sejatinya adalah bentuk kasih sayang Allah.
Karena makanan yang haram tidak hanya menodai tubuh, tapi menutup pintu doa dan mengeraskan hati.
Berapa banyak orang yang mengeluh doanya tidak dikabulkan, tapi tak pernah mengecek dari mana asal rezekinya?
Berapa banyak orang yang rajin beribadah, tapi hatinya gelisah — karena makanan di perutnya membawa keresahan.
Abū Shujā‘ mengajarkan bahwa mencari rezeki halal adalah ibadah besar yang sering diremehkan.
Ia menulis:
“ويحرم أكل المال بالباطل، كالغصب والسرقة والربا والرشوة.”
“Haram memakan harta dengan cara batil, seperti merampas, mencuri, riba, dan suap.”
Jadi, bahkan sebelum ayam disembelih, halal harus dimulai dari niat dan cara mendapatkan rezeki.
Sembelihan yang sah tidak akan berarti bila uangnya hasil korupsi, tipuan, atau penindasan.
Makanan Halal Menyuburkan Jiwa
Ada pepatah ulama: “Al-halāl yuthahhir al-qalb” — makanan halal menyucikan hati.
Sementara makanan haram, walau sedikit, bisa menumbuhkan benih keras kepala dan kebutaan batin.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, manusia sering lupa bahwa makanan bukan sekadar energi fisik, tapi juga makanan untuk ruh.
Karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda:
“إن الله طيب لا يقبل إلا طيبًا.”
“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
Bayangkan: Allah saja hanya mau menerima yang baik.
Maka pantas jika tubuh dan hati kita juga menolak ketenangan ketika yang masuk ke dalamnya tidak bersih.
Makan halal bukan hanya soal menghindari babi dan darah, tapi tentang menyantap dengan rasa syukur, dan menyisakan ruang dalam hati untuk Allah.
Ketika Perut Menjadi Tempat Ibadah
Abū Shujā‘ menulis lagi:
“ويكره الإسراف في الأكل، ويستحب الاقتصاد فيه، لقوله تعالى: (وكلوا واشربوا ولا تسرفوا).”
“Makruh berlebihan dalam makan, dan dianjurkan bersikap sederhana, sebagaimana firman Allah: ‘Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.’” (QS. Al-A‘rāf: 31)*
Ayat ini sederhana tapi menohok.
Di era di mana makanan berlimpah, kesederhanaan justru menjadi bentuk tertinggi dari kecerdasan spiritual.
Banyak orang berdoa agar rezekinya lancar, tapi lupa bahwa keberkahan bukan di banyaknya, melainkan di bersyukurnya.
Makan secukupnya, menikmati tanpa serakah, dan mengingat bahwa setiap suapan adalah amanah — itulah ibadah yang sering terlupa.
Mungkin itu sebabnya Rasulullah ﷺ hanya makan dengan tiga jari, duduk rendah, dan tidak pernah kenyang sepenuhnya.
Karena beliau tahu, perut yang penuh membuat mata tidur, tapi hati mati.
Halal Bukan Sekadar Label, Tapi Jalan Hidup
Halal adalah cara kita menghormati diri sendiri.
Makanan yang halal menumbuhkan jiwa yang lembut, menenangkan hati, dan mendekatkan kita pada doa yang mustajab.
Sebaliknya, makanan haram mengeraskan hati dan menjauhkan kita dari cahaya Allah.
Maka, tugas kita bukan hanya memastikan ayam disembelih dengan bismillah, tapi juga memastikan setiap rupiah yang kita belanjakan lahir dari kerja yang jujur dan penuh barakah.
Karena pada akhirnya, tubuh kita akan hancur, tapi apa yang kita makan akan menjadi saksi di hadapan Allah — apakah ia datang dari jalan halal atau tidak.
Penutup: Makan dengan Hati yang Suci
Al-Ghāyah wa at-Taqrīb tidak hanya mengajarkan fiqh tentang halal dan haram, tapi juga fiqh tentang kesadaran hidup.
Bahwa setiap suapan, setiap tetes air, setiap butir nasi — bisa menjadi ibadah jika lahir dari rezeki yang halal dan hati yang ikhlas.
Makan halal bukan hanya soal “boleh” atau “tidak boleh”, tapi soal bagaimana kita menjaga hati agar tetap bersih di tengah dunia yang kotor.
Karena sesungguhnya, makanan halal bukan sekadar ayam disembelih, tapi hati yang disucikan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
