Surau.co. Ketika mendengar kata jihad, sebagian orang langsung membayangkan perang, pedang, dan darah. Padahal, jihad yang paling berat justru tak terlihat oleh mata: perang melawan diri sendiri.
Melawan nafsu yang ingin selalu benar, melawan ego yang ingin selalu menang, melawan hati yang mudah gelap oleh dunia.
Dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī membahas jihad bukan semata sebagai peperangan fisik, tetapi sebagai ibadah yang menuntut kesadaran dan kesabaran. Ia tidak memulai dengan teriakan perang, tapi dengan adab — dengan niat yang benar, tujuan yang bersih, dan hati yang jernih.
Frasa kunci “Jihad melawan diri sendiri yang tak pernah kalah” bukanlah metafora manis, melainkan kenyataan pahit yang harus dijalani setiap hari. Sebab musuh yang paling sulit ditundukkan bukan di luar diri, tapi di dalam dada.
Ketika Nafsu Berpakaian Amal
Dalam kehidupan sehari-hari, betapa sering seseorang merasa sedang berjuang di jalan Allah, padahal diam-diam ia sedang berjuang untuk dirinya sendiri.
Ia menolong, tapi ingin dipuji. Ia menasihati, tapi ingin dianggap lebih bijak. Ia bekerja keras, tapi diam-diam berharap dikenal sebagai orang saleh.
Abū Shujā‘ menulis:
“والجهاد فرض كفاية إذا قام به من يكفي سقط عن الباقين، إلا أن ينزل الكفار ببلد فيجب على الجميع.”
“Jihad adalah fardhu kifayah; jika sebagian telah melakukannya, gugurlah kewajiban dari yang lain, kecuali bila musuh menyerang negeri, maka wajib atas semuanya.”
Jihad di sini bukan hanya tentang perang melawan musuh luar, tapi juga perang melawan kesombongan batin yang sering menyerang dalam diam.
Betapa sering seseorang menaklukkan dunia, tapi dikalahkan oleh dirinya sendiri.
Perang yang Tak Pernah Selesai
Nabi ﷺ bersabda ketika para sahabat pulang dari medan perang:
“رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر.”
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”
Para sahabat bertanya, “Apakah jihad besar itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Jihad melawan hawa nafsu.”
Perang di luar bisa dimenangkan dengan senjata, tapi perang di dalam diri hanya bisa dimenangkan dengan kesabaran dan keikhlasan.
Dalam jihad ini, tak ada medali, tak ada sorak kemenangan, tak ada pengakuan manusia. Yang ada hanya sepi dan perjuangan batin yang tak selesai.
Kadang kita menang sebentar — menahan amarah, menolak sombong, mengalah untuk orang lain. Tapi besok, musuh itu datang lagi, dengan wajah yang sama: wajah kita sendiri.
Jihad yang Membuat Dunia Lebih Damai
Dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Abū Shujā‘ melanjutkan:
“ويجب إعداد العدة للجهاد بحسب الطاقة، لقوله تعالى: (وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة).”
“Wajib mempersiapkan peralatan untuk jihad sesuai kemampuan, sebagaimana firman Allah: ‘Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu mampu.’” (QS. Al-Anfāl: 60)*
Kekuatan itu tidak selalu berarti pedang dan senjata. Kekuatan bisa berupa pengendalian diri, kejujuran, dan kasih sayang.
Dalam zaman ini, menahan jari agar tidak menulis kebencian di media sosial adalah jihad. Menolak korupsi di tengah kesempatan besar adalah jihad. Menjaga akhlak di dunia yang penuh tipu daya adalah jihad.
Jihad sejati adalah membuat dunia lebih damai, bukan menambah luka di atas luka.
Menjadi Pahlawan yang Tidak Dikenal
Ada orang yang berjihad tanpa sorotan kamera, tanpa panggung, tanpa tepuk tangan.
Seorang ibu yang bangun sebelum fajar, menyiapkan sarapan untuk keluarganya — itu jihad.
Seorang guru yang tetap mengajar dengan hati meski gajinya kecil — itu jihad.
Seorang anak muda yang melawan godaan maksiat di dunia digital — itu jihad.
Abū Shujā‘ mengingatkan dengan lembut:
“وإذا غزا الإمام بنفسه وجب على الناس الخروج معه، إلا من له عذر.”
“Jika imam memimpin peperangan secara langsung, maka wajib bagi umat untuk ikut bersamanya, kecuali yang memiliki uzur.”
Imam dalam konteks batin bisa berarti hati nurani.
Jika hati memimpin dengan jujur, maka seluruh diri akan ikut berjuang dalam kebaikan. Tapi bila hati lemah, seluruh jiwa akan tunduk pada nafsu.
Jihad: Tentang Menjadi Baik Meski Sulit
Sering kali jihad terbesar bukan melawan orang yang membenci kita, tapi melawan keinginan untuk membalas.
Kadang jihad terbesar bukan melawan kemiskinan, tapi melawan ketidakpuasan.
Kadang jihad terbesar bukan melawan musuh, tapi melawan diri sendiri yang ingin menyerah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“المجاهد من جاهد نفسه في الله.”
“Orang yang berjihad adalah orang yang berjihad melawan dirinya sendiri demi Allah.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menjelaskan bahwa setiap manusia punya medan perang di dalam dirinya. Dan medan itu tak pernah sepi.
Jihad adalah latihan harian untuk menjadi manusia yang tidak kalah oleh kebencian, tidak hancur oleh nafsu, dan tidak buta oleh amarah.
Penutup: Menang Tanpa Mengalahkan
Di dunia yang bising ini, banyak orang ingin menang — menang dalam debat, dalam politik, dalam bisnis. Tapi sedikit yang ingin menang dalam diam, dengan menundukkan egonya sendiri.
Al-Ghāyah wa at-Taqrīb memberi kita cermin: bahwa jihad sejati bukan tentang membunuh, tapi tentang menghidupkan kembali hati yang hampir mati.
Bukan tentang siapa yang kalah, tapi tentang siapa yang tetap lembut di tengah kerasnya dunia.
Dan mungkin, kemenangan sejati itu bukan ketika orang lain kalah, tapi ketika kita berhasil berkata pada diri sendiri,
“Tenanglah, cukup Allah yang menjadi tujuanmu.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
