Khazanah
Beranda » Berita » Riba dan Dosa yang Terlihat Manis

Riba dan Dosa yang Terlihat Manis

Seorang pedagang muda menggenggam uang dengan wajah murung, dibelakangnya bayangan rantai — simbol dosa riba yang terlihat manis tapi menjerat.
Ilustrasi simbolik tentang manusia yang terikat oleh riba, menggambarkan manisnya keuntungan yang berubah menjadi beban batin.

Surau.co. Di zaman yang serba cepat ini, manusia sering kali tergoda oleh sesuatu yang tampak manis di awal namun menyisakan pahit di akhir. Salah satunya adalah riba — dosa yang dibungkus dengan kerapihan angka, ditandatangani dengan pena yang legal, dan disamarkan sebagai “kesepakatan bisnis”.

Padahal, sejak berabad-abad lalu, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb sudah menegaskan, riba bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi juga penyakit hati. Ia terlihat ringan, tapi merusak pelan-pelan; tampak sah di atas kertas, namun membusuk di dalam nurani.

Riba adalah dosa yang terlihat manis — karena ia menawarkan jalan pintas menuju kenyamanan. Namun, seperti madu beracun, manisnya hanya di bibir, bukan di jiwa.

Fenomena: Manis di Awal, Menyesakkan di Akhir

Kita sering menjumpai orang-orang yang terjerat utang karena tergoda tawaran “bunga kecil”, “angsuran ringan”, atau “pinjaman cepat”. Di awal, segalanya tampak mudah dan menyenangkan. Tapi setelah beberapa bulan, wajah cerah itu berubah menjadi cemas. Gaji habis sebelum akhir bulan, rumah tangga panas, dan doa di sepertiga malam penuh keluh kesah.

Abū Shujā‘ menulis dengan tegas:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“ويحرم بيع الربا، وهو الزيادة المشروطة في القرض.”
“Haram hukumnya jual beli riba, yaitu tambahan yang disyaratkan dalam pinjaman.”

Dalam satu kalimat itu, Abū Shujā‘ menghantam akar masalah ekonomi modern: ketamakan yang disamarkan sebagai perjanjian.
Tambahan kecil yang tampak adil di awal, justru menjadi belenggu di kemudian hari.

Allah pun sudah memperingatkan dengan keras dalam Al-Qur’an:

“يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ”
(QS. Al-Baqarah: 276)
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.”

Kalimat itu bukan sekadar ancaman, melainkan hukum spiritual kehidupan:
apa yang diperoleh dari keserakahan akan sirna,
sementara apa yang diberikan dengan ikhlas akan tumbuh.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Riba: Saat Angka Mengalahkan Nurani

Manusia modern terobsesi pada angka — persen, margin, return, profit. Tapi di balik semua itu, ada hati yang kering.
Abū Shujā‘ kembali mengingatkan:

“ولا يجوز بيع الذهب بالذهب، ولا الفضة بالفضة، إلا مثلا بمثل، يدا بيد.”
“Tidak boleh menjual emas dengan emas, atau perak dengan perak, kecuali seimbang dan secara tunai.”

Fiqh mengajarkan prinsip keadilan dalam pertukaran.
Bukan hanya agar tidak ada yang dirugikan, tapi agar manusia belajar menahan diri dari keinginan berlebihan.

Riba muncul ketika seseorang ingin menang lebih dari yang lain — ingin untung tanpa kerja keras, ingin kaya tanpa berkeringat.
Padahal dalam Islam, keuntungan sejati bukan datang dari mengambil, melainkan dari memberi.

Nabi ﷺ bersabda:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشد عند الله من ستة وثلاثين زنية.”
“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, sementara ia tahu (bahwa itu riba), lebih berat dosanya di sisi Allah daripada tiga puluh enam kali zina.” (HR. Ahmad)

Betapa mengerikan dosa yang tampak ringan ini.
Zina mungkin membuat malu di mata manusia, tapi riba mencoreng nurani di hadapan Tuhan.

Riba dan Peradaban yang Kehilangan Rasa

Hari ini, riba tidak hanya ada di bank, tapi juga di hati manusia — saat menilai orang dari seberapa besar keuntungannya, bukan seberapa tulus usahanya.
Riba telah menjadi budaya: pinjaman berbunga, hutang digital, bahkan “cicilan kebaikan” yang berbalut promosi. Semuanya menjual kenyamanan instan dan lupa akan keberkahan.

Abū Shujā‘ menulis lagi dengan penuh kebijaksanaan:

“ولا يجوز بيع ما لا يملك ولا ما لا يقدر على تسليمه.”
“Tidak sah menjual sesuatu yang tidak dimiliki dan tidak mampu diserahkan.”

Maknanya bukan hanya hukum jual beli, tapi juga peringatan moral.
Jangan menjual janji yang tidak bisa ditepati.
Jangan menggadaikan masa depan demi kepuasan hari ini.
Karena yang dijual lewat riba bukan hanya barang, tapi juga ketenangan batin.

Riba menjadikan manusia hamba dari hutangnya sendiri. Ia menciptakan peradaban yang penuh utang, bukan karena kekurangan, tapi karena kehilangan rasa cukup.

Sedekah: Obat dari Luka yang Ditinggalkan Riba

Riba menggerogoti, tapi sedekah menyembuhkan.
Allah menegaskan:

“وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوا عِندَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ”
(QS. Ar-Rūm: 39)
“Apa yang kamu berikan dalam bentuk riba agar bertambah pada harta manusia, tidak akan bertambah di sisi Allah. Tapi zakat dan sedekah yang kamu berikan karena Allah, itulah yang dilipatgandakan.”

Kata riba dan zakat dalam satu ayat ini seperti dua sisi kehidupan: yang satu menambah harta tapi menghapus keberkahan, yang satu mengurangi harta tapi menumbuhkan ketenangan.

Maka, untuk melawan riba bukan hanya dengan larangan, tapi dengan menghidupkan kembali semangat memberi.
Karena ketika hati penuh rasa syukur, riba kehilangan daya tariknya.

Riba dan Hati yang Kering dari Iman

Yang membuat riba begitu menggoda adalah karena ia menyentuh sisi paling rapuh dalam diri manusia: ketakutan akan kekurangan.
Riba menawarkan jaminan palsu, sementara iman mengajarkan tawakal yang sejati.

Abū Shujā‘ menutup bahasan ini dengan prinsip lembut:

“ويستحب في البيع التيسير وترك المماكسة.”
“Disunnahkan dalam jual beli untuk mempermudah dan tidak keras dalam tawar-menawar.”

Artinya, bahkan dalam mencari rezeki, Islam mengajarkan kelembutan.
Tidak perlu memeras, tidak perlu mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Karena sejatinya, rezeki yang berkah selalu datang lewat kemurahan hati, bukan kecerdikan tipu.

Penutup: Manis yang Menyelamatkan

Riba mungkin tampak manis, tapi hanya sedekah yang menenangkan.
Riba mungkin menggemukkan harta, tapi hanya zakat yang menyehatkan jiwa.

Al-Ghāyah wa at-Taqrīb mengajarkan bahwa hukum Islam bukan sekadar larangan, tapi jalan menuju kebersihan hati.
Riba bukan sekadar dosa ekonomi, tapi penyakit spiritual yang perlahan mematikan rasa kasih dan kejujuran.

Hiduplah sederhana, bekerja jujur, dan percaya bahwa yang ditambah oleh Allah tak akan habis.
Karena pada akhirnya, yang paling manis bukan keuntungan, tapi keberkahan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement