Khazanah
Beranda » Berita » Waris: Cermin Keadilan yang Tak Tergantung Nafsu

Waris: Cermin Keadilan yang Tak Tergantung Nafsu

Ayah tua menulis surat waris di bawah lampu malam, anak-anak mengelilinginya dengan wajah teduh — simbol keadilan yang bijaksana dalam pembagian harta.
Lukisan reflektif tentang pembagian waris yang penuh keikhlasan, menggambarkan keadilan yang tak tunduk pada nafsu manusia.

Surau.co. Di antara sekian banyak hukum dalam Islam, bab waris sering kali menjadi yang paling rumit — bukan karena hitungannya, tapi karena hati manusia yang sulit jujur terhadap harta.
Berapa banyak keluarga yang rukun saat orang tua masih hidup, lalu berpecah setelah pembagian warisan dimulai?
Seolah kematian orang tua bukan hanya kehilangan kasih sayang, tapi juga awal dari perebutan cinta dalam bentuk tanah, rumah, dan tabungan.

Dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī membahas waris bukan sekadar dengan angka dan hukum, tapi dengan keseimbangan antara hak dan kasih.
Ia mengajarkan bahwa keadilan dalam warisan bukan keadilan menurut nafsu manusia, tapi keadilan menurut Allah yang Maha Tahu isi hati setiap ahli waris.

Ketika Cinta Menjadi Buta oleh Harta

Tidak sedikit keluarga yang runtuh karena harta.
Saudara saling menuduh, menutup pintu rumah, bahkan memutus silaturahmi. Padahal, harta itu ditinggalkan bukan untuk diperebutkan, tapi untuk membuktikan siapa yang paling ikhlas.

Abū Shujā‘ menulis:

“والفرائض علم يعرف به من يرث ومن لا يرث، ومقدار ما لكل وارث.”
“Ilmu faraidh (waris) adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui siapa yang berhak mewarisi, siapa yang tidak, dan berapa bagian masing-masing.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ilmu waris bukan sekadar hitung-hitungan, tapi ilmu menjaga keadilan.
Ketika Allah membagi harta dengan ketentuan yang tampak matematis, sebenarnya Ia sedang menata keseimbangan sosial dan emosional di antara manusia.

Tapi manusia sering merasa tahu lebih baik.
Ada yang berkata, “Ah, anak laki-laki kan sudah kaya, kasih saja lebih ke yang perempuan.”
Atau sebaliknya, “Dia kan anak tiri, tak usah dapat.”
Padahal, hukum Allah tidak tunduk pada perasaan sesaat. Ia tegak justru untuk menundukkan hawa nafsu manusia.

Keadilan yang Berdiri di Atas Ilmu, Bukan Perasaan

Abū Shujā‘ menulis dengan tegas namun indah:

“وأسباب الميراث ثلاثة: النسب، والنكاح، والولاء.”
“Sebab seseorang bisa mewarisi ada tiga: karena hubungan nasab, pernikahan, dan perwalian (pembebasan budak).”

Tiga sebab ini tampak sederhana, tapi menyimpan kebijaksanaan mendalam.
Islam tidak membagi harta karena kasih, tapi karena tanggung jawab dan keterikatan hukum.
Yang berhak mendapat waris bukan karena “dicintai lebih”, tapi karena terikat oleh amanah Allah.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Dalam dunia modern, banyak orang ingin mengatur warisan sesuai logika pribadi: siapa yang lebih dekat, siapa yang lebih berjasa. Tapi hukum waris Islam mengajarkan: cinta manusia sering tidak adil.
Allah tahu, kasih manusia berubah-ubah, tapi hukum-Nya tetap.

Firman Allah:

“يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ”
(QS. An-Nisā’: 11)
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.”

Bagi sebagian orang, ayat ini terasa “tidak adil”.
Tapi kalau mau merenung, bagian itu bukan ukuran nilai, melainkan pembagian tanggung jawab.
Laki-laki menanggung nafkah keluarga, sementara perempuan dilindungi dari beban finansial.
Keadilan Allah bukan membagi sama rata, tapi memberi sesuai amanah.

Hukum yang Mengajarkan Kasih

Abū Shujā‘ menulis lagi dengan kelembutan seorang guru:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“ولا يرث القاتل، ولا المرتد، ولا من اختلف دينه مع الميت.”
“Tidak berhak mewarisi: pembunuh (pewaris), orang murtad, dan orang yang berbeda agama dengan mayit.”

Aturan ini tampak tegas, tapi di baliknya ada pelajaran akhlak yang lembut:
Jangan sampai harta membuat seseorang tega menghilangkan nyawa.
Jangan sampai urusan dunia memutus hubungan iman dan kasih.

Larangan waris bagi pembunuh bukan sekadar hukum, tapi juga peringatan agar manusia berhati-hati pada ambisi.
Karena bila cinta pada dunia sudah menguasai hati, maka darah pun bisa jadi alat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“تعلموا الفرائض وعلموه الناس، فإنه نصف العلم.”
“Pelajarilah ilmu faraidh (waris) dan ajarkanlah kepada manusia, karena ia setengah dari ilmu.” (HR. Ibnu Majah)

Mengapa disebut “setengah ilmu”?
Karena ilmu waris bukan hanya soal duniawi, tapi juga ilmu untuk menata batin — agar manusia tidak terjerumus pada cinta dunia.

Mengapa Allah yang Membagi, Bukan Kita

Banyak orang mengira waris hanyalah urusan pembagian harta, padahal ia juga pembagian ujian.
Ujian bagi yang mendapat bagian besar: apakah ia bersyukur?
Ujian bagi yang mendapat sedikit: apakah ia sabar?

Allah sengaja menetapkan pembagian secara rinci agar tak ada ruang bagi manusia untuk bertengkar atas kehendak-Nya.

Abū Shujā‘ menulis dengan indah:

“ويبدأ بتجهيز الميت من ماله، ثم يقضى دينه، ثم تنفذ وصيته، ثم يقسم ما بقي بين ورثته.”
“(Dalam pembagian waris) dimulai dari biaya pemakaman si mayit, kemudian pelunasan utangnya, lalu pelaksanaan wasiatnya, baru setelah itu sisa hartanya dibagi kepada ahli waris.”

Urutannya saja sudah penuh makna. Hidup ini tidak hanya tentang meninggalkan harta, tapi menyelesaikan tanggung jawab. Bahkan setelah mati pun, seseorang tidak boleh meninggalkan utang — baik utang kepada manusia maupun kepada Allah.

Itulah sebabnya, hukum waris bukan semata “siapa dapat apa”, tapi juga siapa yang masih punya tanggung jawab.

Ketika Keadilan Tak Lagi Butuh Nafsu

Keadilan Allah dalam waris mengajarkan kita untuk menyerahkan urusan dunia pada ilmu, dan urusan hati pada sabar.
Kita tidak bisa adil dengan perasaan, tapi bisa adil bila taat pada ketentuan-Nya.

Dalam kehidupan modern, manusia sering menuntut kesetaraan, tapi lupa bahwa kesetaraan tanpa kebijaksanaan bisa berubah menjadi keserakahan.
Islam tidak menghapus perbedaan, tapi menata agar perbedaan tetap membawa kedamaian.

Waris menjadi cermin: apakah kita mencintai Allah lebih dari dunia, atau sebaliknya?

Karena pada akhirnya, harta akan habis dibagi, tapi silaturahmi adalah warisan abadi yang tak bisa dibeli.

Penutup: Keadilan yang Lahir dari Kepasrahan

Al-Ghāyah wa at-Taqrīb mengajarkan bahwa hukum waris bukan hanya hukum tentang harta, tapi tentang hati yang belajar ikhlas.
Ketika manusia taat pada pembagian Allah, ia sebenarnya sedang menata dirinya untuk tidak diperbudak oleh dunia.

Waris adalah cermin — bukan untuk melihat siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling siap menerima takdir.
Keadilan sejati bukan saat semua dapat sama, tapi saat semua merasa cukup dengan bagiannya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement