Surau.co. Dalam setiap lembar awal Al-Ghāyah wa at-Taqrīb karya Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī, kita disambut oleh bab thahārah — bersuci. Tampak sederhana, tapi sesungguhnya inilah pintu utama menuju pengenalan diri. Frasa kunci “bersuci dari diri sendiri” bukan hanya tentang air, sabun, atau debu tayammum, melainkan tentang kebersihan hati dan niat yang menjadi dasar seluruh amal. Dalam fiqh Syafi‘i, bersuci mendahului shalat, dan dalam hidup, kebersihan batin mendahului kebaikan lahir.
Kita sering tergesa ingin menjadi saleh tanpa lebih dulu mencuci hati kita sendiri. Padahal, sebagaimana disebut dalam kitab ini, “Lā yashḥu aṣ-ṣalātu illā biṭ-ṭahārah” (لا يصح الصلاة إلا بالطهارة) — shalat tidak sah tanpa bersuci. Maka, begitu pula amal hidup, tak akan bernilai bila hati belum disucikan.
Ketika Air Tak Lagi Membersihkan, Hati yang Harus Mengalir
Abū Shujā‘ menulis dalam salah satu pasalnya:
“وَإِذَا لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ تَيَمَّمَ بِالصَّعِيدِ الطَّيِّبِ”
“Apabila seseorang tidak menemukan air, maka ia boleh bertayammum dengan tanah yang suci.”
Kalimat ini tampak sederhana, hukum fiqh biasa. Tapi di baliknya ada hikmah yang dalam: ketika air — simbol kesucian — tidak tersedia, Allah masih membuka jalan lain.
Begitu pula dengan kehidupan. Saat kita kehilangan cara biasa untuk menjadi baik, selalu ada jalan baru yang Allah bukakan. Ada “tayammum” dalam jiwa: bentuk kebaikan sederhana yang tetap sah di hadapan-Nya, asal niatnya bersih.
Bersuci dari diri sendiri berarti belajar bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berbuat baik. Kadang kita tak punya “air” — waktu, tenaga, atau kesempatan — tapi masih ada “tanah suci”: hati yang ikhlas.
Membersihkan yang Tak Terlihat
Dalam kitab itu pula disebut:
“النَّجَاسَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ، نَجَاسَةٌ تَعْمُ الْبَدَنَ وَالثَّوْبَ وَالْمَكَانَ”
“Najis ada dua jenis: yang mengenai badan, pakaian, dan tempat.”
Lalu ulama menjelaskan, ada pula najis yang tak kasatmata — najis dalam hati. Iri, dengki, sombong — semuanya menodai ibadah, walau pakaian kita putih bersih.
Bersuci dari diri sendiri bukan berarti menjadi sempurna, tapi berani mengakui bahwa diri ini kotor dan butuh dibersihkan setiap hari. Seperti kita berwudhu sebelum shalat, begitu pula kita perlu berwudhu dari ego sebelum menasihati orang lain.
Dalam kehidupan modern, banyak orang rajin mencuci tangan tapi lupa mencuci prasangka. Rajin ganti baju, tapi tak pernah mengganti niat.
Air Wudhu dan Air Mata
Abū Shujā‘ mengajarkan:
“وَفَرَائِضُ الْوُضُوءِ سِتَّةٌ: النِّيَّةُ، وَغَسْلُ الْوَجْهِ، وَالْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَمَسْحُ الرَّأْسِ، وَغَسْلُ الرِّجْلَيْنِ، وَالتَّرْتِيبُ.”
“Fardhu wudhu ada enam: niat, membasuh muka, kedua tangan hingga siku, mengusap kepala, membasuh kedua kaki, dan tertib.”
Perhatikan, yang pertama disebut adalah niat. Sebelum air menyentuh kulit, kesucian harus lebih dulu menyentuh hati.
Wudhu adalah latihan kecil untuk hidup yang lebih besar. Membasuh wajah — agar wajah tak mudah murka. Membasuh tangan — agar tak sembarangan melukai. Mengusap kepala — agar pikiran jernih dari kebencian.
Dan di antara semua air itu, ada satu yang paling suci: air mata penyesalan.
Mungkin itu sebabnya banyak orang sufi mengatakan, “Air mata adalah wudhu hati.” Saat seseorang menyesal, ia sedang membasuh jiwanya dari kesalahan.
Thaharah: Jalan Menuju Cinta
Dalam salah satu penutup babnya, Abū Shujā‘ menulis:
“الطَّهَارَةُ مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ”
“Thaharah adalah kunci bagi shalat.”
Kalimat itu bisa juga dibaca secara batin: kesucian adalah kunci bagi kedekatan dengan Allah.
Fiqh bukan sekadar hukum, tapi jalan menuju cinta. Allah mengajarkan tertib, bukan untuk mengekang, tapi agar cinta itu punya arah. Bersuci dari diri sendiri berarti membuka pintu cinta yang lebih jernih, tanpa lumpur kebanggaan dan kesombongan.
Kita belajar dari air wudhu: ia selalu mengalir ke bawah, tak pernah sombong menanjak. Maka barang siapa ingin benar-benar suci, harus siap merendahkan diri.
Dalam dunia yang penuh kemarahan dan kebisingan, bersuci dari diri sendiri adalah jihad paling berat — tapi juga paling indah. Ia tidak butuh panggung, tidak butuh sorotan. Cukup antara kita dan Allah, dalam sunyi, di depan cermin hati.
Menutup dengan Doa
Setiap kali kita selesai wudhu, Nabi ﷺ mengajarkan doa:
“اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين”
“Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci.”
Taubat dan thaharah — dua saudara kembar. Satu membersihkan dosa, satu membersihkan debu. Keduanya membuat hidup terasa ringan.
Maka, jangan takut kotor. Takutlah bila tak mau dibersihkan.
Karena, seperti pesan Abū Shujā‘ lewat kitab kecilnya yang besar itu:
Kesucian sejati bukan di tangan, tapi di hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
