Khazanah
Beranda » Berita » Darah dan Diyat: Menakar Nilai Kehidupan

Darah dan Diyat: Menakar Nilai Kehidupan

Hakim tua menatap timbangan keadilan dan kain putih bertetes darah — simbol beratnya nilai kehidupan dalam pandangan Islam.
Lukisan reflektif tentang makna darah dan diyat, menggambarkan kebijaksanaan dan kelembutan dalam hukum Allah.

Surau.co. Manusia hari ini begitu mudah marah, cepat melukai, dan sering lupa: setiap darah yang tumpah berarti satu kehidupan hilang.
Kita hidup di dunia yang dibanjiri berita kekerasan, pembunuhan, dan kebencian. Kata “nyawa melayang” terdengar begitu biasa, seolah kehilangan hidup hanyalah bagian dari rutinitas. Padahal, dalam pandangan Allah, satu nyawa manusia lebih berharga daripada seluruh dunia dan isinya.

Dalam Kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī menulis bab ad-damā’ wa ad-diyat — tentang darah, pembunuhan, dan tebusannya — dengan nada lembut sekaligus mendalam. Ia tidak menulis karena amarah, melainkan karena kesadaran bahwa hukum Allah hadir untuk menjaga kesucian hidup, bukan untuk menakut-nakuti manusia.

Ketika Hidup Jadi Murah di Mata Manusia

Kini, manusia menjaga ponsel lebih hati-hati daripada menjaga nyawa sesamanya.
Pertengkaran kecil di jalan bisa berubah jadi perkelahian, dan di dunia digital, fitnah bisa berbuah dendam nyata.
Dalam situasi semacam itu, ajaran Abū Shujā‘ terasa seperti cahaya di tengah kabut:

“ويحرم قتل المسلم عمدًا بغير حق، ومن قتل عمدًا اقتص منه، إلا أن يعفو ولي المقتول.”
“Haram membunuh seorang Muslim dengan sengaja tanpa hak. Barang siapa melakukannya, maka ia dikenai qisas, kecuali jika dimaafkan oleh wali korban.”

Ayat itu menempatkan maaf berdampingan dengan keadilan.
Qisas adalah hak, tetapi memaafkan adalah kemuliaan.
Sementara itu, diyat — atau tebusan darah — bukan harga nyawa, melainkan jalan damai agar luka hati tidak berubah menjadi dendam.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Allah berfirman:

“وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ” (QS. Al-Baqarah: 179)
“Dan dalam qisas itu ada kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang berakal.”

Qisas memberi kehidupan karena menghentikan lingkaran kebencian. Tanpa keadilan, manusia akan terus membalas, hingga darah menjadi bahasa paling sering diucapkan di bumi.

Keadilan yang Tidak Buta, Tapi Berhati

Banyak orang memandang hukum Islam dengan kacamata keras. Padahal, hudud dan qisas bukan untuk menebar ketakutan, melainkan menegakkan keseimbangan antara kasih dan tanggung jawab.

Abū Shujā‘ menulis dengan tegas tapi lembut:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“ولا يقام الحد ولا القود إلا بعد البينة أو الإقرار الصريح.”
“Hukum hudud dan qisas tidak ditegakkan kecuali dengan bukti yang jelas atau pengakuan yang tegas.”

Artinya, Islam tidak tergesa menghukum.
Hukum Allah berdiri di atas kebenaran yang terverifikasi, bukan emosi sesaat.
Bila ada keraguan, maka pelaksanaan hukuman ditunda, bahkan bisa dibatalkan.
Karena dalam pandangan Islam, lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menzalimi satu orang tak bersalah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“ادرءوا الحدود بالشبهات.”
“Hindarilah penerapan hudud jika ada keraguan.” (HR. Tirmidzi)

Inilah bedanya hukum Allah dengan kemarahan manusia.
Manusia menghukum karena dendam, tapi Allah menegakkan hukum agar manusia belajar menghargai kehidupan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Diyat: Harga yang Bukan untuk Membeli Nyawa

Sebagian orang keliru mengira bahwa diyat berarti harga sebuah nyawa.
Padahal, nyawa tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun.
Abū Shujā‘ menjelaskan:

“ودية الحر المسلم مائة من الإبل، ودية المرأة نصف دية الرجل.”
“Diyat bagi seorang Muslim merdeka adalah seratus ekor unta, dan bagi perempuan setengah dari itu.”

Sekilas, kalimat ini tampak seperti perbedaan nilai manusia. Namun, sebenarnya, yang berbeda hanyalah tanggung jawab sosial dan sistem masyarakat pada masa itu.
Diyat bukan alat untuk mengukur manusia, melainkan mekanisme agar keadilan tidak berubah menjadi balas dendam.

Bayangkan jika konsep ini tidak ada — setiap pembunuhan akan dibalas dengan pembunuhan baru. Dunia akan terus basah oleh darah.
Karena itu, diyat hadir untuk mengajarkan bahwa kemaafan tidak menghapus keadilan, tetapi menyalurkan rasa sakit menjadi tanggung jawab nyata.

Nilai Kehidupan dalam Pandangan Allah

Hidup adalah anugerah terbesar dari Allah. Setiap napas manusia adalah amanah, bukan milik pribadi yang boleh diambil seenaknya.
Bahkan di tengah perang, Islam menegaskan larangan membunuh mereka yang tidak terlibat.

Abū Shujā‘ kembali menulis:

“ولا يجوز قتل النساء والصبيان في القتال، ولا من لم يقاتل من الشيوخ والرهبان.”
“Tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak dalam peperangan, juga tidak boleh membunuh orang tua atau pendeta yang tidak ikut berperang.”

Perhatikan, bahkan ketika perang mengizinkan darah tumpah, Islam tetap menegakkan batas kasih.
Tujuan syariat bukan menumpahkan darah, melainkan menjaga kehidupan agar tetap suci.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“لزوال الدنيا أهون عند الله من قتل رجل مسلم.”
“Lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya satu jiwa Muslim.” (HR. Tirmidzi)

Maka siapa pun yang menyelamatkan satu jiwa, seolah ia telah menyelamatkan seluruh manusia.
Sebaliknya, siapa pun yang menghilangkan satu nyawa tanpa hak, ia telah menodai seluruh kemanusiaan.

Ketika Maaf Menjadi Jalan Keadilan yang Lebih Tinggi

Qisas memberi keadilan, tetapi maaf memberi kehidupan baru.
Keadilan mungkin menutup luka di bumi, namun maaf membuka pintu surga bagi hati yang memberi dan menerima.

Allah berfirman:

“فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ” (QS. Al-Baqarah: 178)
“Barang siapa diberi maaf oleh saudaranya, maka hendaklah ia mengikuti dengan cara yang baik, dan membayar dengan cara yang ihsan.”

Ayat ini luar biasa: Allah menyebut pelaku pembunuhan sebagai “akhīhi” — saudaranya.
Dengan begitu, bahkan dalam luka sedalam itu, Allah ingin manusia tetap melihat sesamanya sebagai saudara.

Memaafkan bukan berarti melupakan, melainkan melepaskan beban kebencian agar hati kembali tenang.
Dendam hanya memperpanjang penderitaan, tetapi maaf menyalakan lagi cahaya kemanusiaan.

Penutup: Darah Adalah Amanah

Dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Abū Shujā‘ mengingatkan: hukum tentang darah bukan sekadar aturan pidana, melainkan penegasan bahwa hidup adalah titipan.
Darah yang mengalir di tubuh manusia adalah amanah Allah.
Siapa pun yang menumpahkannya tanpa hak berarti melawan Sang Pemberi Hidup.

Hudud, qisas, dan diyat bukan simbol kekerasan, melainkan sentuhan lembut dari tangan Tuhan yang menjaga manusia dari kehancuran diri.
Mereka hadir agar bumi tidak kehilangan rasa kasihnya.

Barangkali, bila manusia hari ini mau belajar lagi dari Abū Shujā‘, dari Al-Qur’an, dan dari Rasulullah ﷺ, mereka akan memahami satu hal sederhana tapi agung:
Menjaga kehidupan adalah bentuk ibadah tertinggi.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement