Surau.co. Setiap orang memimpikan perjalanan haji. Bukan hanya karena ingin menatap Ka‘bah, tetapi karena ingin menemukan dirinya kembali. Haji bukan sekadar perjalanan fisik menuju Makkah; ia adalah perjalanan batin menuju Allah — perjalanan pulang sebelum tiba saatnya benar-benar pulang ke liang lahat.
Dalam Kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī menulis tentang haji dengan ketenangan seorang alim yang paham: ibadah ini bukan hanya kewajiban, melainkan pengalaman spiritual paling dalam dalam hidup seorang Muslim.
Haji tidak berhenti pada pakaian ihram. Ia menuntun kita untuk menanggalkan seluruh lapisan keakuan: status, kekayaan, kebanggaan, bahkan dosa.
Ketika Langkah Menuju Tanah Suci Adalah Langkah Menuju Diri
Banyak orang berangkat haji dengan membawa ambisi—ingin bergelar “Haji”, ingin dipandang saleh, atau ingin disambut meriah sepulangnya. Namun, ada juga yang berangkat dengan hati bergetar, sadar bahwa perjalanan ini bisa menjadi panggilan terakhir dalam hidupnya.
Abū Shujā‘ membuka pembahasan hajinya dengan kalimat sederhana:
“وَالْحَجُّ وَاجِبٌ مَرَّةً فِي الْعُمُرِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَالِغٍ عَاقِلٍ حُرٍّ مُسْتَطِيعٍ.”
“Haji wajib sekali seumur hidup bagi setiap Muslim yang baligh, berakal, merdeka, dan mampu.”
Namun, kata mampu di sini tidak hanya menyangkut harta. Lebih dari itu, ia berbicara tentang kesiapan hati.
Betapa banyak orang kaya tidak mampu menundukkan kesombongannya untuk berhaji dengan rendah hati. Sebaliknya, tak sedikit orang sederhana yang menabung bertahun-tahun demi memenuhi panggilan cinta dari Allah.
Jelaslah, kemampuan sejati bukan soal isi dompet, tetapi kesiapan jiwa untuk meninggalkan dunia sejenak dan menghadap-Nya dengan hati telanjang.
Ihram: Saat Dunia Tak Lagi Dikenakan
Ketika seseorang mengenakan ihram, ia kembali ke bentuk asalnya—polos, sama, tanpa perbedaan. Tidak ada jas mahal, tidak ada riasan, tidak ada nama belakang kebangsawanan. Semua berdiri di hadapan Allah hanya dengan dua lembar kain putih.
Abū Shujā‘ menulis:
“ويحرم بالحج من الميقات بنية الدخول في النسك.”
“Haji dimulai dengan ihram dari miqat dengan niat memasuki ibadah.”
Kain ihram bukan sekadar pakaian, melainkan simbol kematian kecil. Seolah Allah sedang melatih manusia untuk siap dikafani, bahkan sebelum maut menjemput.
Setiap kali seseorang mengucapkan “Labbaik Allahumma labbaik” — “Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah”— sebenarnya ia sedang menyatakan:
“Aku siap, ya Rabb, bahkan bila ini perjalanan terakhirku.”
Thawaf: Mengelilingi Cinta yang Tak Pernah Berhenti
Di bawah terik matahari Makkah, jutaan manusia berputar mengelilingi Ka‘bah. Ribuan langkah membentuk lingkaran yang seolah tanpa ujung, namun semuanya berpusat pada satu hal: Allah.
Abū Shujā‘ menjelaskan:
“والطواف سبعة أشواط، يبدأ بالحجر الأسود ويجعله عن يساره.”
“Thawaf dilakukan tujuh putaran, dimulai dari Hajar Aswad dengan Ka‘bah di sebelah kiri.”
Ka‘bah tidak butuh manusia mengelilinginya; manusialah yang membutuhkan poros untuk meluruhkan keakuan.
Thawaf mengajarkan bahwa dunia ini berputar, dan kita bukan pusatnya. Hidup bukan tentang kita, melainkan tentang bagaimana kita berputar dalam kehendak Allah dengan keikhlasan penuh.
Setiap langkah thawaf menjadi doa tanpa kata, setiap putaran menjadi perjalanan hidup: lahir, tumbuh, jatuh, bangkit, lalu pulang.
Wukuf di Arafah: Saat Harus Berhenti untuk Disadarkan
Akhirnya, setiap jamaah tiba di satu titik: Arafah. Di padang luas itu, jutaan manusia berdiri dengan pakaian putih yang sama. Tidak ada jabatan, tidak ada hierarki. Yang tersisa hanyalah manusia yang menengadah, dengan air mata yang berkata, “Ya Allah, ampuni aku.”
Abū Shujā‘ menulis:
“والوقوف بعرفة ركن لا يصح الحج إلا به.”
“Wukuf di Arafah adalah rukun haji yang tidak sah tanpa kehadiran di sana.”
Kata wukuf berarti berhenti. Dan mungkin, di situlah maknanya: manusia harus berhenti sesekali—berhenti dari kesibukan, berhenti menilai, berhenti mengejar dunia, berhenti melupakan Allah.
Di Arafah, waktu terasa berhenti. Di sanalah manusia disadarkan bahwa ia hanyalah tamu, dan setiap tamu pasti akan pulang.
Melempar Jumrah: Mengusir Setan di Dalam Diri
Banyak orang mengira setan hanya berada di luar diri, padahal yang paling berbahaya justru bersembunyi di dalam dada. Saat jamaah melempar jumrah, mereka sebenarnya sedang melempar ego, iri, amarah, dan keserakahan.
Abū Shujā‘ menulis:
“ورمي الجمار واجب، يبدأ بالجمرة الصغرى ثم الوسطى ثم الكبرى.”
“Melempar jumrah adalah kewajiban; dimulai dari jumrah kecil, kemudian tengah, lalu besar.”
Setiap batu yang dilempar bukan sekadar simbol, melainkan latihan spiritual untuk mengalahkan diri sendiri. Setan tidak pernah kalah oleh batu, tetapi ia gentar pada manusia yang berani menundukkan hawa nafsunya.
Tahalul: Melepaskan untuk Menjadi Baru
Setelah seluruh ritual selesai, jamaah menggundul rambutnya. Tindakan sederhana ini bukan karena rambut dianggap najis, tetapi karena ia menjadi simbol dunia yang harus dilepaskan.
Abū Shujā‘ menulis:
“والحلق أو التقصير واجب، والحلق أفضل.”
“Mencukur rambut atau memendekkannya wajib, dan mencukur habis lebih utama.”
Setiap helai rambut yang jatuh melambangkan pengampunan. Haji mengajarkan: untuk menjadi baru, kita harus rela kehilangan sebagian dari diri lama kita.
Penutup: Pulang Sebelum Mati
Ketika jamaah pulang dari Makkah, wajah mereka bersinar. Bukan semata karena bebas dari dosa, tetapi karena mereka telah menyentuh hakikat hidup.
Orang yang benar-benar berhaji bukan hanya yang sampai ke Tanah Suci, tetapi yang sampai pada kesadaran bahwa hidup ini hanyalah perjalanan pulang menuju Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“من حج فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه.”
“Barang siapa berhaji tanpa berkata kotor dan berbuat dosa, maka ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Maka, haji sejati bukan sekadar perjalanan geografis, melainkan perjalanan spiritual—perjalanan untuk pulang ke hati yang bersih, sebelum tubuh ini benar-benar pulang ke tanah.
Dan mungkin, di situlah makna terdalam dari kalimat Labbaik:
“Kami datang, ya Allah. Bahkan sebelum Engkau memanggil kami yang terakhir kali.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
