Surau.co. Dalam setiap tetes air, Allah menitipkan pelajaran yang lembut. Kitab Al-Ghāyah wa at-Taqrīb karya Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī membuka bab pertamanya dengan pembahasan tentang thahārah — bersuci. Di situ kita belajar bahwa iman bukan hanya percaya, tetapi juga bersih dan mengalir seperti air.
Frasa kunci “air yang mengajarkan iman” tak sekadar kiasan, melainkan panggilan untuk kembali ke makna paling dasar dari hidup beragama: kebersihan lahir dan batin. Dalam kitab itu disebut,
“الماء طهور لا ينجسه شيء إلا ما غيّر لونه أو طعمه أو ريحه”
“Air itu suci dan mensucikan, tidak menjadi najis kecuali bila berubah warna, rasa, atau baunya.”
Air adalah guru keimanan. Ia bersih, tapi juga membersihkan. Ia tidak sombong meski selalu berada di bawah, dan justru karena itu ia bisa menumbuhkan kehidupan di sekitarnya.
Ketika Hati Kita Menjadi Seperti Air
Kita sering membayangkan iman itu seperti api: membakar semangat, menyalakan keberanian. Namun, barangkali iman lebih mirip air — lembut tapi kuat, diam tapi mampu meluruhkan batu.
Abū Shujā‘ menulis:
“فإذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث”
“Apabila air mencapai dua qullah, maka ia tidak menanggung najis.”
Maknanya bukan hanya soal ukuran air, tetapi juga tentang kedewasaan iman.
Orang yang imannya sudah “dua qullah” tak mudah keruh hanya karena omongan orang lain, atau karena ujian kecil. Ia tetap jernih meski di sekelilingnya ada kotoran dunia.
Begitulah hati yang belajar dari air — tetap tenang meski diaduk, tetap jernih meski dihadang lumpur.
Membersihkan yang Nampak dan yang Tersembunyi
Di dunia yang sibuk ini, kita sering fokus pada yang tampak: baju bersih, wajah cerah, rumah rapi. Tapi kitab Abū Shujā‘ mengingatkan agar tak lupa membersihkan yang tak kasatmata.
“الطهارة إزالة الحدث وما في معناه وزوال النجاسة”
“Thaharah adalah menghilangkan hadats dan segala yang serupa dengannya, serta menghapus najis.”
Kalimat ini mengandung makna yang luas. Hadats bukan hanya keadaan fisik, tapi juga keadaan hati. Ada “hadats” batin: sombong, iri, kebencian, dan prasangka. Semua itu menghalangi doa kita untuk naik, sebagaimana najis menghalangi sahnya shalat.
Bersuci berarti menata diri. Membersihkan hati bukan dengan sabun, tapi dengan kejujuran dan taubat. Sementara najis batin dibasuh dengan doa, dzikir, dan maaf.
Ketika Air Menguji Ketulusan
Suatu hari, seorang murid bertanya kepada gurunya di pesantren: “Mengapa air wudhu sering terasa dingin di pagi buta, bahkan menyakitkan?” Gurunya menjawab, “Karena Allah sedang mengajarimu tentang keikhlasan — bahwa bersuci tak selalu nyaman, tapi selalu menyembuhkan.”
Abū Shujā‘ menulis pula:
“إذا عدم الماء تيمم بالصعيد الطيب”
“Apabila air tidak ditemukan, maka hendaklah bertayammum dengan tanah yang suci.”
Maknanya, Allah tak pernah menutup jalan bagi orang yang ingin mendekat. Bahkan saat air tak ada, tanah pun bisa menjadi sarana penyucian. Betapa pengasih-Nya Allah — Ia tidak menuntut kesempurnaan, cukup kesungguhan.
Begitu pula dalam hidup. Kadang iman kita tidak “mengalir deras” seperti sungai, tapi cukup menetes seperti embun — asal jujur dan tulus, Allah menerimanya.
Air yang Mengajarkan Kerendahan
Air selalu mengalir ke tempat yang rendah. Tidak pernah sombong, tidak pernah menolak bentuk wadahnya. Di situlah letak hikmah terbesar dari thahārah — bahwa kesucian sejati hanya bisa dimiliki oleh orang yang rendah hati.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ”
(QS. Al-Anfāl: 11)
“Dan Allah menurunkan air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya.”
Air turun dari langit, tapi selalu mencari tanah rendah. Demikian pula rahmat Allah: ia turun kepada hati yang tidak sombong.
Air tak memilih tempat, tapi setiap tempat yang disentuhnya menjadi hidup. Maka, jika hati kita ingin menjadi sumber kehidupan bagi orang lain, jadilah seperti air — memberi tanpa banyak bicara, menyejukkan tanpa menghakimi.
Iman yang Mengalir dalam Kehidupan
Air dan iman memiliki kesamaan: keduanya harus mengalir. Jika berhenti, keduanya membusuk. Jika dibiarkan menggenang dalam kesombongan, ia berubah bau dan keruh.
Kita perlu membiarkan iman bergerak dalam amal. Shalat, zakat, puasa, sedekah — semuanya adalah “aliran” agar iman tetap segar. Karena seperti air, iman yang tak digunakan akan mengendap menjadi kebiasaan tanpa makna.
Abū Shujā‘ dalam kitabnya tidak hanya memberi hukum, tapi juga arah hidup: agar setiap gerak ibadah membawa kebersihan hati.
Menjadi Jernih di Tengah Keruhnya Dunia
Di zaman yang penuh kebisingan dan kemarahan, menjadi seperti air adalah perlawanan yang halus. Tak semua orang bisa tetap jernih di tengah lumpur media sosial, politik, dan perbedaan. Tapi orang beriman tahu, jernih bukan berarti diam — ia mengalir, membersihkan, dan menyejukkan sekitarnya.
Mungkin itu sebabnya Allah menjadikan air sebagai simbol kehidupan. Karena hidup yang sejati adalah hidup yang memberi manfaat.
Seperti air yang terus mengalir, iman pun harus terus diperbarui. Bersuci bukan hanya rutinitas ibadah, tapi juga perjalanan menuju diri yang lebih bening.
Penutup: Belajar dari Setiap Tetes
Air tak pernah menolak siapa pun yang haus. Ia turun tanpa pamrih, membersihkan tanpa pamrih. Begitu pula iman yang sejati — tidak memihak selain kepada kebenaran dan kasih sayang.
Dalam setiap wudhu, dalam setiap basuhan air, tersimpan doa diam-diam:
“Ya Allah, jernihkanlah hati kami seperti Engkau menjernihkan air.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
