Surau.co. Banyak yang langsung membayangkan cambuk, potong tangan, atau hukuman keras lainnya. Tapi jarang yang mau merenungkan bahwa di balik tegasnya hukum itu, ada cinta Allah yang besar — cinta yang ingin menjaga manusia agar tidak hancur oleh kebebasannya sendiri.
Dalam Kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī membahas bab hudud bukan dengan nada menakutkan, tapi dengan hikmah keadilan dan kasih. Ia menjelaskan hukum Allah bukan sebagai cambuk yang menyakiti, melainkan pagar agar manusia tidak tersesat lebih jauh.
Frasa kunci “Hudud: Ketika Allah Menyuruh Kita Tertib Karena Sayang” mengajak kita melihat hukum Islam bukan dari sisi “keras”-nya, tapi dari tujuan kasih sayang-Nya — agar manusia belajar tertib, karena dunia yang tanpa batas justru memusnahkan kemanusiaan itu sendiri.
Kebebasan Tanpa Batas, Awal dari Kehancuran
Manusia zaman ini mencintai kata “bebas”.
Bebas berbicara, bebas berbuat, bebas berkehendak. Tapi di balik euforia kebebasan itu, kita sering lupa: bebas bukan berarti tanpa arah.
Seorang anak yang dibiarkan bebas tanpa batas bisa melukai dirinya sendiri. Begitu juga manusia yang hidup tanpa hudud — batas yang ditetapkan Allah.
Abū Shujā‘ menulis dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb:
“والحدود واجبة لحفظ الضرورات الخمس: الدين، والنفس، والعقل، والمال، والعرض.”
“Hudud diwajibkan untuk menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan.”
Betapa lembutnya hakikat hudud itu bila kita pahami. Ia bukan alat kekerasan, tapi sistem penjagaan.
Allah menegakkan hudud bukan karena ingin menghukum, tapi karena tidak ingin manusia kehilangan yang paling berharga.
Hudud adalah cinta yang disiplin. Ia seperti orang tua yang menegur anak bukan karena benci, tapi karena takut anaknya celaka.
Hukuman yang Justru Menyelamatkan
Kita sering berpikir bahwa hukuman selalu berarti keburukan. Padahal, dalam Islam, hukuman bisa menjadi pintu penyucian.
Abū Shujā‘ menulis:
“ومن أقيم عليه الحد في الدنيا كان كفارة له في الآخرة.”
“Barang siapa yang ditegakkan atasnya hudud di dunia, maka itu menjadi penebus dosanya di akhirat.”
Lihatlah betapa lembutnya logika Islam.
Allah tidak ingin seorang hamba membawa beban dosanya ke akhirat. Maka Ia memberi jalan agar dosa itu ditebus di dunia, dengan cara yang terukur, adil, dan penuh rahmat.
Hudud bukan bentuk kekejaman, tapi pengingat agar manusia kembali kepada kemurnian dirinya.
Bahkan orang yang dihukum, bila menerima dengan sabar dan bertaubat, menjadi lebih suci daripada orang yang tak pernah diadili tapi terus berdosa dalam diam.
Keadilan yang Tak Bisa Dibeli
Dalam dunia yang semakin materialistis, hukum sering jadi barang dagangan.
Yang kaya bisa membeli keadilan, yang miskin hanya bisa menanggung nasib. Tapi Islam menghapus logika itu sejak awal.
Abū Shujā‘ menulis dengan tegas:
“ولا يسقط الحد عن الشريف لِشرفه، ولا عن الضعيف لضعفه.”
“Hudud tidak gugur dari orang terpandang karena kehormatannya, dan tidak ditegakkan pada orang lemah karena kelemahannya.”
Betapa agung prinsip ini!
Hukum Allah menegakkan kesetaraan yang sejati.
Tidak ada kebal hukum, tidak ada istimewa karena jabatan.
Rasulullah ﷺ bahkan bersabda:
“لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها.”
“Seandainya Fatimah, putri Muhammad, mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari)
Kalimat ini bukan ancaman, tapi pernyataan cinta: bahwa cinta sejati menuntut keadilan, bukan pembelaan buta.
Hudud hadir bukan untuk menakutkan manusia, tapi agar mereka tahu: keadilan Allah tidak pilih kasih.
Kasih Sayang yang Terbungkus Ketegasan
Sering kali, manusia baru memahami cinta setelah kehilangan batas.
Begitu pula masyarakat, baru menyadari pentingnya hukum setelah semuanya kacau.
Abū Shujā‘ menulis lagi:
“ولا يقام الحد إلا بعد البينة أو الإقرار، ويُدرأ بالشبهة.”
“Hudud tidak ditegakkan kecuali dengan bukti yang jelas atau pengakuan, dan digugurkan jika ada keraguan.”
Perhatikan kalimat terakhirnya: “dan digugurkan jika ada keraguan.”
Islam tidak mengenal penghukuman tergesa-gesa.
Hudud hanya ditegakkan bila benar-benar pasti — dan bila ada sedikit saja kemungkinan salah, maka Allah memerintahkan untuk mengurungkan, bukan memaksa.
Ini menunjukkan bahwa hukum Allah lebih berhati-hati daripada manusia yang kadang tergesa menghukum dengan opini.
Hudud tidak menindas, tapi menahan — agar manusia tidak melampaui batas bahkan dalam menegakkan batas.
Manusia Dibatasi Karena Allah Tidak Mau Kehilangan Kita
Batas-batas yang Allah tetapkan dalam hudud bukan untuk mempersempit hidup, tapi untuk menjaga agar manusia tetap manusia.
Tanpa hudud, manusia mudah terjerumus menjadi serigala bagi sesamanya.
Bayangkan dunia tanpa larangan mencuri, tanpa hukuman untuk pembunuhan, tanpa tanggung jawab bagi fitnah dan zina — dunia seperti itu bukan dunia manusia, tapi rimba yang bersuara dengan ego.
Allah mencintai keteraturan. Maka Ia menurunkan batas, agar hidup berjalan dengan makna.
“تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا”
(QS. Al-Baqarah: 229)
“Itulah batas-batas Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.”
Batas ini bukan jeruji, tapi pagar kasih.
Orang yang menjaga hudud bukan berarti terkurung, tapi dijaga agar tidak jatuh ke jurang.
Karena Allah tahu, hati manusia mudah tergoda oleh manisnya dosa, tapi pahit menanggung akibatnya
Penutup: Cinta yang Menertibkan
Hudud adalah bentuk cinta Allah yang tegas.
Ia tidak seperti kasih manusia yang sering lembek dan pilih-pilih.
Allah mencintai kita dengan cara yang membuat kita tertib, bukan nyaman. Karena kenyamanan tanpa batas seringkali membawa kehancuran.
Al-Ghāyah wa at-Taqrīb mengajarkan bahwa hukum Allah adalah cara-Nya mendidik, bukan menakut-nakuti.
Hudud mengajarkan keseimbangan antara kasih dan ketegasan, antara rahmat dan keadilan.
Ketika Allah melarang, itu bukan karena benci.
Ketika Allah menegur, itu bukan karena marah.
Ia hanya ingin kita tetap dekat, tetap selamat, tetap manusia.
“Batasan-batasan Allah bukan dinding penjara, tapi pagar kebun yang menjaga bunga dari hama.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
