Khazanah
Beranda » Berita » Puasa: Saat Lapar Menjadi Guru yang Lembut

Puasa: Saat Lapar Menjadi Guru yang Lembut

Pemuda menatap langit senja dengan segelas air di depannya — simbol puasa sebagai guru yang lembut.
Ilustrasi simbolik tentang kesederhanaan dan syukur saat berbuka puasa, menggambarkan ketenangan dan makna spiritual dari lapar.

Surau.co. Puasa bukan sekadar menahan makan dan minum, melainkan pelajaran besar tentang kesabaran dan kesadaran. Dalam Kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī menulis bab tentang puasa (ṣaum) dengan bahasa sederhana namun bermakna dalam. Ia tidak hanya menjelaskan hukum, tapi juga menggambarkan puasa sebagai latihan spiritual yang menuntun manusia mengenal dirinya sendiri.

Frasa kunci “puasa: saat lapar menjadi guru yang lembut” mengingatkan bahwa lapar bisa mendidik jiwa lebih efektif daripada nasihat panjang. Ketika perut kosong, hati justru terisi. Saat tubuh terasa lemah, jiwa tumbuh kuat.

Abū Shujā‘ menulis dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb:

“وَفَرَائِضُ الصَّوْمِ ثَلَاثَةٌ: النِّيَّةُ، وَالإِمْسَاكُ عَنِ المُفَطِّرَاتِ، وَعَنِ الجِمَاعِ مِنْ طُلُوعِ الفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ.”
“Fardhu puasa ada tiga: niat, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, dan menahan diri dari hubungan suami istri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.”

Di balik kalimat yang tampak sederhana ini, tersembunyi filosofi mendalam: manusia harus belajar menahan, mengatur, dan mengarahkan diri. Sebab sesungguhnya, manusia lebih sering tumbang oleh keinginan, bukan oleh kekurangan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ketika Lapar Mengajar Tanpa Suara

Kita hidup di masa di mana kenyang dianggap tanda bahagia. Restoran selalu ramai, promo makanan bertebaran, dan rasa lapar jarang benar-benar kita kenal. Padahal, lapar — dalam puasa — adalah guru yang lembut namun tegas.

Abū Shujā‘ mengingatkan:

“وَيُسْتَحَبُّ تَعْجِيلُ الإِفْطَارِ وَتَأْخِيرُ السَّحُورِ.”
“Disunnahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.”

Ada keseimbangan yang diajarkan di sana. Puasa tidak dimaksudkan untuk menyiksa, melainkan untuk mengendalikan. Kita menahan lapar, tetapi tidak berlebihan dalam menahan diri. Allah tidak memerintahkan puasa agar manusia menderita, melainkan agar manusia belajar mengatur.

Dengan lapar, kita belajar bahwa tidak semua keinginan harus segera terpenuhi. Bahwa bahagia tidak datang dari kenyang, melainkan dari rasa syukur yang tumbuh di hati.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Puasa dan Kejujuran Diri

Selain melatih kesabaran, puasa juga menumbuhkan kejujuran yang paling halus. Tak ada yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali dirinya sendiri dan Allah. Karena itu, puasa menjadi latihan kejujuran yang paling murni.

Abū Shujā‘ menulis:

“وَيُفْسِدُ الصَّوْمَ كُلُّ مَا وَصَلَ إِلَى الجَوْفِ عَمْدًا.”
“Puasa batal dengan segala sesuatu yang sengaja dimasukkan ke dalam rongga tubuh.”

Makna di baliknya jauh lebih luas. Yang membatalkan puasa bukan hanya makanan atau minuman, tetapi juga kemarahan, kebohongan, dan iri hati yang disimpan diam-diam. Puasa mengajarkan kita untuk jujur kepada diri sendiri: tidak perlu orang lain tahu, asal Allah tahu bahwa kita sungguh menahan diri.

Lapar yang Membuka Mata Hati

Rasa lapar juga menumbuhkan empati. Saat berpuasa, kita ikut merasakan perih yang dialami orang miskin setiap hari. Karena itu, puasa tidak berhenti sebagai ritual, tetapi berubah menjadi pengalaman kemanusiaan yang mendalam.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Allah berfirman:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”
(QS. Al-Baqarah: 183)
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.”

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan puasa bukan hanya menahan lapar, melainkan menumbuhkan takwa — kesadaran akan kehadiran Allah. Setiap kali kita menahan amarah karena sedang berpuasa, takwa perlahan tumbuh dalam diri.

Puasa mengajarkan kita untuk berhenti sejenak sebelum bereaksi, memberi ruang bagi kesadaran berbicara sebelum lidah bergerak lebih cepat dari hati.

Sabar yang Lahir dari Lapar

Lapar menurunkan keangkuhan dan meredakan nafsu. Dari sana, kesabaran tumbuh secara alami.

Abū Shujā‘ menulis:

“وَيُسْتَحَبُّ الإِكْثَارُ مِنَ العِبَادَةِ فِي رَمَضَانَ.”
“Disunnahkan memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan.”

Puasa menjadikan ibadah terasa ringan karena hati sedang bersih. Orang yang sedang lapar biasanya lebih jujur kepada dirinya sendiri. Ia mulai tahu mana kebutuhan sejati dan mana keinginan semu.

Dengan menahan lapar, manusia tidak kehilangan dirinya, justru menemukannya kembali.

Puasa sebagai Jalan Pulang

Lebih dalam lagi, puasa sejatinya adalah perjalanan pulang menuju fitrah. Dalam rutinitas harian, kita sering terlalu sibuk mengejar kepuasan hingga lupa kepada Sang Pemberi kenyang. Puasa menuntun kita kembali ke kesederhanaan — seperti bayi yang bergantung hanya pada kasih Allah.

Nabi ﷺ bersabda:

“لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.”
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kebahagiaan pertama muncul ketika seteguk air menjadi kenikmatan surga di dunia. Kebahagiaan kedua datang kelak, ketika kita bertemu Allah dengan hati yang bersih dari hawa nafsu.

Dengan begitu, setiap hari puasa sejatinya sedang menyiapkan kita untuk pertemuan itu — pertemuan dengan Sang Kekasih.

Menutup Hari dengan Syukur

Ketika adzan Maghrib berkumandang dan seteguk air menyentuh tenggorokan, kita merasakan syukur yang paling murni. Satu teguk yang biasa saja berubah menjadi pengalaman spiritual yang dalam.

Di dunia yang serba cepat dan berlimpah, puasa mengajak kita memperlambat langkah. Ia menuntun kita menikmati nikmat dengan penuh kesadaran.

Akhirnya, kita sadar: lapar bukan musuh, tapi guru. Ia mengajarkan kita untuk tidak serakah, untuk bersabar, dan untuk memahami bahwa “cukup” adalah bentuk kekayaan sejati.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement