Khazanah
Beranda » Berita » Pandangan Al-Ghazali: Fitrah dan Dua Watak Manusia

Pandangan Al-Ghazali: Fitrah dan Dua Watak Manusia

Pandangan Al-Ghazali: Fitrah dan Dua Watak Manusia
Ilustrasi AI

SURAU.CO – Imam Abu Hamid Al-Ghazali, ulama besar dan filsuf Muslim abad ke-11, memiliki pandangan mendalam tentang hakikat manusia. Dalam karya-karyanya seperti Ihya’ Ulumuddin dan Mizan al-‘Amal, ia menegaskan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah —keadaan suci dan murni. Fitrah ini adalah bawaan dasar yang mengandung potensi untuk mengenal Tuhan dan berbuat baik. Namun, dalam diri manusia juga terdapat dua watak yang saling bertentangan: dorongan menuju kebaikan dan kecenderungan menuju keburukan. Dua potensi ini terus tertanam dalam diri setiap manusia sepanjang hidupnya.

Manusia Lahir dalam Keadaan Fitrah

Al-Ghazali berdasar dari sabda Nabi Muhammad SAW, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ia mengartikan hadis ini sebagai penegasan bahwa setiap manusia membawa potensi ilahiah dalam dirinya.

Menurut Al-Ghazali, fitrah membuat manusia memiliki dorongan alami untuk mengenal kebenaran dan mencintai kebaikan. Fitrah tidak muncul karena genetik atau hasil pendidikan sosial, tetapi tumbuh dari ruh yang Allah tiupkan ke dalam diri manusia. Oleh karena itu, fitrah bersifat spiritual, bukan material. Setiap bayi membawa cahaya spiritual yang diberikan kemampuan memahami makna hidup dan mengenal Sang Pencipta.

Namun, ketika manusia tumbuh dewasa, ia mulai menghadapi dunia luar yang penuh ambisi, keinginan, dan godaan. Dari situ muncul dua kekuatan: satu membawa manusia menuju cahaya, dan yang lain menjerumuskannya ke kegelapan.

Dua Watak: Baik dan Buruk

Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia mempunyai dua sisi watak: nafsu yang menariknya ke arah keburukan dan ruh yang menuntunnya ke arah kebaikan. Kedua sisi itu terus berjuang di dalam hati setiap manusia.

Pentingnya Akhlak Mulia

Watak baik lahir dari ruh rabbaniyah , jiwa yang berasal dari Tuhan. Jiwa ini mendorong manusia untuk mencari kebenaran, berlaku adil, dan mencintai sesama. Sebaliknya, watak buruk bersumber dari nafs ammarah , dorongan rendah yang membuat manusia tamak, sombong, dan lalai.

Al-Ghazali menegaskan bahwa manusia tidak dilahirkan sebagai makhluk baik atau jahat secara mutlak. Manusia selalu berada di persimpangan dua arah, dan setiap pilihan yang ia ambil menentukan siapa dirinya sebenarnya.

Manusia bisa jatuh lebih rendah dari binatang jika ia membiarkan nafsu menguasai dirinya. Namun, manusia bisa mencapai derajat lebih tinggi dari malaikat jika ia menundukkan hawa nafsunya. Oleh karena itu, Al-Ghazali meyakini bahwa kekuatan spiritual di dalam diri manusia—bukan gen atau lingkungan—menentukan kualitas hidupnya.

Penentu Utama: Kekuatan Spiritual

Pemikir modern sering beranggapan bahwa gen dan lingkungan membentuk manusia. Gen mengatur sifat dasar, sedangkan lingkungan membentuk perilaku. Namun, Al-Ghazali menolak pandangan ini. Ia menegaskan bahwa akar perilaku manusia terletak pada jiwa, bukan pada faktor luar.

Bagi Al-Ghazali, spiritualitas bukanlah gagasan abstrak, melainkan kekuatan hidup yang nyata. Ia menempatkan hati (qalb) sebagai pusat kesadaran dan sumber keputusan moral. Hati bukan sekadar organ biologis, tetapi wadah bagi ruh. Ketika hati tetap bersih, manusia dapat mengenali kebenaran dan menjalani hidup dengan damai. Sebaliknya, ketika hawa nafsu dan kelalaian menutupi hati, manusia kehilangan arah dan melupakan hakikat dirinya.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali menulis, “Hati manusia bagaikan cermin. Jika dosa dan kesombongan mengotorinya, maka ia tidak dapat memancarkan cahaya kebenaran.” Oleh karena itu, manusia harus menjaga agar cermin hatinya tetap bersih melalui zikir, introspeksi, dan amal saleh.

Hakikat Kebaikan adalah Ruhani

Menurut Al-Ghazali, kebaikan sejati tumbuh dari dimensi spiritual manusia. Ia menyebutnya kebaikan ruhani atau kebaikan spiritual. Inilah hakikat manusia yang sesungguhnya. Kebaikan tidak datang dari paksaan luar, melainkan mengalir dari kesadaran batin yang jernih.

Manusia pada dasarnaya ingin berbuat baik karena genetika mengetahui kebenaran. Namun, ketika hawa nafsu menguasai diri, dorongan itu berubah arah. Nafsu membuat manusia mengejar kesenangan sesaat, kekuasaan, dan kebanggaan palsu. Akibatnya, fitrah yang suci tertutup, dan hati kehilangan kemampuannya untuk merasakan kedamaian sejati.

Al-Ghazali menggambarkan manusia yang tunduk pada nafsu seperti orang yang menutup matanya dari cahaya. Cahaya tetap bersinar, tetapi ia memilih kegelapan. Oleh karena itu, keburukan muncul bukan karena manusia tidak memiliki potensi yang baik, melainkan karena ia menolak mengaktifkan potensi spiritualnya.

Nafsu dan Kelalaian: Akar Kegelapan

Al-Ghazali menilai dua hal utama yang mengotori fitrah manusia: hawa nafsu dan kejahatan. Nafsu menjerat manusia pada urusan dunia, sedangkan kecerobohan menjauhkan manusia dari Tuhan. Ketika dua hal ini menguasai hati, manusia kehilangan arah dan lupa pada tujuan hidupnya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Ghazali tidak menyuruh manusia mematikan nafsunya. Ia justru mengajarkan agar manusia mengendalikannya. Ia menganalogikan nafsu seperti kuda pembohong. Jika manusia menjinakkannya, kuda itu akan membawanya menuju kebaikan. Tetapi jika ia membiarkan kuda itu pembohong, kuda itu akan menyeretnya ke jurang kebinasaan.

Sementara itu, kelalaian (ghaflah) membuat manusia hidup tanpa kesadaran spiritual. Ia mungkin tampak sukses secara duniawi, tetapi jiwanya kosong. Al-Ghazali mengajak manusia menjaga kesadaran akan kehadiran Allah (muraqabah) dan melakukan introspeksi diri (muhasabah). Dengan doa hal itu, manusia dapat menyeimbangkan dorongan duniawi dan panggilan ruhani.

Menjaga Cahaya Fitrah

Bagi Al-Ghazali, perjalanan spiritual manusia merupakan usaha tanpa henti untuk kembali ke fitrah. Ia menggambarkan fitrah seperti sumber air jernih yang tertutup lumpur. Sumber itu tidak pernah hilang; manusia hanya perlu membersihkannya. Proses ini disebut tazkiyah an-nafs —penyucian jiwa.

Manusia dapat melakukan penyucian itu dengan mengingat Allah, memperbanyak amal baik, dan menjauhi perbuatan yang menodai hati. Ketika hati bersih, manusia akan menemukan kembali kedamaian yang menjadi sifat alaminya.

Menurut Al-Ghazali, manusia sejati bukanlah yang paling kuat atau paling cerdas, melainkan yang paling mampu menundukkan dirinya dan menjaga kesucian hatinya. Di situlah letak kemanusiaan yang sejati—fitrah yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement