Surau.co. Di pasar-pasar kecil hingga toko daring di layar ponsel, manusia setiap hari sibuk jual beli. Dari tukang sayur hingga pemilik perusahaan besar, semuanya terlibat dalam satu urusan yang sama: mencari rezeki. Tapi sedikit yang benar-benar ingat, bahwa jual beli bukan sekadar transaksi, melainkan ibadah di antara timbangan dan niat.
Kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb karya Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī membahas bab al-buyu‘ (jual beli) dengan bahasa fiqh yang padat, tapi bila kita resapi, di dalamnya tersimpan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam. Ia bukan hanya bicara tentang hukum, tapi juga tentang kejujuran, keadilan, dan hati yang bersih dalam mencari nafkah.
Dalam dunia modern yang penuh tipu daya dan godaan keuntungan cepat, pesan Abū Shujā‘ terasa seperti cahaya di tengah hiruk-pikuk pasar: keberkahan tidak ditentukan oleh angka, tapi oleh kejujuran niat.
Ketika Transaksi Menjadi Cermin Hati
Kehidupan sehari-hari kini seperti lomba kecepatan. Orang ingin cepat kaya, cepat sukses, cepat terkenal. Namun di balik semua kecepatan itu, sering kali kejujuran tertinggal. Timbangan dipermainkan, kualitas dikurangi, janji dilanggar — semua demi untung sedikit lebih banyak.
Padahal, Abū Shujā‘ mengingatkan dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb:
“أركان البيع أربعة: العاقدان، والمعقود عليه، والصيغة.”
“Rukun jual beli ada empat: dua pihak yang berakad, objek akad, dan lafaz (ijab qabul).”
Terlihat seperti rumus hukum biasa, tapi di baliknya ada pelajaran moral yang halus:
setiap jual beli harus ada kejelasan, kesepakatan, dan kejujuran.
Tanpa kejujuran, akad menjadi sekadar formalitas.
Tanpa kejelasan, jual beli menjadi ruang bagi kezaliman kecil yang sering kita anggap sepele.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
“وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ”
“Kecelakaanlah bagi orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.” (QS. Al-Muthaffifin: 1)
Ayat ini tidak hanya bicara tentang timbangan beras atau gula, tapi juga tentang ketimpangan moral — saat seseorang menuntut haknya penuh, tapi memberi hak orang lain setengah.
Keuntungan yang Tidak Mengotori Hati
Banyak pedagang merasa bahagia saat dagangannya laku keras, tapi jarang yang bertanya: apakah Allah juga ridha?
Abū Shujā‘ menulis:
“ويحرم بيع الغرر، كبيع السمك في الماء والطير في الهواء.”
“Haram menjual barang yang tidak jelas, seperti ikan di air atau burung di udara.”
Islam melarang gharar (ketidakjelasan) bukan karena rumit, tapi karena ia akar dari banyak penipuan.
Ketika seseorang menjual sesuatu yang tidak jelas — baik kualitas, kuantitas, maupun keberadaannya — ia sedang menanam benih ketidakberkahan.
Di zaman sekarang, gharar bisa berbentuk janji manis iklan palsu, testimoni fiktif, atau produk yang berbeda dari foto katalog. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
“من غشنا فليس منا.”
“Barang siapa menipu, maka ia bukan bagian dari kami.” (HR. Muslim)
Keuntungan yang diperoleh dengan menipu orang lain hanyalah uang yang membawa resah. Sebaliknya, rezeki yang jujur — meski sedikit — membuat hati tenang dan wajah bercahaya.
Jual Beli yang Menyucikan, Bukan Mengotori
Jual beli bisa menjadi ibadah bila diniatkan untuk mencari ridha Allah. Karena itu, Abū Shujā‘ menulis dengan penuh kebijaksanaan:
“ويستحب في البيع الرفق واللين وترك الحلف الكاذب.”
“Disunnahkan dalam jual beli untuk bersikap lembut, santun, dan tidak bersumpah palsu.”
Betapa indahnya fiqh bila dihayati sebagai budi pekerti.
Lembut dalam berdagang berarti tidak memaksa pembeli, tidak menjelekkan pesaing, dan tidak menutup-nutupi kekurangan barang.
Sabar ketika rugi, bersyukur ketika laku — begitulah ibadah seorang pedagang sejati.
Rasulullah ﷺ bahkan bersabda:
“التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء.”
“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi)
Betapa tinggi derajat seorang pedagang yang menjaga hatinya di tengah gemerlap dunia.
Ia bisa jadi tidak hafal kitab, tapi setiap timbangannya adalah dzikir, setiap transaksinya adalah doa.
Rezeki yang Luas, Hati yang Lapang
Sering kita temui orang yang rezekinya sempit bukan karena kurang bekerja, tapi karena hatinya sempit.
Abū Shujā‘ menutup bab jual beli dengan prinsip keseimbangan:
“ويكره البيع بعد نداء الجمعة الثاني لمن تلزمه.”
“Dimakruhkan jual beli setelah azan kedua Jumat bagi mereka yang wajib menghadirinya.”
Artinya, bahkan di tengah urusan dunia, Islam tidak ingin manusia lupa arah.
Rezeki bukan hanya hasil kerja keras, tapi juga hasil keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Ketika azan berkumandang, itu tanda untuk menutup timbangan dunia dan membuka timbangan langit. Karena manusia tidak akan miskin bila Allah sudah ridha, dan tidak akan kaya bila hatinya jauh dari-Nya.
Penutup: Timbangan yang Tak Pernah Salah
Al-Ghāyah wa at-Taqrīb bukan hanya kitab hukum, tapi juga kitab hati.
Dari bab jual beli, kita belajar bahwa timbangan sejati bukan di meja pasar, tapi di dada manusia.
Di sana, Allah menimbang niat, bukan angka.
“فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ”
“Barang siapa melakukan kebaikan seberat zarrah, ia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7)
Jadi, di antara timbangan dan niat, manusia diberi kebebasan memilih:
apakah ingin kaya di dunia tapi miskin di akhirat,
atau cukup di dunia tapi tenang di hadapan Tuhan.
Dan mungkin, dalam setiap jual beli yang jujur, ada doa yang tidak diucapkan, tapi sampai ke langit — doa dari hati yang puas karena rezekinya bersih.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
