Khazanah
Beranda » Berita » Akhlaq Nabi: Cermin bagi yang Ingin Mengenal Tuhan

Akhlaq Nabi: Cermin bagi yang Ingin Mengenal Tuhan

Seorang lelaki berjalan di jalan pasir saat fajar, simbol akhlak Nabi dan cahaya keimanan.
Gambaran simbolik manusia berjalan mengikuti jejak cahaya di pagi sunyi, melambangkan meneladani akhlak Nabi sebagai jalan menuju Tuhan.

Surau.co. Akhlaq Nabi dalam Islam bukan sekadar kisah masa lalu yang tersimpan di lembar kitab, melainkan cahaya hidup yang terus menuntun umat di zaman gelap — zaman ketika ego, ambisi, dan kehilangan kasih menjadi keseharian. Di tengah dunia yang serba cepat, akhlak Nabi ﷺ hadir untuk mengajarkan kita pelan-pelan: bahwa kelembutan bukan kelemahan, dan kasih sayang bukan tanda kalah.

Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menghimpun banyak hadits yang memperlihatkan wajah sejati Nabi Muhammad ﷺ — bukan hanya sebagai Rasul, tetapi juga sebagai manusia penuh kasih, sabar, dan sederhana. Akhlak beliau bukan sekadar ajaran; ia adalah kehidupan yang berjalan.

Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibn Ḥajar:

«إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ»
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. al-Bukhārī dalam al-Adab al-Mufrad, diriwayatkan dalam Bulūgh al-Marām)

Kalimat itu menjadi inti dari seluruh risalah kenabian. Nabi tidak datang untuk membangun kekuasaan, melainkan untuk memperindah hati manusia.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Manusia Modern yang Lelah oleh Dunia

Kini, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, akhlak Nabi dalam Islam menjadi oasis yang menenangkan. Banyak orang berhasil, tetapi sedikit yang benar-benar bahagia. Kita mampu menaklukkan teknologi, namun gagal menaklukkan diri sendiri. Dalam dunia yang menilai dari tampilan luar, akhlak Nabi justru menuntun kita kembali pada kesederhanaan — bukan hanya dalam pakaian, tetapi juga dalam jiwa.

Ibn Ḥajar menulis bahwa Rasulullah ﷺ adalah manusia paling beradab, bahkan kepada mereka yang menyakitinya. Ketika beliau dilempari batu di Thaif, doa yang keluar bukanlah kutukan, melainkan harapan. Nabi ﷺ bersabda:

«اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ»
“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
(HR. al-Bukhārī, disebutkan dalam Bulūgh al-Marām)

Doa ini menunjukkan kedalaman hati seorang Nabi. Beliau tidak membalas kebencian dengan dendam, tetapi dengan kasih. Di zaman sekarang, saat banyak orang lebih cepat membalas komentar daripada menenangkan diri, keteladanan itu terasa semakin langka.

Gus Mus pernah menulis, “Menjadi seperti Nabi itu sulit, tapi meneladaninya bisa dimulai dari tidak menyakiti.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Lembut tapi Tegas, Sabar tapi Berprinsip

Lebih jauh, akhlak Nabi ﷺ tidak hanya lembut, tetapi juga tegas. Beliau sabar tanpa kehilangan arah, pemaaf tanpa mengorbankan kebenaran. Ibn Ḥajar dalam Bulūgh al-Marām mencatat hadits yang menunjukkan keseimbangan luar biasa itu:

«لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ»
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Dari sinilah kita belajar bahwa kekuatan sejati lahir dari kendali diri. Di dunia yang mudah terbakar oleh ego, akhlak Nabi menjadi telaga ketenangan. Beliau tidak pernah berteriak ketika disakiti, namun selalu tegas saat kebenaran dilanggar.

Kelembutan dan ketegasan berpadu sempurna dalam dirinya — seperti air yang tampak lembut mengalir, tetapi mampu menembus batu.

Gus Mus pernah menulis dengan sederhana namun dalam, “Kelembutan itu bukan tanda lemah, tapi tanda bahwa seseorang telah mengenal kekuatannya.”

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Kesederhanaan yang Menjadi Ketinggian

Selain itu, akhlak Nabi ﷺ juga tampak dalam kesederhanaan hidupnya. Ibn Ḥajar mencatat banyak hadits tentang hal ini: Rasulullah makan dengan tangan, duduk di tanah bersama sahabat, dan tidur di atas tikar kasar hingga tubuhnya berbekas. Namun, dari kesederhanaan itulah lahir keputusan besar yang mengubah dunia.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا»
“Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia ini hanyalah seperti seorang pengembara yang beristirahat sejenak di bawah pohon, lalu pergi meninggalkannya.”
(HR. at-Tirmiżī, disebutkan dalam Bulūgh al-Marām)

Hadits ini mengajarkan bahwa kesederhanaan bukan kemiskinan, melainkan kebebasan. Nabi mengajarkan manusia untuk memiliki dunia tanpa diperbudak olehnya.

Kini, banyak orang mengejar kemewahan agar dihormati, tetapi Nabi dihormati justru karena kerendahan hatinya.

Gus Mus mengingatkan, “Kesederhanaan itu bukan hidup miskin, tapi tidak diperbudak oleh yang berlebih.”

Akhlak Nabi sebagai Jalan Menuju Tuhan

Meneladani akhlak Nabi bukan sekadar latihan moral, melainkan perjalanan spiritual. Sebab, mengenal Nabi berarti mengenal kasih Allah yang turun ke bumi dalam bentuk teladan hidup.

Allah berfirman:

﴿وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ﴾
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak yang agung.”
(QS. al-Qalam [68]: 4)

Ayat ini bukan sekadar pujian, melainkan pengakuan Ilahi atas kesempurnaan batin seorang manusia yang sepenuhnya berserah diri kepada Tuhan.

Gus Mus sering berkata, “Kalau kamu ingin mengenal Allah, lihatlah bagaimana Rasulullah memperlakukan manusia.”

Melalui akhlak Nabi, kita belajar bahwa jalan menuju Allah bukan hanya lewat ibadah ritual, tetapi juga lewat sabar, kasih, dan kejujuran dalam hidup sehari-hari.

Refleksi: Menjadi Cermin Kecil dari Cahaya Besar

Akhlaq Nabi ﷺ adalah cermin besar dari cahaya Tuhan, dan setiap manusia beriman memiliki kesempatan menjadi pantulan kecil dari cahaya itu. Tidak semua bisa menjadi ulama atau khatib, tetapi semua bisa berakhlak baik — bisa menahan marah, bisa berkata jujur, bisa berbuat lembut.

Di situlah letak kemuliaan: sederhana, tapi nyata.

Dalam kelembutan gaya Gus Mus, tersirat pesan lembut:
“Nabi itu bukan hanya di langit sejarah, tapi juga di hati yang masih mau belajar berbuat baik.”

Karena itu, marilah kita mulai dari hal-hal kecil: menyapa dengan senyum, menahan lidah dari menyakiti, dan mengasihi tanpa pamrih. Di sanalah, jejak akhlak Nabi tetap hidup — tidak di museum sejarah, tetapi di hati yang masih mau bercahaya.

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement