Khazanah
Beranda » Berita » Nikah: Ibadah yang Belajar dari Sabar

Nikah: Ibadah yang Belajar dari Sabar

Sepasang suami istri muda duduk di teras rumah diterpa cahaya sore — simbol nikah sebagai ibadah yang belajar dari sabar.
Ilustrasi simbolik tentang kesabaran dalam pernikahan, menggambarkan ketenangan dan kebersamaan yang lahir dari cinta sejati.

Surau.co. Setiap cinta yang tulus pada akhirnya ingin menemukan rumahnya — bukan sekadar pelukan, tapi ketenangan. Nikah, dalam pandangan Al-Ghāyah wa at-Taqrīb karya Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī, bukan hanya penyatuan dua tubuh, tapi pertemuan dua jiwa yang sedang belajar tentang sabar, kasih, dan pengorbanan.

Di tengah zaman ketika hubungan sering lebih singkat dari masa promo paket data, makna sabar dalam cinta seolah jadi barang langka. Banyak pasangan muda berpisah bukan karena tak cinta, tapi karena tak sabar menumbuhkan cinta.

Dalam kitabnya, Abū Shujā‘ menulis dengan nada sederhana namun mendalam:

“وَالنِّكَاحُ سُنَّةٌ لِمَنْ احْتَاجَ إِلَيْهِ، وَيُكْرَهُ لِمَنْ لَا يَشْتَهِيهِ.”
“Nikah adalah sunnah bagi yang membutuhkannya, dan makruh bagi yang tidak memiliki keinginan terhadapnya.”

Kalimat ini tampak sederhana, tapi sejatinya mengandung hikmah besar: pernikahan adalah tanggung jawab spiritual, bukan sekadar perasaan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Cinta Tak Cukup, Harus Ada Kesadaran

Banyak anak muda hari ini terburu-buru menikah karena takut kesepian, bukan karena siap. Padahal, menikah bukan soal mengisi waktu, tapi mengisi jiwa.
Cinta yang tulus memang penting, tapi kesadaran jauh lebih penting.

Abū Shujā‘ menegaskan:

“وَلَا يَجُوزُ النِّكَاحُ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.”
“Pernikahan tidak sah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”

Perkawinan dalam Islam bukan transaksi pribadi, melainkan ikatan sosial dan spiritual. Ia disaksikan manusia dan disahkan oleh Allah.
Dua saksi bukan sekadar formalitas; mereka adalah tanda bahwa cinta ini tidak berdiri sendiri. Bahwa cinta harus punya saksi, bukan sembunyi-sembunyi dalam pesan singkat atau pertemuan di kafe.

Ketika Nikah Mengajarkan Sabar

Pernikahan bukan tempat berlindung dari lelah, tapi tempat belajar menghadapi lelah bersama.
Abū Shujā‘ melanjutkan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“وَيُسْتَحَبُّ لِمَنْ لَا يَشْتَهِي النِّسَاءَ أَنْ يُنْصَرِفَ إِلَى الْعِبَادَةِ وَيَدَعَ النِّكَاحَ.”
“Disunnahkan bagi yang tidak memiliki kebutuhan terhadap wanita agar berfokus kepada ibadah dan meninggalkan pernikahan.”

Ini bukan larangan menikah, tapi pengingat: jangan masuk ke pernikahan kalau hatimu belum siap beribadah lewat kesabaran.
Karena sesungguhnya, nikah adalah ibadah yang paling panjang durasinya dan paling banyak ujiannya.

Beribadah di masjid mungkin cukup lima menit wudhu dan sepuluh menit shalat, tapi beribadah dalam rumah tangga butuh seumur hidup kesetiaan dan kesabaran.

Rumah Tangga: Madrasah Keikhlasan

Pernikahan adalah madrasah — tempat belajar mengasihi tanpa pamrih, meminta maaf tanpa gengsi, dan memberi tanpa menghitung.
Kadang cinta diuji bukan dengan perpisahan, tapi dengan rutinitas yang membosankan.

Allah berfirman:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

“وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا، وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً”
(QS. Ar-Rūm: 21)
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang.”

Ayat ini menyebut dua hal yang menjaga rumah tangga: mawaddah (cinta yang bergelora) dan rahmah (kasih yang menenangkan).
Ketika mawaddah mulai pudar, rahmah lah yang membuat kita bertahan.
Itulah sabar — bentuk cinta yang tidak lagi berbunga-bunga, tapi tetap hidup.

Ujian yang Membentuk Kedewasaan

Abū Shujā‘ juga mengingatkan hal penting dalam bab talak:

“الطَّلَاقُ مَكْرُوهٌ إِلَّا لِحَاجَةٍ.”
“Talak itu makruh kecuali karena kebutuhan yang mendesak.”

Islam tidak memuja perceraian, tapi juga tidak menahannya dengan paksaan. Pernikahan bukan penjara, tapi juga bukan permainan.
Bila sampai harus berpisah, itu bukan kegagalan, melainkan pelajaran bahwa tidak semua cinta harus tinggal, tapi semua cinta harus meninggalkan kebaikan.

Kadang, sabar bukan berarti bertahan di tempat yang salah, tapi berani menerima kenyataan dengan lapang.

Cinta yang Menghidupkan, Bukan Mematikan

Cinta dalam pernikahan bukan untuk menguasai, tapi untuk menghidupkan.
Seorang suami yang bijak tidak menuntut istrinya menjadi sempurna, melainkan bersyukur karena diberi teman untuk tumbuh.
Begitu pula seorang istri, ia tak menuntut suaminya selalu benar, tapi bersabar untuk berjalan bersama.

Rumi berkata,

“Cinta bukan tentang menatap satu sama lain, tapi menatap ke arah yang sama.”

Begitulah makna cinta dalam pernikahan: berjalan searah menuju Allah.
Karena pada akhirnya, pernikahan bukan tentang dua orang yang saling memiliki, tapi tentang dua hati yang saling mengingatkan menuju Yang Memiliki.

Menjadi Pasangan yang Saling Menumbuhkan

Nikah adalah perjalanan, bukan tujuan akhir.
Abū Shujā‘ mengajarkan dalam kitabnya bahwa setiap perbuatan dalam pernikahan — memberi nafkah, melayani pasangan, mendidik anak — semuanya bernilai ibadah.
Tapi ibadah ini hanya berarti bila dilakukan dengan kesadaran dan cinta.

Pernikahan yang baik bukan yang selalu bahagia, tapi yang mampu menumbuhkan. Kadang pertengkaran justru membuat keduanya lebih memahami; kadang diam adalah bentuk sabar yang paling tulus.

“Sabar dalam cinta bukan bertahan tanpa alasan, tapi bertahan dengan kesadaran.”

Dan mungkin, di situlah letak ibadah sejati dalam nikah — belajar menerima manusia lain apa adanya, sambil terus memperbaiki diri bersama.

Penutup: Menjadi Lebih Tulus Lewat Sabar

Al-Ghāyah wa at-Taqrīb memberi kita pelajaran bahwa fiqh bukan sekadar hukum, tapi juga jalan untuk menyucikan hati.
Dari bab nikah, kita belajar bahwa pernikahan bukan sekadar izin halal, tapi pintu menuju kedewasaan rohani.

Nikah bukan tentang siapa yang paling romantis, tapi siapa yang paling sabar.
Karena sabar itulah bentuk cinta yang paling nyata — cinta yang tak butuh kata, tapi diwujudkan dalam laku sehari-hari.

Jadi, kalau cinta itu terasa berat, jangan menyerah.
Mungkin Allah sedang mendidikmu lewat cinta itu — agar hatimu menjadi lebih sabar, lebih lembut, dan lebih manusiawi.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement