Surau.co – Tidak ada yang menikah untuk berpisah. Namun, hidup tidak selalu berjalan seperti rencana. Ada cinta yang tumbuh subur, ada pula yang perlahan gugur seperti daun di musim kemarau. Dalam fiqh, talaq menjadi pintu terakhir—pintu yang tidak diharapkan terbuka, tetapi tetap perlu ada untuk menjaga kemaslahatan.
Dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī membahas talaq dengan ketenangan seorang ulama bijak. Ia tidak menulis dengan nada marah atau menghakimi, melainkan menjelaskan dengan jernih bagaimana perpisahan seharusnya tetap dijalani dengan adab, kesadaran, dan tanggung jawab.
Frasa kuncinya, “talaq dan air mata yang sah secara syara‘,” seakan mengingatkan kita bahwa syariat tidak menolak kesedihan manusia. Justru, syariat mengajarkan cara menangis dengan terhormat—cara berpisah tanpa kehilangan kemanusiaan.
Ketika Cinta Tidak Lagi Menyatukan
Kita hidup di zaman ketika banyak orang percaya bahwa cinta cukup untuk mempertahankan segalanya. Padahal, cinta tanpa kebijaksanaan sering melahirkan luka. Ada kalanya dua hati yang dulu saling meneduhkan kini justru saling menyakiti.
Abū Shujā‘ menulis dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb:
“وَأَقَلُّ الطَّلَاقِ لَفْظٌ يُفِيدُ الْفُرْقَةَ، وَهُوَ ثَلَاثَةٌ: صَرِيحٌ وَكِنَايَةٌ وَتَعْلِيقٌ.”
“Talaq paling sedikit adalah dengan lafaz yang menunjukkan perpisahan, dan terbagi menjadi tiga: sharih (jelas), kinayah (sindiran), dan ta‘liq (bersyarat).”
Bahkan dalam talaq, bahasa tetap dijaga. Setiap kata punya bobot, dan setiap ucapan menanggung akibat. Karena itu, syariat mengingatkan: jangan jadikan amarah sebagai fatwa, dan jangan jadikan kesedihan sebagai hukum.
Dengan demikian, Islam bukan menganjurkan perceraian, melainkan mengatur agar perpisahan tetap manusiawi.
Talaq: Izin yang Diberi dengan Berat Hati
Rasulullah ﷺ bersabda:
“أبغض الحلال إلى الله الطلاق.”
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.” (HR. Abu Dawud)
Kata “dibenci” di sini tidak bermakna haram, melainkan menunjukkan betapa beratnya keputusan ini. Kadang dua orang berpisah bukan karena benci, tetapi karena ingin berhenti saling menyakiti.
Abū Shujā‘ juga menegaskan:
“وَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ إِلَّا مِنْ زَوْجٍ بَالِغٍ عَاقِلٍ مُخْتَارٍ.”
“Talaq tidak sah kecuali diucapkan oleh suami yang baligh, berakal, dan dengan kehendak sendiri.”
Tiga syarat itu penting: baligh, berakal, dan sadar.
Artinya, keputusan bercerai tidak boleh lahir dari emosi buta. Ia tidak sah bila keluar dari mulut yang dikuasai amarah atau kehilangan akal sehat. Islam menuntun setiap keputusan agar lahir dari kesadaran penuh, bukan dari letupan sesaat.
Air Mata yang Disaksikan Malaikat
Talaq adalah perpisahan yang diatur, bukan permainan kata. Islam tidak menormalisasi perceraian, tetapi juga tidak mengekang mereka yang tak lagi bisa hidup dalam damai.
Abū Shujā‘ menulis:
“وَالطَّلَاقُ الرَّجْعِيُّ يَجُوزُ فِيهِ الرُّجُوعُ مَا لَمْ تَنْقَضِ الْعِدَّةُ.”
“Dalam talaq raj‘i, suami boleh rujuk selama masa iddah belum selesai.”
Lihatlah kelembutan syariat: bahkan setelah kata “cerai” terucap, masih ada ruang untuk berpikir dan menyesal. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Islam tahu bahwa manusia mudah tergelincir oleh emosi, maka ia memberi jeda agar kesadaran bisa tumbuh kembali.
Selama masa iddah, air mata mungkin jatuh di malam-malam panjang. Namun, setiap tetesnya disaksikan malaikat—menjadi bukti bahwa Allah memberi kesempatan kedua bagi hati yang ingin bertaut kembali.
Ketika Perpisahan Menjadi Jalan Keselamatan
Tidak semua cinta bisa bertahan selamanya. Ada cinta yang datang untuk mengajarkan, lalu pergi agar kita belajar melepaskan. Karena itu, perpisahan pun bisa menjadi bentuk kebaikan bila dijalani dengan sabar dan beradab.
Allah berfirman:
“فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ”
(QS. Al-Baqarah: 229)
“(Perpisahan itu) dilakukan dengan cara yang baik, atau berpisah dengan cara yang ihsan (terhormat).”
Ayat ini menjadi pegangan bagi hati yang retak: bila harus melepaskan, lepaskan dengan cara yang mulia. Karena talaqbukan akhir segalanya, melainkan pintu menuju kedewasaan.
Pada akhirnya, syariat tidak hanya mengatur bagaimana menikah, tetapi juga bagaimana berpisah tanpa saling melukai.
Belajar Menangis dengan Terhormat
Banyak orang mengira talaq hanya perkara hukum dan lafaz. Padahal, di baliknya tersimpan nilai spiritual yang dalam. Talaq mengajarkan manusia untuk bersedih dengan hormat, bukan dengan dendam.
Abū Shujā‘ menulis:
“وَيُسْتَحَبُّ عَدُّ الطَّلَاقِ وَالْإِمْسَاكِ بِالْمَعْرُوفِ.”
“Disunnahkan menghitung talaq dengan jelas dan mempertahankan hubungan dengan cara yang baik.”
Pesan ini begitu tegas: jangan biarkan ego memutuskan sesuatu yang belum pasti benar. Cinta boleh pudar, tetapi adab harus tetap dijaga.
Islam mengajarkan kita untuk tetap menjaga cara, bahkan saat hati sedang patah.
Di situlah letak kemuliaan manusia: mampu bersedih tanpa menyalahi, mampu berpisah tanpa melukai.
Penutup: Ketika Cinta Menjadi Doa
Talaq bukan kutukan, melainkan jalan yang Allah sediakan ketika dua hati tak lagi mampu menjaga kedamaian. Ia bukan tanda kegagalan, tetapi fase menuju kesadaran baru.
Jika cinta pernah mengajarkan memberi, maka perpisahan mengajarkan melepaskan dengan doa. Sebab pada akhirnya, cinta sejati bukan tentang memiliki, tetapi tentang mendoakan dari kejauhan agar yang pernah dicintai tetap bahagia.
Rumi pernah menulis:
“Jangan berduka. Apa pun yang kau kehilangan, akan kembali padamu dalam bentuk lain.”
Dan mungkin, di sanalah hikmah talaq berdiam: bukan sebagai akhir cinta, melainkan perubahan bentuknya menjadi doa yang lebih tenang.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
