Surau.co. Setiap kali azan berkumandang, udara tiba-tiba menjadi hening. Burung-burung berhenti sejenak, langkah orang melambat, bahkan hati yang tadinya resah ikut menoleh ke arah suara itu. Bagi seorang mukmin, suara azan bukan hanya panggilan untuk shalat, tapi panggilan untuk pulang.
Frasa kunci “suara azan di dalam diri” menyiratkan makna yang lebih dalam: bahwa setiap manusia sebenarnya punya azan batin — panggilan halus dari Allah yang mengingatkan kita di tengah hiruk-pikuk dunia. Dalam kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī memulai pembahasan tentang shalat dengan bab azan dan iqamah. Ia menulis:
“الأذانُ والإقامةُ سنتانِ للصلواتِ المكتوباتِ”
“Azan dan iqamah adalah sunnah bagi shalat-shalat wajib.”
Tampak seperti hukum fiqh biasa. Namun, bagi yang mau menatap lebih dalam, Abū Shujā‘ seolah sedang mengingatkan bahwa setiap amal besar dimulai dari panggilan kecil.
Ketika Dunia Ramai, Tapi Hati Tak Menyahut
Kita hidup di zaman yang penuh suara: notifikasi ponsel, musik, iklan, dan berita yang tak henti. Di antara semua itu, suara azan sering terdengar tapi tak dihayati.
Padahal, di balik kalimatnya, azan adalah dialog lembut antara Allah dan manusia.
Ketika muazin menyeru “Allāhu Akbar”, ia seakan berkata, “Segala yang kau kejar hari ini, tak lebih besar dari Allah.”
Dan ketika terdengar “Ḥayya ‘alaṣ-ṣalāh”, Allah sedang mengundang kita, bukan memerintah.
Abū Shujā‘ menulis:
“ويستحبّ أن يقول السامع مثل ما يقول المؤذن إلا في الحيعلة فيقول لا حول ولا قوة إلا بالله”
“Disunnahkan bagi pendengar azan untuk mengucapkan seperti yang diucapkan muazin, kecuali pada kalimat ḥayya ‘alaṣ-ṣalāh dan ḥayya ‘alal-falāḥ, maka ia menjawab: Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.”
Artinya, bahkan ketika azan terdengar, Allah mengajarkan kerendahan hati: bahwa untuk datang kepada-Nya pun, kita butuh pertolongan-Nya.
Azan: Ketika Langit Mengundang Tanah
Azan tidak hanya memanggil tubuh untuk bergerak, tapi juga memanggil hati agar terjaga. Ia adalah jembatan antara dunia dan langit.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang berlari mengejar waktu, tapi lupa bahwa waktu sejatinya berputar karena kehendak Allah. Suara azan mengingatkan bahwa hidup ini punya poros — dan poros itu adalah Allah.
Seorang ulama tua pernah berkata, “Azan adalah satu-satunya seruan yang tak pernah berubah sejak zaman Nabi.” Dari Mekah, Madinah, hingga pelosok desa di Nusantara, kalimatnya tetap sama. Namun yang membedakannya adalah seberapa jauh hati kita mau menyahut.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ”
(QS. Al-Anfāl: 24)
“Wahai orang-orang yang beriman, sahutilah seruan Allah dan Rasul ketika mereka memanggil kalian kepada sesuatu yang menghidupkan kalian.”
Seruan itu bukan sekadar ke masjid, tapi ke kehidupan yang sebenarnya. Karena hanya hati yang mau menyahut azan yang akan benar-benar hidup.
Suara yang Mengembalikan Arah
Abū Shujā‘ menulis dalam kitabnya:
“ويكره الكلام بعد الأذان إلى أن يفرغ من الإقامة”
“Dimakruhkan berbicara setelah azan hingga selesai iqamah.”
Lihat betapa lembutnya adab itu. Bukan sekadar aturan, tapi latihan untuk diam sejenak — memberi ruang agar suara Allah menggema di dalam dada.
Ketika kita berhenti bicara saat azan, itu bukan karena larangan, tapi karena kita sedang mendengarkan Pencipta kita sendiri. Dunia boleh sibuk, tapi hati tetap bisa khusyuk.
Setiap kalimat azan adalah ajakan untuk kembali fokus:
Allāhu Akbar — Allah lebih besar dari ambisi dan kegelisahanmu.
Ashhadu an lā ilāha illā Allāh — semua yang kau kejar hanyalah sementara.
Ḥayya ‘alaṣ-ṣalāh — mari datang, ini waktu istirahat rohanimu.
Ḥayya ‘alal-falāḥ — mari raih keberuntungan yang sejati, bukan yang fana.
Ketika Azan Tak Lagi dari Menara, Tapi dari Hati
Dalam kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb, azan disebut sebagai sunnah muakkadah — sesuatu yang sangat dianjurkan. Tapi bagi mereka yang hidup dengan hati, azan bukan hanya ritual, melainkan rasa.
“ويُسنّ للمسافر أن يؤذّن ولو كان وحده”
“Disunnahkan bagi musafir untuk tetap mengumandangkan azan meskipun sendirian.”
Subhanallah. Bahkan ketika sendirian di padang sunyi, Islam mengajarkan agar kita tetap berseru. Artinya, azan bukan sekadar panggilan untuk orang lain, tapi juga pengingat bagi diri sendiri.
Betapa indahnya jika dalam kesibukan modern ini, setiap kita mampu menghidupkan “azan batin” — panggilan yang membangunkan jiwa ketika lalai, yang berkata lembut:
“Sudahkah engkau berjumpa dengan Allah hari ini?”
Menjadi Muazin untuk Diri Sendiri
Tidak semua orang perlu naik ke menara untuk menjadi muazin. Setiap orang bisa menjadi muazin bagi dirinya sendiri — memanggil hatinya yang letih, menyeru pikirannya yang tersesat, dan mengingatkan jiwanya yang lupa pulang.
Ketika kita mendengar azan dan menjawabnya dengan tulus, sebenarnya kita sedang membiarkan Allah berbicara lewat suara manusia. Dan ketika kita menyahutnya dengan shalat, kita sedang menegaskan bahwa undangan itu tak akan dibiarkan tanpa jawaban.
Maka dengarlah baik-baik setiap kali azan terdengar.
Mungkin itu bukan suara dari menara, tapi suara dari dalam diri — dari bagian jiwa yang masih ingin pulang.
Penutup: Dengarkan Suara Itu Lagi
Azan tidak pernah lelah memanggil. Lima kali sehari, ia mengetuk hati manusia. Kadang disambut dengan wudhu, kadang hanya lewat begitu saja. Tapi Allah, dengan kasih yang tiada tanding, tak pernah berhenti memanggil.
Setiap “Allāhu Akbar” adalah bisikan cinta.
Setiap “Ḥayya ‘alaṣ-ṣalāh” adalah undangan ke rumah kebahagiaan.
Dan setiap hati yang mau menjawab, akan menemukan kedamaian yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Karena sesungguhnya, suara azan di dalam diri adalah tanda bahwa Allah masih mau berbicara dengan kita.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
