Khazanah
Beranda » Berita » Zakat: Menyembuhkan Harta, Menyembuhkan Hati

Zakat: Menyembuhkan Harta, Menyembuhkan Hati

Seorang pemuda menyerahkan zakat kepada orang tua di jalan desa saat senja — simbol zakat yang menye
Ilustrasi simbolik tentang zakat sebagai jembatan kasih dan pembersih hati.

Surau.co. Di dunia yang sibuk mengejar materi, zakat sering dianggap sekadar kewajiban tahunan — semacam “pajak agama” yang harus dibayar agar status ibadah tetap sah. Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, zakat bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga menyembuhkan hati dari penyakit yang tak terlihat: keserakahan, rasa takut kehilangan, dan cinta dunia yang berlebihan.

Frasa kunci “zakat menyembuhkan harta” seharusnya juga dibaca sebagai “zakat menyembuhkan manusia”. Sebab, sesungguhnya yang butuh disucikan bukan hanya dompet, tapi juga nurani.

Ketika Harta Tak Lagi Menenangkan

Fenomena hari ini mudah kita jumpai — banyak orang yang hartanya melimpah, tapi tetap merasa gelisah. Mereka bekerja tanpa henti, menabung tanpa batas, tapi hidupnya selalu diliputi rasa cemas. Itulah tanda bahwa harta yang dikumpulkan belum disucikan.

Dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Abū Shujā‘ menulis:

“وَفَرَائِضُ الزَّكَاةِ أَرْبَعَةٌ: النِّيَّةُ، وَتَمْلِيكُ الْمَالِ لِلْمُسْتَحِقِّ، وَالْمَالُ الْمُزَكَّى، وَالْمِقْدَارُ الْمَعْلُومُ.”
“Fardhu zakat ada empat: niat, menyerahkan harta kepada yang berhak, harta yang dizakati, dan kadar yang ditentukan.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Perhatikan, yang pertama disebut adalah niat. Artinya, zakat dimulai dari hati sebelum dari tangan.
Kalau niatnya sekadar menggugurkan kewajiban, zakat hanya memindahkan uang. Tapi bila niatnya tulus, zakat akan memindahkan keberkahan.

Ketika Memberi Bukan Kehilangan

Zakat adalah ibadah yang tampak seperti mengurangi, padahal justru menambah. Dalam logika manusia, memberi berarti kehilangan. Tapi dalam logika Allah, memberi adalah cara memperluas rezeki.

Abū Shujā‘ menulis:

“وَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي الْمَالِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ إِلَّا فِي الْمَعْدِنِ وَالرِّكَازِ.”
“Zakat tidak wajib atas harta kecuali setelah dimiliki selama satu tahun, kecuali pada barang tambang dan harta terpendam.”

Di situ terkandung hikmah: manusia diberi waktu untuk memahami bahwa harta itu titipan, bukan milik mutlak. Selama satu tahun kita memegangnya, Allah hanya meminta sedikit saja — 2,5%. Tapi banyak yang merasa berat, seolah kehilangan segalanya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Padahal, zakat bukan kehilangan, tapi pembebasan. Seperti seseorang yang membuang duri dari kakinya. Ia kehilangan sedikit, tapi bisa berjalan lebih tenang.

Zakat dan Luka yang Tak Terlihat

Kita sering merasa diri ini baik hanya karena sudah rajin bersedekah. Namun, zakat punya kedudukan yang berbeda. Ia bukan kebaikan tambahan, melainkan pembersihan yang wajib.
Allah berfirman:

“خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا”
(QS. At-Taubah: 103)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, untuk membersihkan dan menyucikan mereka.”

Zakat bukan hanya menghapus dosa, tapi juga menumbuhkan empati. Ia memaksa hati untuk melihat di luar dirinya — kepada wajah-wajah yang lapar, kepada tangan-tangan yang lemah.

Ketika seseorang mengeluarkan zakat dengan sadar, ia sedang mengatakan, “Ya Allah, aku tahu sebagian dari rezeki ini bukan milikku.”
Itulah penyembuhan yang halus tapi dalam: keikhlasan yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Zakat yang Mengalir, Bukan Sekadar Bayar

Zakat bukan “bayaran” untuk menenangkan rasa bersalah karena berlebih, tapi aliran kasih dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Abū Shujā‘ juga menegaskan:

“وَيُخْرَجُ الزَّكَاةُ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَصْنَافٍ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ…”
“Zakat diberikan kepada delapan golongan sebagaimana firman Allah: ‘Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang fakir…’”

Delapan golongan itu bukan sekadar daftar penerima, tapi cerminan dari delapan wajah kemanusiaan: fakir yang butuh sandaran, miskin yang menanti uluran, amil yang bekerja, muallaf yang baru belajar iman, budak yang ingin merdeka, orang berutang, pejuang di jalan Allah, dan musafir yang terasing.

Setiap golongan adalah bagian dari tubuh umat. Maka ketika zakat diberikan, sejatinya kita sedang mengalirkan kehidupan ke tubuh bersama.

Menyembuhkan Hati yang Keras

Abū Shujā‘ dalam bagian akhirnya menulis dengan halus:

“وَيُسْتَحَبُّ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ سِرًّا إِلَّا أَنْ يُظْهِرَهَا لِيُقْتَدَى بِهِ.”
“Disunnahkan mengeluarkan zakat secara sembunyi, kecuali bila menampakkannya agar menjadi teladan.”

Artinya, zakat sejati bukan untuk dipamerkan, tapi untuk melunakkan hati.
Karena hati yang keras tak bisa disembuhkan dengan banyaknya doa, tapi dengan perasaan bahwa kita bukan satu-satunya yang berjuang di dunia ini.

Cobalah lihat wajah seseorang yang baru menerima zakat. Ada kelegaan yang tak bisa diungkapkan kata-kata — bukan hanya dari mereka, tapi juga dari kita yang memberi.
Sebab, memberi dengan hati itu seperti memeluk sesama manusia dalam keheningan.

Harta Bersih, Hati Tenang

Zakat adalah terapi spiritual. Ia membuat harta kita berkah dan hidup lebih ringan. Setelah berzakat, sering kali Allah mengganti dari arah yang tak disangka.
Sebaliknya, harta yang disembunyikan dari kewajiban akan membawa beban tak terlihat. Bukan karena uangnya berkurang, tapi karena hatinya kehilangan kedamaian.

Zakat, bila dilakukan dengan penuh kesadaran, akan menjadikan seseorang lebih manusiawi. Ia tak lagi menghitung berapa yang keluar, tapi bersyukur masih bisa memberi.

“Zakat adalah cinta dalam bentuk paling sunyi. Ia tidak menuntut balasan, hanya ingin membersihkan jalan agar rahmat Allah mengalir lebih leluasa.”

Penutup: Saatnya Menyembuhkan Diri dengan Memberi

Hidup ini bukan tentang seberapa banyak yang kita kumpulkan, tapi seberapa banyak yang bisa kita lepaskan.
Zakat adalah latihan melepaskan — sedikit dari harta, sedikit dari ego, sedikit dari ketakutan kehilangan.

Setiap kali kita memberi, sebenarnya kita sedang menyembuhkan diri.
Menyembuhkan dari ketamakan, dari kesepian, dari jarak yang tercipta antara kaya dan miskin.

Maka, keluarkan zakatmu bukan karena takut dosa, tapi karena ingin sehat — sehat harta, sehat hati, sehat jiwa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement