Khazanah
Beranda » Berita » Janazah: Mengantar Diri Kita Sendiri ke Liang Sunyi

Janazah: Mengantar Diri Kita Sendiri ke Liang Sunyi

Pemuda berjalan di jalan pedesaan menuju tanah makam berkabut pagi — simbol mengantar diri ke liang sunyi.
Lukisan simbolik tentang manusia yang berjalan menuju keabadian dengan hati tenang, menggambarkan makna spiritual kematian.

Surau.co. Kematian selalu terasa jauh, padahal setiap hari kita berjalan ke arahnya. Kita menghadiri pemakaman orang lain, membaca Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn, lalu pulang seperti biasa. Namun dalam diam, sebenarnya kita sedang belajar mengantar diri sendiri.

Dalam Kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī menulis bab tentang janāzah (pengurusan jenazah) dengan ketenangan dan ketelitian khas ulama Syafi‘iyyah. Ia tidak menulis dengan nada takut, tetapi penuh hikmah: seolah kematian bukan ancaman, melainkan pengingat lembut bahwa hidup ini pinjaman.

Frasa kunci “Janazah: Mengantar Diri Kita Sendiri ke Liang Sunyi” bukanlah metafora puitis semata. Ia adalah cermin agar manusia sadar, setiap langkah kita hari ini sedang menggali lubang untuk tubuh kita sendiri — lubang yang tenang, tapi juga jujur.

Ketika Hidup Mengajarkan Cara Mati

Kematian bukan datang tiba-tiba. Ia datang perlahan, melalui rambut yang mulai memutih, langkah yang melambat, dan hati yang mulai bosan dengan dunia.
Abū Shujā‘ membuka pembahasan dengan kalimat yang sederhana namun mendalam:

“وَغُسْلُ الْمَيِّتِ فَرْضُ كِفَايَةٍ”
“Memandikan jenazah adalah fardhu kifāyah.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Fardhu kifayah berarti kewajiban bersama — jika sebagian telah melakukannya, gugurlah kewajiban dari yang lain. Tetapi bayangkan, betapa manusia yang selama hidupnya mencintai kebersihan dan harum minyak wangi, kelak akan dimandikan oleh tangan orang lain yang mungkin tak pernah ia kenal.

Itulah cara Allah mengajari kita kerendahan.
Bahwa tak peduli seberapa tinggi jabatan atau luas rumah kita, suatu saat tubuh ini akan disucikan oleh tangan orang lain, bukan oleh kekuasaan atau kekayaan.

Lembutnya Syariat dalam Mengurus Jenazah

Abū Shujā‘ menulis dengan teliti:

“وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُغَسِّلَهُ أَوْثَقُ النَّاسِ وَأَفْضَلُهُمْ وَأَعْرَفُهُمْ بِسُنَّةِ الْغُسْلِ.”
“Disunnahkan agar yang memandikan jenazah adalah orang yang paling dapat dipercaya, paling utama, dan paling tahu tata cara memandikan.”

Perhatikan betapa indahnya Islam mengatur. Bahkan dalam keadaan mati pun, kehormatan manusia tetap dijaga. Tak sembarang orang boleh menyentuh tubuh jenazah; hanya mereka yang penuh amanah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kita belajar dari sini, bahwa manusia seharusnya saling menjaga bukan hanya saat hidup, tapi juga setelah mati. Dunia mungkin penuh kebencian dan pertikaian, tapi begitu ajal datang, semua harus melembut.

Memandikan jenazah bukan hanya ritual, tapi pengakuan terakhir terhadap kemanusiaan seseorang.

Dibungkus dalam Kesederhanaan

Dalam kitab itu, Abū Shujā‘ melanjutkan:

“وَيُكَفَّنُ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ لَا قَمِيصَ فِيهَا وَلَا عِمَامَةَ.”
“Jenazah dikafani dengan tiga lembar kain putih, tanpa baju dan tanpa sorban.”

Tiga lembar kain putih — itu saja. Tidak ada merek, tidak ada harga mahal, tidak ada motif mewah. Semua sama.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Di hadapan kematian, status dan simbol sosial berhenti bekerja. Yang tersisa hanyalah kain putih — simbol kesetaraan dan kejujuran hidup.

Betapa indahnya Islam menuntun kita melepas dunia dengan sederhana.
Kita lahir tanpa membawa apa pun, dan akan kembali tanpa membawa apa pun juga.

Rumi pernah menulis, “Jangan takut mati, karena mati bukan akhir, tapi kembalinya jiwa ke rumah asalnya.”
Begitu juga kafan: bukan penutup, tapi pakaian perjalanan pulang.

Doa Terakhir dari Orang yang Tertinggal

Abū Shujā‘ melanjutkan dalam bab shalāt al-janāzah:

“وَفَرَائِضُ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ أَرْبَعَةٌ: النِّيَّةُ، وَالْقِيَامُ لَهَا، وَالتَّكْبِيرَاتُ الأَرْبَعُ، وَالدُّعَاءُ لَهُ.”
“Fardhu shalat jenazah ada empat: niat, berdiri, empat kali takbir, dan doa untuknya.”

Shalat jenazah tidak memiliki rukuk dan sujud, karena ia bukan doa untuk diri sendiri, tapi untuk orang lain.
Di situlah letak keindahan ajaran ini: bahkan setelah seseorang pergi, ia masih mendapat cinta berupa doa.

Tak ada sujud, karena yang dishalatkan sudah tak bisa bersujud.
Tak ada rukuk, karena tubuhnya sudah kaku.
Yang tersisa hanyalah doa — bisikan lembut agar Allah memaafkan dan memuliakan perjalanan terakhirnya.

Kita sering takut mati karena membayangkan gelapnya kubur, padahal yang menakutkan bukan gelapnya tanah, tapi gelapnya amal.
Sementara, bagi yang hatinya bersih, liang lahat hanyalah taman istirahat yang sunyi.

Mengantar Diri Sendiri dalam Diam

Setiap kali kita ikut mengantarkan jenazah, sebenarnya kita sedang berlatih mengantarkan diri sendiri.
Langkah-langkah kita menuju kubur bukan hanya langkah duka, tapi juga langkah kesadaran: bahwa setiap napas adalah hitungan mundur.

Nabi ﷺ bersabda:

“كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ”
“Jadilah di dunia seperti orang asing atau seorang musafir.” (HR. Bukhari)

Hidup ini singgah, mati adalah kepulangan. Maka tak perlu berlebihan dalam hal yang sementara.
Kita hanya penumpang di perhentian yang sebentar.

Saat azan jenazah dikumandangkan di kuburan, tanah pun seolah berkata, “Aku bukan akhir, aku awal dari keabadianmu.”

Penutup: Belajar Mati Sebelum Mati

Al-Ghāyah wa at-Taqrīb bukan hanya kitab fiqh, tapi juga cermin spiritual. Dalam bab janāzah, Abū Shujā‘ seperti mengajarkan: “Pelajarilah kematian, agar kau tahu cara hidup dengan benar.”

Mengurus jenazah bukan tugas berat, tapi kehormatan. Karena di sana kita menolong seseorang untuk menyelesaikan perjalanannya. Dan kelak, orang lain akan menolong kita dengan cara yang sama.

Hidup yang baik bukan yang panjang, tapi yang dipersiapkan untuk mati dengan tenang.
Kematian tidak menakutkan bila hati sudah damai, dan dunia tidak menyesakkan bila kita tahu arahnya.

“Barang siapa mengingat mati dengan lembut, maka hidupnya akan terasa ringan dan penuh makna.”

Semoga kita semua belajar untuk mengantar, sebelum diantar.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement